Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Renungan) Ketika Nasi Kucing Menjadi Hidangan Rohani

26 Juni 2016   01:35 Diperbarui: 27 Juni 2016   17:24 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya ingin beramal dan berbagi rejeki mas,” jawabnya sambil menuangkan jahe panas pesanan saya.

Jawaban Pak Kumis sungguh menggedor ranah kesadaran saya. Selanjutnya Pak Kumis menuturkan bahwa berbagi rejeki dengan pengunjung warungnya pada hari pertama puasa, membuatnya bahagia. 

Menurut Pak Kumis kebahagiaan itu muncul manakala dirinya bisa berbagi rejeki Allah dari warungnya. Pak Kumis mempercayai bahwa semakin banyak dia memberi, semakin banyak Allah akan melimpahkan berkah.

Saya tergelitik bertanya lebih jauh. Saya tanyakan kepada Pak Kumis berapa omsetnya pada hari tersebut, seandainya dia tidak menggratiskan. Sedikit mengerinyitkan dahi Pak Kumis mengatakan bahwa tidak nyaman menjawab pertanyaan saya itu.

“Mas, ketika tangan kanan saya memberi, tangan kiri saya tidak boleh tahu. Saya tidak enak menyebutkan berapa pemasukan saya rata rata per hari,” tukasnya sambil tersenyum.

“Maaf Pak, saya sekedar pengen tahu, karena saya malu mendapati semangat beramal saya belum sebesar bapak,” timpal saya.

“Dalam keadaan lapang atau sempit kita tetap harus beramal mas, itu yang saya percayai membuat hidup saya berkelimpahan secara batin” Pak Kumis menambahkan.

Pada hari Pak Kumis menggratiskan lapaknya, banyak orang yang terkecoh dan bingung,karena tidak semua orang tahu. Banyak orang yang terkecoh dan bingung. Ada orang yang sungkan dan memaksa untuk membayar, karena sudah telanjur makan banyak. Namun Pak Kumis benar benar tidak mau menerimanya karena memang sudah berniat merelakan makanan minuman itu untuk ladang amal.

Otak kiri saya kemudian bekerja melakukan kalkulasi matematis. Saya hanya membayar Rp.7,000 untuk sepiring nasi putih, sayur daun pepaya dan teri plus dua gorengan serta jahe panas. Kalau saya nambah nasi separo dan dua gorengan lagi, saya hanya membayar Rp.10,000. 

Taruhlah rata–rata satu orang sekali makan mengeluarkan uang Rp.10,000. Saya yakin dalam sehari Pak Kumis paling tidak kedatangan 50 orang. Itu artinya paling tidak omsetnya selama sehari berdagang sekitar Rp.500,000. Dengan demikian pada hari dia menggratiskan kedainya, Pak Kumis sudah beramal senilai Rp.500,000.

Saya teringat ketika beberapa tahun yang lalu ketika panitya pemugaran masjid di RW mengirimkan sebuah selebaran. Pengumuman itu mengharuskan setiap warga muslim menandatangani formulir komitmen sumbangan per bulan. Ada sebagian warga yang menggerutu karena merasa jengah terkait sumbangan yang terkesan dipaksakan dengan menandatangani sebuah komitmen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun