Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Parenting) Bus Rapid Transit dan Pendidikan Karakter

6 September 2015   04:20 Diperbarui: 6 September 2015   04:26 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang itu, menjelang berakhirnya libur lebaran 2015, kami sengaja mengajak Adel putri saya yang masih berumur 5 tahun naik Bus Rapid Transit ( BRT) di Kota Semarang. Kami tinggalkan mobil di sebuah swalayan di pinggiran kota. Kami bertiga berjalan menuju sebuah halte yang berjarak sekitar 200 meter dari swalayan itu menuju sebuah mall di pusat kota.

“Sebentar tho Pak,” kata istri kepada sopir karena belum sempat merapat ke tiang besi bus, sopir sudah menginjak pedal gas menggerakkan roda bus.

Bus sudah pernuh. Beberapa penumpang bergelantungan mengamati istri saya yang hampir jatuh. Adel mencengkeram pinggang ibunya.Ini kali pertama kami mengajak Adel naik bus umum

Mulut Adel mengatup membentuk perahu terbalik. Murung dan cemberut karena mendapati kami harus bergelantungan di bus kecil ber-AC yang dijejali sekitar 50 puluh orang. Teriakan kondektur perempuan yang meneriakkan nama setiap halte yang disinggahi berpadu dengan deru mesin bus. Adel merasa tidak nyaman berdesak desakkan. Matanya berkedap kedip menatap ke atas mengamati orang yang berlalu lalang keluar masuk bus. Dengan sendirinya mereka menghimpit punggung serta kepala Adel. Cengkeraman tangan Adel ke bahu ibunya semakin menguat manakala kondektur bus meminta kami untuk bergeser ke tengah.

“ Ibu, ini lho aku didorong dorong” Adel menggerutu pelan.

“ Kalau naik bus umum ya seperti ini. Ini mobil orang banyak. Semua orang yang membayar tiket boleh naik” ibunya menjelaskan.

Wajah Adel sedikit cerah ketika dua puluh menit kemudian Ibunya mengajak Adel duduk di dua kursi yang ditinggalkan penumpangnya. Saya masih tetap berdiri menggelantung. Ketika ada kursi kosong saya mempersilakan penumpang perempuan untuk duduk.

Kami pun turun di sebuah halte yang terletak sekitar 300 meter dari pusat perbelanjaan yang akan kami tuju. Adel sedikit mengeluh mendapati dirinya harus berjalan kaki di terik matahari siang.

“ Panas ya Ayah” keluh Adel.

“ Ya seperti ini orang yang tidak punya mobil. Pergi kemana mana harus berjalan. Lelah. Kamu harus bersyukur tidak pernah kepanasan dan tidak harus berjalan kaki” saya menimpali.

“ Lha kenapa bus nya tidak berhenti di depan mall. Kita tidak harus berjalan dan kepanasan kalau bus nya berhenti di depan mall” sahut Adel.

“ Bus itu aturannya harus berhenti di halte. Di depan mall tidak ada halte, jadi kita harus berhenti di halte itu tadi” jawab saya.

“ Yah, tadi di dalam bus kenapa Ayah tidak duduk. Malah ayah menyuruh orang lain duduk?” Adel bertanya.

“Nanti kalau Adel sudah bisa membaca Adel akan tahu bahwa di dalam bus itu tadi tertulis tempat duduk untuk perempuan. Ayah persilakan perempuan untuk duduk karena memang hanya perempuan yang boleh duduk di situ” saya menjawab.

Ketika pulang dari mall, kami melihat puluhan orang berjejal jejal di depan halte menunggu bus. Kami duduk menunggu. Ternyata hampir semua penumpang yang ada di halte itu mempunyai tujuan yang sama dengan kami. Itu artinya bus yang akan datang nanti akan menjadi santapan penumpang yang berdesakan berebut masuk bus.

“ Ayo berdiri, SOLEMAN!” kata saya sambil menarik tangan Adel dan ibunya untuk ikut berdiri mengantri masuk tepat di mulut halte, akses masuk ke kabin bus.

“ Kok SOLEMAN?,” tanya istri.

“ Nek ra nge-SOL ora kuMANan ( Jawa: kalau nggak ikut berebutan ya tidak akan kebagian-tempat duduk)” jawab saya.

Setelah masuk ke dalam bus, penumpang penuh sesak, yang membuat kami kembali harus bergelantungan. Adel melihat sendiri ketika ibunya harus menitipkan tasnya untuk dipangku seorang mahasiswi agar tidak menganggu penumpang yang beregelantungan. Suasana keakraban di dalam bus pun mewarnai ketika kami harus saling berinteraksi. Sebagian besar dalam bahasa jawa yang tidak dipahami Adel. Kami harus berdiri sekitar setengah jam sampai seorang bapak memberikan tempat duduk kepada istri.

Saya mengamati wajah Adel yang nampak gundah dan tidak nyaman. Tempat duduk itu hanya cukup untuk satu orang. Sehingga dirinya harus dipangku ibunya dalam himpitan penumpang yang bergelantungan. Seorang anak perempuan berusia kira kira 10 tahun tersenyum kepada Adel . Anak perempuan yang duduk di samping Adel ini mengulurkan sebungkus makanan ringan. Tanpa mengucapkan terima kasih, Adel menerima dan menggenggamnya erat erat. Dengan menerima sebungkus makanan ringan itu, sebenarnya sinyal persahabatan si anak perempuan itu sudah bisa tertangkap jelas oleh Adel. Rasa tidak nyaman dalam bus yang penuh sesak lah yang membuat Adel enggan melempar senyum dan mengucapkan terima kasih.

Itulah pengalaman mengajak putri kami naik transportasi umum. Sebenarnya kami hanya ingin menanamkan karakter karakter positif kepada anak kami. Ada semacam kekhawatiran dalam diri saya bahwa anak anak jaman sekarang terbuai oleh kemudahan dan kenyamanan, sehingga memicu rendahnya daya juang mereka di kehidupan yang sebenarnya.

Berangkat sekolah diantar, pulang dijemput. Bilamana mereka memerlukan sesuatu, orang tua berusaha mencarikan dan menyediakan. Manakala mereka menginginkan ( bukan membutuhkan) suatu barang, orang tua langsung menuruti. Orang tua tidak bisa memberikan pemahaman kepada anak tentang arti “kebutuhan” dan “keinginan”.Anak canggung ketika harus berinteraksi dengan khalayak umum karena semua aspek kehidupan mereka cenderung ke ranah privat bukan publik. Tantangan besar bagi orang tua untuk mengajarkan semangat berbagi karena memang dalam keseharian anak selalu bersentuhan dengan ranah privat, pribadi. Mobil pribadi, sopir pribadi. Kentalnya sifat individual yang mengiringi berbagai aktivitas keseharian membuat seorang anak miskin empati.

Dalam transportasi umum kami berusaha mengajarkan bahwa dalam kehidupan itu selalu ada struktur dan disiplin. Selain itu dalam sebuah interaksi sosial diperlukan pula rasa empati untuk berbagi.

Struktur

Dalam transportasi umum terdapat sebuah rangkaian aktivitas yang tersusun dengan pola tertentu. Inilah yang dinamakan struktur. Penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk maka mereka harus berdiri. Penumpang yang berdiri harus menunggu penumpang lain turun. Setelah tempat duduk ditinggalkan penumpang yang turun, maka penumpang yang tadinya berdiri baru bisa duduk. Dalam bus, orang yang ditempatkan dalam struktur tertinggi adalah pengemudi. Tidak akan ada penumpang yang menggunggat tempat duduk pengemudi ketika kendaraan penuh sesak. Dalam tataran yang lebih luas, di dalam transportasi umum anak bisa melihat sebuah struktur sosial. Seorang ibu yang turun di pasar sambil membawa bakul bamboo besar yang berisi ayam adalah pedagang. Seorang anak muda yang turun di kampus sambil menenteng tas punggung adalah mahasiswa. Seorang perempuan berpakaian formal adalah pekerja kantoran. Dan seterusnya.

Disiplin

Dalam bus BRT sudah tertulis jelas area yang tempat duduk laki laki dan perempuan. Kedisiplinan penumpang diperlukan dalam menempati area tersebut. Dalam keadaan kosong penumpang laki laki boleh menempati tempat duduk penumpang perempuan. Namun manakala bus penuh sesak, sedangkan penumpang perempuan memerlukan tempat duduk, penumpang laki laki itu harus disiplin memberikan tempat duduknya.

Penumpang harus berdisiplin menunggu bus di halte. Ketika penumpang turun pun harus di halte. Sebuah kedisiplinan yang tidak bisa ditawar. Dalam konteks yang lebih luas transportasi umum mengajarkan disiplin waktu. Bilamana penumpang terlambat, maka dia akan tertinggal.

Empati Untuk Berbagi

Memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih tua, senior citizen, perempuan hamil menularkan sebuah sikap yang mengedepankan empati untuk berbagi. Hal ini akan bermuara kepada kerelaan berkorban demi orang lain yang lebih membutuhkan. Uluran tangan seorang penumpang dari dalam bus untuk merengkuh naik tangan seorang wanita lanjut usia masuk ke dalam bus adalah sebuah sinyal kepedulian. Kerelaan seorang mahasiswi untuk memangku tas pinggang istri saya ( agar tidak menganggu penumpang lain yang berdiri) juga mencerminkan sebuah kebersamaan untuk meringankan beban sesama. Pun saya yakin anak saya menangkap pancaran semangat berbagi ini ketika seorang anak perempuan mengulurkan sebungkus makanan ringan.

 

Rikho Kusworo 06 Sept 2015 selesai jam 4 Pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun