Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Parenting) Bus Rapid Transit dan Pendidikan Karakter

6 September 2015   04:20 Diperbarui: 6 September 2015   04:26 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“ Bus itu aturannya harus berhenti di halte. Di depan mall tidak ada halte, jadi kita harus berhenti di halte itu tadi” jawab saya.

“ Yah, tadi di dalam bus kenapa Ayah tidak duduk. Malah ayah menyuruh orang lain duduk?” Adel bertanya.

“Nanti kalau Adel sudah bisa membaca Adel akan tahu bahwa di dalam bus itu tadi tertulis tempat duduk untuk perempuan. Ayah persilakan perempuan untuk duduk karena memang hanya perempuan yang boleh duduk di situ” saya menjawab.

Ketika pulang dari mall, kami melihat puluhan orang berjejal jejal di depan halte menunggu bus. Kami duduk menunggu. Ternyata hampir semua penumpang yang ada di halte itu mempunyai tujuan yang sama dengan kami. Itu artinya bus yang akan datang nanti akan menjadi santapan penumpang yang berdesakan berebut masuk bus.

“ Ayo berdiri, SOLEMAN!” kata saya sambil menarik tangan Adel dan ibunya untuk ikut berdiri mengantri masuk tepat di mulut halte, akses masuk ke kabin bus.

“ Kok SOLEMAN?,” tanya istri.

“ Nek ra nge-SOL ora kuMANan ( Jawa: kalau nggak ikut berebutan ya tidak akan kebagian-tempat duduk)” jawab saya.

Setelah masuk ke dalam bus, penumpang penuh sesak, yang membuat kami kembali harus bergelantungan. Adel melihat sendiri ketika ibunya harus menitipkan tasnya untuk dipangku seorang mahasiswi agar tidak menganggu penumpang yang beregelantungan. Suasana keakraban di dalam bus pun mewarnai ketika kami harus saling berinteraksi. Sebagian besar dalam bahasa jawa yang tidak dipahami Adel. Kami harus berdiri sekitar setengah jam sampai seorang bapak memberikan tempat duduk kepada istri.

Saya mengamati wajah Adel yang nampak gundah dan tidak nyaman. Tempat duduk itu hanya cukup untuk satu orang. Sehingga dirinya harus dipangku ibunya dalam himpitan penumpang yang bergelantungan. Seorang anak perempuan berusia kira kira 10 tahun tersenyum kepada Adel . Anak perempuan yang duduk di samping Adel ini mengulurkan sebungkus makanan ringan. Tanpa mengucapkan terima kasih, Adel menerima dan menggenggamnya erat erat. Dengan menerima sebungkus makanan ringan itu, sebenarnya sinyal persahabatan si anak perempuan itu sudah bisa tertangkap jelas oleh Adel. Rasa tidak nyaman dalam bus yang penuh sesak lah yang membuat Adel enggan melempar senyum dan mengucapkan terima kasih.

Itulah pengalaman mengajak putri kami naik transportasi umum. Sebenarnya kami hanya ingin menanamkan karakter karakter positif kepada anak kami. Ada semacam kekhawatiran dalam diri saya bahwa anak anak jaman sekarang terbuai oleh kemudahan dan kenyamanan, sehingga memicu rendahnya daya juang mereka di kehidupan yang sebenarnya.

Berangkat sekolah diantar, pulang dijemput. Bilamana mereka memerlukan sesuatu, orang tua berusaha mencarikan dan menyediakan. Manakala mereka menginginkan ( bukan membutuhkan) suatu barang, orang tua langsung menuruti. Orang tua tidak bisa memberikan pemahaman kepada anak tentang arti “kebutuhan” dan “keinginan”.Anak canggung ketika harus berinteraksi dengan khalayak umum karena semua aspek kehidupan mereka cenderung ke ranah privat bukan publik. Tantangan besar bagi orang tua untuk mengajarkan semangat berbagi karena memang dalam keseharian anak selalu bersentuhan dengan ranah privat, pribadi. Mobil pribadi, sopir pribadi. Kentalnya sifat individual yang mengiringi berbagai aktivitas keseharian membuat seorang anak miskin empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun