Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pertobatan

9 Agustus 2015   06:42 Diperbarui: 9 Agustus 2015   06:42 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dahana terbangun menggigil manakala tidur ayamnya terganggu oleh sebuah mimpi. Justru setelah dia terbangun, tiba tiba kantuknya menjadi kian nyata. Sebelumnya dia nampak pulas, seolah semua panca inderanya mati. Namun sejatinya, tidur hanyalah sebuah pelarian dari resah yang ingin ditindasnya.

“Percakapan batin itu tak akan pernah berhenti tatkala kamu belum membebaskan dirimu dari kerangkeng kemuraman. Untuk apa kamu berkutat dengan kegelisahan untuk segala sesuatu yang telah sempurna terjadi. Kamu tidak punya kendali atas yang akan terjadi. Kamu hanya bisa membaca firasat masa depan. Itu pun kalau hatimu peka dalam mengasah intuisi.” seru sang bayangan membangunkan Dahana dari tidur gelisah.

Sang bayangan yang ada di dalam mimpi kembali bergumam,“Bersabarlah seperti desa perawan yang merelakan manakala buminya tersiram curahan aspal panas. Sang bumi adalah anak bunda alam yang tidak pernah mengeluh manakala guyuran aspal panas itu lekat melengketi tubuhnya”

Setelah berkelabat cepat, sang bayangan kembali meneruskan tuturannya,” Dirinya sadar bahwa kelak desa perawan itu akan terjamah manisnya buah peradaban. Aspal itulah yang nantinya membuat orang nyaman berlalu lalang menikmati halusnya jalan raya. Jangan kau tolak aspal panas itu. Hanya itu caramu meraih kemuliaan”

“ Bicaralah yang jelas. Jangan memakai kata bersayap” kata Dahana

“Aspal panas itu adalah komentar orang orang di sekelilingmu terkait dengan kondisi yang sedang kamu alami. Aku lihat kamu masih terpenjara dengan pagebluk yang sedang terjadi” jawab sang bayangan.

“ Sungguh miris mendengar kamu menyebutnya pagebluk” Dahana menyela.

“ Lalu apa kalau bukan pagebluk” kilah sang bayangan.

Dahana menggeliat dalam pulasnya tidur. Alam bawah sadarnya kembali menjawab pertanyaan sang bayangan.

“Walaupun aku menyadari bahwa telah terjadi serangkaian kejadian yang membuat hatiku gundah, toh aku tidak mau menyebutnya sebagai pagebluk, sebuah wabah menular yang berlangsung dalam sekian kurun waktu. Kondisi yang aku alami adalah ujian kesabaran bagiku” jawab Dahana.

Sang bayangan tersenyum tipis sambil berujar,” Aku suka dengan semangatmu”

“ Aku tidak punya pilihan lain selain tetap menjaga suasana, dengan nampak bersemangat” kata Dahana.

“ Apa kamu bilang nampak bersemangat?” seru Sang Bayangan.

“ Kamu bego atau bodoh?” keluh Dahana.

Sang Bayangan tertawa terkekeh kekeh tanpa menanggapi umpatan Dahana.

Dahana melotot bergegas menegaskan kata katanya,”Kamu kan tahu, pekerjaanku pilot, walapun pilot pesawat kecil, aku bertanggung jawab atas keselamatan sejumlah penumpang. Aku harus terbiasa menyimpan rasa cemas. Aku harus tetap tenang agar penumpang tetap nyaman suasana hatinya sampai tujuan”

“ Inilah yang kamu sebut sebagai semangat?” kata Sang Bayangan.

Dahana meneruskan,” Tetap nampak bersemangat dalam kondisi kritis penting bagiku. Jika tidak, pesawatku akan bergoyang goyang dan jatuh karena semua penumpangku berteriak teriak, terus bergerak karena panik.”

“ Namun kamu masih lupa bahwa ilmu iku tinemune kanthi laku?” sergah Sang Bayangan.

“ Apa maksudmu?” Tanya Dahana.

“ Kamu lupa bahwa pengetahuan atau kepercayaan baru bermanfaat bila sudah menjadi dasar perilaku. Kamu tahu bahwa sombong itu agemaning Gusti. Tapi kamu pakai juga pakaian kesombongan itu. Pengetahuan dan kepercayaanmu tentang kesombongan menyebabkan kamu menolak uluran tangan yang datang. Itulah muara pagebluk yang kamu alami sekarang” Sang Bayangan menjelaskan.

“ Aku akui benar sekali penilaianmu. Apa yang harus aku lakukan dalam kondisi seperti ini manakala orang orang disekelilingku melihatku layaknya pedagang ternak mengamati sapi montok. Seperti akan mencincangku?” Dahana mendesah menahan marah.

“ Andaikan aku jadi kamu, aku akan mengambil sikap nrima salah. Taat asas sebagai orang bersalah. Ini cara terbaik dalam menemukan jalan keluar, sekaligus mengurangi beban jiwamu. Kamu sedang ngunduh wohing pakarti, memetik hasil perbuatanmu sendiri. Carilah pertobatan dengan melakukan perbaikan” Sang Bayangan meneruskan.

Dahana mengibaskan tangannya menyergah Sang Bayangan,” Gampang sekali kamu berbicara karena kamu tidak mengalami situasi yang kuhadapi”

Urip pancen angel makane ra usah ngomel. Orang hidup itu sulit. Jangan berharap selalu disodori pisang yang sudah terkupas. Kamu harus berusaha memperjuangkan kehidupanmu” kata Sang Bayangan sambil berkelebat pergi.

Dahana mengusap ngusap kedua matanya. Terbangun dari mimpinya. Dia bangkit dari tidurnya, duduk termenung sambil menatap sang istri yang terlelap mendaulat kelengangan malam.

Rikho Kusworo 07 Agustus 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun