Di titik point ini kami berkumpul untuk bersama - sama menuju pemberangkatan ke beberapa lokasi yang menjadi tujuan kami. Selain, teman-teman blogger, disini juga berkumpul rekan-rekan media dari berbagai media Jakarta yang juga ikut dalam Cultural Trip Solo ini.
Lebih kurang pukul 11.30 kami sudah siap berangkat. Dan kami menuju ke lokasi pertama yaitu di Masjid Agung Surakarta
Keberadaan Masjid Agung Surakarta tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah Keraton Kasunanan. Masjid Agung dan Keraton Kasunanan laksana pena dan tinta yang sukar dipisahkan. Bangunan satu lantai di sebelah barat alun-alun utara ini menjadi jujugan masyarakat yang beragama Islam untuk beribadah. Saban hari, tak kurang ribuan orang menyambangi masjid yang dibangun di masa Paku Buwana II (1745) itu. Masjid bercat biru tersebut sohor sebagai masjid terbesar di Surakarta.
Pada riwayatnya, Masjid Agung Surakarta seperti juga keraton memiliki tautan dengan dinasti Mataram Islam. Sebelum Keraton Surakarta muncul, dinasti Mataram Islam sudah diawali dari Kota Gedhe (sebelum 1625) yang dianggap sebagai cikal bakalnya. Corak Masjid Agung di Surakarta juga dipengaruhi oleh masjid lawas yang dijumpai pada trah Mataram Islam.
Di Masjid Agung Surakarta ini terdapat bedug yang usianya sudah tua juga. Bedug yang ada di Masjid Agung Surakarta ini dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu salat atau sembahyang. Bedug yang ada disini terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang.
Sejenak saya dan rekan melaksanakan sholat dzuhur di Masjid Agung Surakarta, dan pukul 13.00 kami melanjutkan tujuan kami berikutnya, yaitu menuju Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo.
Saat ini saya sedang berada di Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo. Letak desa ini berada di pinggir jalan Solo - Bekonang. Dari kota solo, desa ini bisa ditempuh lebih kurang 20 menit. Tepat disini saya berada di rumah Bapak Panggiyo, salah satu perajin gamelan di desa ini.
Dalam kunjungan di rumah Bapak Panggiyo ini, saya ditunjukkan bagaimana seperangkat alat gamelan siap untuk dikirimkan ke Australia atas pesanan gamelan.