Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum islam merupakan perbuatan tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumannya berupa hukuman ta'zir yang disesuikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Kedua, korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah), yang berarti mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya, jadi saraqah adalah mengambil barang orang lain dengan cara melawan hukum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Tidaklah Allah SWT melarang sesuatu termasuk di dalamnya korupsi, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya.
 F. Analisa :Â
Saat ini, korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi budaya dari mulai tingkat rendah sampai tinggi. Bahkan, Indonesia sudah menjadi salah satu negara terkorup di dunia yang tentunya sangat memilukan. Meskipun saat ini sudah didirikan lembaga anti korupsi yang baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang secara gencar memberantas para koruptor, akan tetapi korupsi yang sudah berubah menjadi budaya ini terasa sangat sulit untuk dihentikan dan diberantas.
Agama Islam sendiri juga membagi istilah korupsi dalam beberapa dimensi yakni risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al gasysy atau penipuan dan juga khianat atau penghianatan.
Korupsi dalam dimensi suap atau risywah di dalam pandangan hukum Islam adalah perbuatan yang tercela dan juga menjadi dosa besar dan Allah sendiri juga melaknatnya.
Saraqah atau pencurian dilihat dari etimologinya memiliki arti melakukan sebuah tindakan pada orang lain dengan cara sembunyi. Namun menurut Abdul Qadir 'Awdah pencurian diartikan sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi dalam arti tidak diketahui pemiliknya.
Dalam hukum Islam disyariatkan Allah SWT demi kemaslahatan manusia dan diantara kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam syariat hukum tersebut adalah harta yang terpelihara dari pemindahan hak milik yang tidak menurut dengan prosedur hukum dan juga dari pemanfaatannya yang tidak sejalan dengan kehendak Allah SWT. Karena itulah, larangan merampas, mencuri, mencopet dan lainnya menjadi pemeliharaan keamanan harta dari kepemilikan yang tidak sah. Larangan memakainya sebagai taruhan judi dan juga memberikan pada orang lain yang diyakini akan dipakai untuk perbuatan yang maksiat, sebab penggunaan yang tidak sesuai dengan jalan Allah SWT jadikan kemaslahatan yang dituju menjadi tidak tercapai. Ulama fikih juga sepaham dan berkata jika perbuatan korupsi merupakan haram dan juga terlarang sebab menjadi hal yang bertentangan dengan maqasid asy-syariah.
Hukum Menggunakan Hasil Korupsi
Istilah dari penggunaan mempunyai pengartian yang luas seperti menyantap, mengeluarkan untuk keperluan ibadah, keperluan sosial dan lain sebagainya. Menggunakan harta kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi sama saja dengan hasil rampasan, hasil judi, hasil curian dan hasil haram lainnya. Dengan cara meraihnya yang sama, maka hukum menggunakan hasilnya juga tentunya sama. Ulama fikih dalam urusan ini juga sepakat jika menggunakan harta yang didapat dengan cara terlarang maka hukumnya adalah haram karena prinsip harta tersebut bukan menjadi milik yang sah namun milik orang lain yang didapat dengan cara terlarang.
Dasar yang menjadi penguat pendapat ulama fikih ini diantaranya adalah firman dari Allah SWT sendiri, "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188).