Mohon tunggu...
Rikard Rahmat
Rikard Rahmat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketidakwarasan Pantai Pede

7 April 2016   09:19 Diperbarui: 7 April 2016   09:47 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan bangsamu sendiri.” – Ir. Soekarno

Seperti diwartakan selama ini, pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) dan Manggarai Barat (selanjutnya: Mabar) masing-masing bersikukuh menguasai Pede, sebuah kawasan pantai permai seluas 31.000 m2 di Labuan Bajo, Mabar.

Masyarakat Mabar mendesak Pemprov NTT bersikap bijak dan adil serta menghargai undang-undang yang berlaku. Konkretnya, masyarakat meminta lahan kosong yang tersisa di Pede itu dikembalikan ke rakyat Mabar untuk dikelola secara mandiri oleh pemerintah daerah sebagai ruang terbuka atau natas labar yang sesungguhnya.

Sikap ngotot Pemprov NTT tidak bisa diterima dari semua sisi: hukum, demokrasi substansial, dan keadilan. Privatisasi yang dilakukannya itu terang-terangan menabrak berbagai peraturan dan undang-undang yang berlaku; salah satunya yang paling menyolok adalah UU No 8 Tahun 2003. Proses pengambilan keputusan privatisasi itu juga tidak demokratis. Melihat sebagian besar ruang Pantai Pede telah diinvasi bangunan-bangunan hotel sampai ke bibir pantai dan tertutup rapat untuk akses masyarakat luas, rasanya tidak masuk akal dan tidak adil jika ruang yang tersisa itu diambil juga untuk investor.

Surat Kembalikan Pede

UU No 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mabar secara jelas menyatakan bahwa aset Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai harus diserahkan ke Kabupaten Mabar. Bahkan, pada tahun 2004 Bupati Mabar ketika itu Fidelis Pranda melayangkan surat kepada Gubernur NTT Frans Lebu Raya agar lahan Pede tersebut diserahkan ke Mabar. Karena tidak ditanggapi, Pranda melayangkan surat kedua pada tahun 2005. Dengan substansi yang sama, Bupati Dula juga menulis surat pada pada 2012 (lih. floresa.co, “Pranda Minta Dula Teruskan Perjuangannya Ambil Alih Aset Pede”, 03/03/2016). Ketiga surat dari 2 (dua) bupati tersebut, yang merujuk pada undang-undang yang sama, tidak ditanggapi Pemrov NTT dalam hal ini Gubernur Frans Lebu Raya.  

Bagi penulis yang tidak belajar hukum, pesan undang-undang ini jelas terang benderang, tidak ambigu, dan tidak multitafsir. Mestinya, semua peraturan lain di bawahnya termasuk Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemprov NTT dan investor tentang Pantai Pede harus tunduk atau tidak menabrak undang-undang tersebut.

Berdasarkan undang-undang tersebut, hal-hal yang berkaitan dengan aset seharusnya berlaku otomatis. Itu berarti, wilayah Pantai Pede yang menjadi polemik itu, yang sebelumnya menjadi milik provinsi, sekarang dengan sendirinya menjadi milik pemerintah Mabar. Bunyi undang-undangnya terang dan jelas. Kalau logika ini diterima, pengalihan aset itu tinggal koordinasi saja, tidak perlu sampai terkesan meminta-minta.

Di sisi lain, Gubernur Frans Lebu Raya juga harusnya tahu bahwa aset Pede yang sebelumnya menjadi miliknya, atas perintah undang-undang sekarang menjadi milik Mabar. Sulit untuk mengatakan bahwa Gubernur tidak tahu undang-undang tersebut. Pasti tahu. Namun, mengapa masih berani-beraninya Gubernur mentransaksikan Pede dengan pengusaha swasta, suatu aset yang jelas-jelas bukan miliknya lagi? Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar kita semua kepada gubernur.

Selain gubernur, investor yang terlibat dalam MoU itu seharusnya mengetahui aturan-aturan hukum yang terkait dengan lahan Pede yang menjadi polemik dengan segala implikasinya. Di hadapan hukum, ketidaktahuan dan keteledoran tidak bisa menjadi alasan pemaaf. Dalam konteks itu, investor tidak dapat menuntut tanggung jawab Gubernur seandainya nanti lahan Pede tersebut diserahkan ke Mabar atas perintah undang-undang.

Namun, jejeran pertanyaan berikut tetap mengganggu: sebelum mengeluarkan banyak sumber daya untuk mendapatkan lahan yang sestrategis dan seluas itu, tidakkah masuk akal bagi investor untuk mempelajari secara detail aturan hukum yang berlaku? Kalau tidak, bukankah itu tindakan penuh risiko? Kalau faktanya investor terkesan main terabas dan menganggap remeh semua aturan hukum, salahkah kalau ada dugaan bahwa itu semua karena dilindungi oleh seorang “Godfather” dan bahwa pencaplokan aset Pede itu sebuah langkah yang terencana dan sistematis?   

Tidak Adil

Perintah undang-undang ini memperkuat amunisi publik, setelah sebelumnya Pemprov NTT seakan sulit memahami argumentasi berbasis common sense dan pertimbangan keadilan untuk melawan privatisasi Pede.

Pertama, atas argumentasi privatisasi untuk memajukan pariwisata dan pendapatan daerah, misalnya, rakyat bertanya: bagaimana mengatakan untuk kepentingan rakyat sementara partisipasi rakyat untuk menentukan apa dan bagaimana Pede dikelola, diabaikan begitu saja? Faktanya, perumusan kebijakan tentang Pede itu dilakukan secara diam-diam di ruang gelap, antara gubernur dan investor. Apa yang dapat diharapkan dari sebuah keputusan di ruang gelap selain sebuah persekongkolan untuk memuluskan kepentingan pribadi? Adakah sesuatu yang terang datang dari ruang gelap? Apalagi, keputusannya berupa privatisasi.

Kedua, Gubernur Lebu Raya mungkin akan mengatakan kebijakan itu dilandasi kewarasan dan niat baik kendatipun tidak melibatkan pertimbangan publik. Namun, apa yang dimaksudkan dengan niat baik ketika dari seluruh wilayah Pantai Pede, tidak ada ruang yang tersisa untuk publik?

Jelas sekali, kita akan menjadi bahan olok-olok dunia dan generasi mendatang bahwasanya di sebuah kota pantai, rakyatnya tidak dapat menikmati keindahan pantainya karena seluruhnya telah diserahkan ke investor. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, di luar lahan tigapuluhan ribu meter persegi itu telah berdiri banyak hotel yang eksklusif, yang sampai saat ini juga menyimpan persoalan hukum yang serius karena melanggar Garis Sempadan Pantai (GSP).

Demi membela kewarasan dan memperjuangkan keadilan, publik Mabar telah bersatu-hati meneriakkan semboyan: “Bukan Uang, tapi Ruang (Natas Labar)”. Kebahagiaan dari menikmati keindahan alam tidak bisa diukur dengan uang. Apalagi, kebahagiaan itu toh tidak diberikan oleh pemerintah, tetapi oleh alam. Ketika pemerintah Mabar saat ini dianggap gagal memuaskan dahaga rakyat akan pembangunan, masa kepuasan yang diberikan oleh alam mau dicaplok juga?  

Kalau privatisasi itu dibatalkan, pariwisata Mabar sama sekali tidak terganggu. Masih banyak peluang dan ruang lain yang bisa digali dari kepariwisataan demi menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Persoalannya, pemerintah terlihat belum berhasil menangkap dan memaksimalkan peluang-peluang itu. Pembatalan privatisasi juga tidak menghilangkan peluang pemerintah Mabar untuk mendapatkan penghasilan. Itu kalau uang yang mau dicari. Ekstremnya, Pede yang tersisa dibiarkan apa adanya pun, setiap pungutan Rp2000 kepada setiap orang yang memasuki Pede potensial menghasilkan penerimaan daerah yang bahkan melampaui pajak investor.

Ketiga, seandainyapun ada undang-undang yang membenarkan hak Pemprov NTT atas lahan Pede tersebut (seandainya!) dan tafsiran kita keliru atas bunyi Undang-Undang No 8 Tahun 2003, itu pun tidak serta merta membenarkan tindakan privatisasi Pemprov NTT. Kemungkinan kekeliruan itu diangkat pihak tertentu akhir-akhir ini di media sosial, yang menegaskan adanya hak privat Pemprov NTT untuk mengelola aset-aset miliknya.

Pembenaran oleh suatu aturan atau undang-undang (kalau ada!), termasuk atas hak privat Pemprov NTT untuk mengelola aset Pede, tidak bisa mengalahkan akal sehat serta rasa keadilan publik. Aturan hukum atau undang-undang semestinya tidak berlawanan dengan akal sehat dan rasa keadilan.

Di sinilah letak pentingnya kebijaksanaan dalam merancang kebijakan. Hak privat Pemprov, kalau dibenarkan, perlu diletakkan dalam perspektif itu.

Kebijaksanaan itu tercermin dalam keputusan yang bijak, sebagaimana implisit dinyatakan dalam kata ke-bijak-an itu sendiri. Keputusan yang bijak atau kebijaksanaan itu lahir dari pribadi-pribadi pemimpin yang setia menjaga integritas diri, yang secara sosial-politik berbuah pada kesetiaan mendengarkan dan melaksanakan aspirasi rakyat. Undang-undang, misalnya, bisa saja memberi ruang kepada kepala daerah untuk mengeksploitasi sumber daya mineral di tiap-tiap daerah. Namun, pemimpin yang bijak tidak akan melakukannya jika sumber mineral itu berada di bawah perkampungan penduduk, di tanah ulayat yang menjadi basis ekonomi-sosial-kultural sebuah komunitas, ataupun di kawasan hutan lindung. Jadi, hanyalah pemimpin yang bijaksana yang dapat membedakan bahwa apa yang ‘dapat’ tidak selalu ‘boleh’ dilakukan. Pemimpin seperti ini tidak serta merta mempersamakan ‘dapat’ dan ‘boleh’.

Mempersamakan begitu saja dua prinsip ini alias kebijakan yang tidak “bajik” sering kali terjadi karena dilandasi kepentingan pribadi, yaitu “ke-bijok-an”: menjadikan diri sendiri makmur dan sejahtera, yang disimbolkan dengan perut “bijok” (=buncit), sambil mengorbankan kepentingan rakyat.

Dalam konteks itu, tidak ada istilah “tindakan tidak adil terhadap Pemprov NTT” jika kebijakan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan dan akal sehat publik. Dasarnya, keadilan bagi Pemprov NTT adalah keadilan bagi rakyat. Dalam konteks Pede, rakyat adalah pemilik sah tanah itu dan Pemprov NTT hanyalah wakil mereka. Bila rakyat menganggap privatisasi itu tidak adil, adalah tidak waras Pemprov NTT bertahan dengan kebenaran dan konsep keadilan versinya sendiri.

Keempat, dalam pengalaman berbangsa kita, konstitusi telah beberapa kali diamandemen. Tak terhitung pula pasal-pasal tertentu undang-undang, yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari MoU, dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan konstitusi. Baru-baru ini, Presiden Jokowi memaklumatkan penghapusan 3000-an Perda yang dinilai diskriminatif, tidak adil, dan merongrong kebhinekaan. Masa MoU tidak bisa ditarik kembali jika dirasa menciderai keadilan? Mungkin hanya di NTT dan Mabar, MoU dihargai lebih tinggi daripada undang-undang. Mungkin hanya di NTT dan di Mabar pula, ketidakwarasan dan ketidakadilan dibenarkan demi membela MoU.

Aspirasi dan Undang-Undang

Tidak ada pilihan bagi Pemprov NTT selain tunduk pada perintah undang-undang serta aspirasi publik.Tentu saja, dengan segala risiko dan konsekuensinya. DPRD NTT seharusnya juga mulai memperlihatkan apa dan bagaimana seharusnya menjadi wakil rakyat. Salah satunya: kawal kebijakan pemerintah serta perjuangkan aspirasi rakyat. Gelar Pansus menjadi sesuatu yang harus, tidak bisa ditunda-tunda. Sebab, bau menyengat kian tercium bahwasanya lebih banyak lagi aturan hukum yang dilanggar dalam proses transaksi Pede itu.

Selain itu, bupati Mabar juga perlu sadar bahwa dia bukan wakil gubernur, tapi wakil rakyat Mabar. Rakyat Mabar telah kompak menyuarakan penolakan terhadap privatisasi Pede. Karena itu, ditambah dengan segala kuasa yang ada padanya, dukungan publik menolak privatisasi seharusnya menjadi modal kuat bupati untuk tidak terus-terusan tunduk pada kebijakan gubernur yang jelas-jelas melabrak aturan, akal sehat, dan rasa keadilan.

Selanjutnya, biarkanlah segala konsekuensi penarikan MoU itu menjadi tanggung jawab gubernur sendiri. Bagi bupati dan rakyat Mabar, pikirkanlah bersama-sama bagaimana bentuk pengelolaan terbaik kawasan Pede yang tersisa itu.

Jadikanlah Pede sebagai natas labar sesungguhnya. Sentuhlah ia secara profesional, transparan, akuntabel, dan bertanggungjawab. Sebab, hanya egoismelah yang bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan dan hanya dalam kebersamaanlah terletak kebahagiaan yang senyata-nyatanya, kata Leo Tolstoy, penyair dan novelis Rusia itu. (Rikard Rahmat, praktisi dan pemerhati humaniora, tinggal di Jakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun