Mempersamakan begitu saja dua prinsip ini alias kebijakan yang tidak “bajik” sering kali terjadi karena dilandasi kepentingan pribadi, yaitu “ke-bijok-an”: menjadikan diri sendiri makmur dan sejahtera, yang disimbolkan dengan perut “bijok” (=buncit), sambil mengorbankan kepentingan rakyat.
Dalam konteks itu, tidak ada istilah “tindakan tidak adil terhadap Pemprov NTT” jika kebijakan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan dan akal sehat publik. Dasarnya, keadilan bagi Pemprov NTT adalah keadilan bagi rakyat. Dalam konteks Pede, rakyat adalah pemilik sah tanah itu dan Pemprov NTT hanyalah wakil mereka. Bila rakyat menganggap privatisasi itu tidak adil, adalah tidak waras Pemprov NTT bertahan dengan kebenaran dan konsep keadilan versinya sendiri.
Keempat, dalam pengalaman berbangsa kita, konstitusi telah beberapa kali diamandemen. Tak terhitung pula pasal-pasal tertentu undang-undang, yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari MoU, dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan konstitusi. Baru-baru ini, Presiden Jokowi memaklumatkan penghapusan 3000-an Perda yang dinilai diskriminatif, tidak adil, dan merongrong kebhinekaan. Masa MoU tidak bisa ditarik kembali jika dirasa menciderai keadilan? Mungkin hanya di NTT dan Mabar, MoU dihargai lebih tinggi daripada undang-undang. Mungkin hanya di NTT dan di Mabar pula, ketidakwarasan dan ketidakadilan dibenarkan demi membela MoU.
Aspirasi dan Undang-Undang
Tidak ada pilihan bagi Pemprov NTT selain tunduk pada perintah undang-undang serta aspirasi publik.Tentu saja, dengan segala risiko dan konsekuensinya. DPRD NTT seharusnya juga mulai memperlihatkan apa dan bagaimana seharusnya menjadi wakil rakyat. Salah satunya: kawal kebijakan pemerintah serta perjuangkan aspirasi rakyat. Gelar Pansus menjadi sesuatu yang harus, tidak bisa ditunda-tunda. Sebab, bau menyengat kian tercium bahwasanya lebih banyak lagi aturan hukum yang dilanggar dalam proses transaksi Pede itu.
Selain itu, bupati Mabar juga perlu sadar bahwa dia bukan wakil gubernur, tapi wakil rakyat Mabar. Rakyat Mabar telah kompak menyuarakan penolakan terhadap privatisasi Pede. Karena itu, ditambah dengan segala kuasa yang ada padanya, dukungan publik menolak privatisasi seharusnya menjadi modal kuat bupati untuk tidak terus-terusan tunduk pada kebijakan gubernur yang jelas-jelas melabrak aturan, akal sehat, dan rasa keadilan.
Selanjutnya, biarkanlah segala konsekuensi penarikan MoU itu menjadi tanggung jawab gubernur sendiri. Bagi bupati dan rakyat Mabar, pikirkanlah bersama-sama bagaimana bentuk pengelolaan terbaik kawasan Pede yang tersisa itu.
Jadikanlah Pede sebagai natas labar sesungguhnya. Sentuhlah ia secara profesional, transparan, akuntabel, dan bertanggungjawab. Sebab, hanya egoismelah yang bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan dan hanya dalam kebersamaanlah terletak kebahagiaan yang senyata-nyatanya, kata Leo Tolstoy, penyair dan novelis Rusia itu. (Rikard Rahmat, praktisi dan pemerhati humaniora, tinggal di Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H