Mohon tunggu...
rika novayanti
rika novayanti Mohon Tunggu... -

I am high and colorful as the rainbow

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menelepon Ibu

6 Maret 2011   16:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:01 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Biasanya aku jarang menelepon ibu. Namun sejak ayah tidak ada aku jadi sering menelepon ibu. Aku jadi galak kepada ibu. Seolah ibu tidak lebih mengerti dunia ini dari pada aku.

Ibu layaknya pemerintah, dan aku mahasiswa yang tidak bisa membedakan antara kritis dan nyinyir. Ada saja kebijakan ibu yang membuatku marah, lalu meneleponnya dengan nada galak. Padahal, apa yang aku tahu soal dunia ini? aku baru saja menjadi 23 tahun beberapa bulan lalu, padahal Ibu sudah hampir setengah abad umurnya.

Aku selalu sok tahu, karena sok merasa lebih banyak baca, dan lebih mengerti perkembangan mutakhir dunia. Sementara perkembangan mutakhir yang ibu tahu "hanyalah" Adik laki-laki ku yang sialan itu mulai menggunakan obat-obatan terlarang.

Aku anak yang tidak berbakti. Aku kesal sekaligus lega berada jauh dari rumah. Aku kesal karena tidak dapat membantu adikku mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengajarinya membuat pidato berbahasa inggris. Akan tetapi aku lega karena tidak perlu menghadapi kericuhan rumah yang setiap pagi seperti kapal pecah, penuh dengan teriakan.

Aku lelah, tetapi aku selalu melupakan kelelahan ibu. Aku takut, tetapi aku melupakan ketakutan Ibu.

Aku anak yang egois karena hanya peduli pada ketakutanku. Aku membaca ibu lewat rasa takut, aku melihat dunia lewat rasa takut. Lewat rasa takut juga aku menyalahkan segala-galanya, ya segalanya, kecuali Tuhan. Karena aku percaya adalah aku dan manusia di sekitarku yang bertanggung jawab atas semua ini. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri.

Maka aku semakin ketakutan. Tidak ada yang bisa kusalahkan, juga bukan Tuhan. Tanpa ada yang bisa disalahkan. Meraba-raba. Aku mengerti agama sebatas fatamorgana, aku membaca filsafat hanya seperti menonton silat, dilihat sesaat, aku mengerti seni tak lebih dari warna warni.

Maka aku mulai menyalahkan diri sendiri. Mulai mencari pledoi akan segala ketakutan,  stress dan frustasi. Aku membenarkan diriku merokok dan minum bir di ujung Setiabudi. Konyol. Panik membuat manusia lupa berpikir.

Akhirnya ketakutan pun selalu termanifestasi dalam setiap perkataan galakku pada ibu.

Aku sedih karena adikku terpaksa tidak masuk sekolah menengah bergengsi karena mahalnya uang masuk. Aku membayangkan segala kemudahanku bersekolah di mana pun tempat yang aku pilih. Aku tahu adikku hanya menahan diri ketika dia bilang dia senang sekali dengan sekolahnya yang sekarang ini. Namun aku tidak punya keberanian menangis di hadapan ibu.

Maka aku marah.

Aku marah ketika menelepon ibu. Aku marah mengapa ibu tidak mau mengeluarkan uang agar adik masuk sekolah bagus itu. Aku memojokan ibu dengan segala peninggalan ayah. Mengapa tidak menjual salah satu bidang tananh, mengapa tidak menjual salah satu rumah, emas, atau apalah. Aku lupa bahwa sekolah adalah lingkungan sosial.

Dengan sabar ibu jelaskan bahwa ia tidak akan tega melihat adikku rendah diri dihadapan temannya yang menggunakan handphone dengan harga lima juta sementara handphone milik adikku hanyalah sisa-sisa peninggalan ayah. Tapi aku tidak menerima alasan itu.

Kalau saja sabar berhadiah uang, ibu pasti sudah kaya raya melalui perdebatannya denganku kala itu.

Kemarin dulu aku begitu sering menelepon Ibu. Tetapi ketakutanku terus menggebu. Padahal dari pada terus mengharu biru bukankah lebih baik kutabung dan kukirimkan uang untuk adikku lewat ibu. Tetapi aku selalu sulit menyisihkan banyak uang, dan ini membuatku semakin ketakutan.

Aku malu karena yang pertama kukhawatirkan ketika ayah tak ada justru adalah biaya hidup, bukan soal betapa sulitnya adik-adikku kehilangan figur ayah. Belakangan hal ini membuatku paranoid. Lalu kegalakkan ku pada ibu pun menjadi-jadi.

Aku benci ayah harus mati, karena aku anak yang tidak berbakti.

Aku selalu menganggap ibu tidak bisa tegas kepada adik laki-laki ku yang selalu kumaki itu. Ayah sudah memanjakannya dengan uang, lalu aku menyalahkan ayah. Aku lupa bahwa kehilangan ayah adalah juga hal berat buat mereka berdua: ibu dan adik laki-lakiku. Aku lupa memperhatikan setiap rasa mereka. Aku lupa merasakan rasa, hingga tumpukan rasa membuatku menjadi lebih merasa, dan ketakutan sesudahnya.

Maka aku tertawa. Karena tertawa adalah satu-satunya yang bsia kulakukan ketika tangis tak lagi berguna.

Aku lupa untuk menikmati sakit dan menyelesaikan masalah. Aku pengecut, aku takut sakit. Maka aku marah. Aku marah pada semua orang. Pada mantan pacar, pada senior, pada teman kos, pada pacarnya mantan pacar. Pada semua orang yang bisa kumusuhi.

Aku takut mengakui ketakutanku. Aku takut pada masa kini dan masa depan. Aku takut ibu tidak baik-baik saja, aku takut ibu merasakan sakit.

Aku lupa bahwa sikapku  yang membuat ibu sakit dan tidak baik-baik saja.

Maka kukurangi kuantitas menelepon Ibu. Berharap aku segera menyelesaikan urusan ini dengan diriku, agar bisa lebih sering menelepon ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun