Ternyata istilah percaloan bukan hanya ada di lingkungan politisi dan businessman saja, percaloan juga belaku di kalangan pemuka agama. Sistem percaloan dilegalkan dalam politik, bisnis, cinta, dan lain sebagainya. Apakah dalam agama juga dilegalkan? Sebagian ulama dari kita tidak bisa dipungkiri sebagai calo tiket surga meski tujuannya bukan itu. Boleh jadi ambisi kekuasaan, bias politik, otoritas agama, karisma, atau kuantitas jumlah jama'ah.
Seorang yang sudah menjadi public figure selalu berat hati untuk kehilangan pasar. Tentunya, para Ustadz juga. Dari sekian banyak pemuka agama yang kita perhatikan, memang banyak fenomena menarik yang perlu kita kaji dari berbagai aspek, entah itu sosiologis, agama, bahkan marketing. Fenomena yang menarik munculnya Ustadz YouTubers ya kira-kira santrinya jama'ah YouTubers juga, siapa yang terpengaruhi di sini? Artis-artis, seleb-seleb, entah selebriti atau selebgram, bahkan mereka bermetamorfosis jadi ustadz seleb.
Fenomena pertama, ustadz-ustadz yang "Merdeka dalam Berfatwa". Ini ustadz enak banget kalau ngomong, "kafir, haram, bid'ah" itu aja dibolak-balik sampai bibir berbusa. Tapi dibalik ceramahnya yang terbilang membid'ahkan, mereka lunak dengan pemerintah dalam arti tidak berani mengkritik pemerintah dengan kasar. Tak se-prontal Felix Shiaw atau Maher al-Thawalibi. Golongan jamaah Islam seperti ini banyak digerakan oleh tokoh-tokoh al-Irsyad al-Islamiyah seperti Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Riyadh Bajrey, Abdullah Hadrami, Yazid Jawaz dan lain sebagainya. Golongan ini dulu digerakkan oleh Syaikh Ahmad Surkati yang memproklamirkan diri untuk keluar dari barisan Jami'at al-Khair.
Mereka menyatakan diri sebagai pengikut Sunnah, tak sedikit fatwa mereka berbeda-beda, dari mulai fatwa lucu "jamaah berjemur di Monas" hingga daging buaya halal, mereka produksi. Tapi memang cukup bikin geli dan lucu. Tapi gerakan ini selalu semangat untuk mengkampanyekan legalisasi Syari'at Islam, dikenallah dengan gerakan Anshaar al-Syari'ah.
Fenomena kedua, muncul gerakan Islam yang "Sembrono dalam Berfatwa", kalangan ini dimotori oleh orang-orang HTI, sembrono dalam arti ia gegabah menafsirkan sebuah teks, missal "Pancasila Thagut" sudah sangat jelas, ketika Pancasila sudah dianggap thagut otomatis tradisi yang sifatnya sacral seperti Maulid, dan lain sebagainya mereka anggap sebagai perilaku "bid'ah" tujuan mereka hanya satu, mengacaukan stabilitas negara atas nama Tauhid. Inilah yang dalam gerakan teroris adalah gerakan Anshaar al-Tauhid.
Jika fenomena pertama gerakannya lebih soft, melalui proses-proses ideologisasi, sedangkan yang kedua lebih frontal yaitu sebuah gerakan "bughat" pemberontak. Keduanya akan tetap bertemu diujung yang sama, karena mempunyai kedekatan ideologi. Apalagi ideologistiknya sama-sama dari sumber yang sama, seperti yang dikatakan Hillary Clinton yang membiayai mereka adalah Amerika.
Fenomena ketiga lebih unik lagi, "Islam model Barbar", kerjaannya sweeping, mukulin orang, sama caci maki di mimbar dakwah. Ini fenomena bukan hoaks, meski tak sedikit juga yang baik-baiknya. Saya ingin menulis objektif saja, tak sedikit saya punya teman para Habaib, bahkan guru-guru saya banyak yang Habaib, bukan hanya mentok di Habaib yang Sunni bahkan Habaib yang Syiah secara madzhab pun pernah saya menerima ilmu darinya.
Baru-baru ini kita melihat jurus Kung-Fu dari seorang Habib gondrong pirang, ia memukuli seorang remaja dengan sangat sadis. Saya kira itu Tony Jaa yang sedang latihan Muay Thai, eh, ternyata Bahar Smith. Sebenarnya yang dilakukan Bahar adalah respon dari insiden sebelumnya, jadi ada sebuah prakondisi yaitu munculnya fenomena Habib Palsu. Tapi, Bahar Smith seharusnya jika dia sebagai warga yang baik dan taat terhadap hukum, laporkan saja kepada pihak berwajib.
Dengan alasan dalil menjaga kesucian AhlulBayt Nabi, Bahar sudah berani menganiaya orang, padahal kalua kita baca akhlak Nabi tidak ada model Bahar Smith ini. Dalil yang jadi acuan Bahar adalah sebuah fatwa agama, tentunya itu bukan hukum positif (ius constitutum), oleh karena ia bukan hukum positif, maka jika ada yang memaksakan entah itu sekelompok orang atau organisasi masyarakat, aparatur pemerintah harus mencegah dan melarangnya.
Meski fatwa ulama itu bukan hukum positif (ius constitutum) melainkan hukum aspiratif (ius constituendum), namun fatwa ini berlaku dipraktikan di masyarakat (living law), sedangkan jika the living law adalah sebuah hukum yang dinamis, maka berkembang sesuai kebutuhan masyarakat, maka menyesuaikan diri dengan keperluan hidup bernegara.
Kalau kita kaji dalam hukum Islam, sebenarnya ada aturan yang bersifat qath'i (pasti) atau paten tidak bisa diganggu gugat seperti hukum yang diambil dari al-Qur'an dan Hadits yang memang betul-betul qath'i, dalam arti bukan produk hukum yang diproduksi oleh para mujtahid. Ada juga hukum yang bersifat dzanni (dinamis), tentunya itu kembali ke pendapat mayoritas ulama, jika hukum itu qath'i maka hukum itu tidak ada perdebatan, sedangkan ketika sebuah hukum itu dzanni (dinamis) maka banyak perdebatan.
Misal kasus Habib Bahar, tidak sedikit Ulama yang membela, tidak sedikit pula Ulama yang mengecam bahkan beberapa Habib mengeluarkannya dari kaum 'alawiyyin. Atau sekarang perihal fatwa mengucapkan “Selamat Hari Raya Natal” itu adalah bentuk hukum yang dzanni (dinamis), ada sebuah perdebatan di dalamnya.
Poin pentingnya bahwa ijtihad ulama bukan hukum positif sehingga itu tidak bisa dilakukan sewenang-wenangnya oleh pihak tertentu atas dasar alasan apapun. Tiga fenomena gerakan Islam ini, kita soroti sebagai gerakan Islam transnasional, mereka pada suatu waktu tertentu akan bertemu dan menyatukan visi dan misi mereka untuk memporak-porandakan tatanan hukum dan tatanan negara, bangsa ini bergeser kearah Thalibanisme dan Barbarisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H