Seorang motivator ternama mengajukan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada seluruh peserta yang menghadiri seminar yang sedang dibawakannya.
“Siapa orang yang paling Anda cintai di dunia ini?”
Ada peserta yang menjawab pasangan hidupnya, entah itu suami, istri, ataupun pacar. Ada peserta yang menjawab orangtuanya. Ada juga yang menjawab anaknya. Ataupun kakak adiknya. Bahkan ada yang menjawab orang-orang lainnya.
Sang motivator pun terhenyak.
“Jadi tidak adakah di antara para peserta di ruangan ini yang mencintai dirinya sendiri?”
Motivator itu menggelengkan kepalanya keheranan. Para hadirin pun terdiam. Mereka langsung tersadar.
Seringkali kita dalam hidup ini terpaku untuk membahagiakan orang lain. Tanpa kita sadari, kita sering mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Sebagai orang yang menjunjung adat ketimuran, kita diajarkan untuk mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya bergotong royong demi kepentingan bersama.
Tentu saja hal tersebut merupakan hal yang baik dan mulia untuk dilaksanakan. Namun terkadang timbul rasa enggan atau tidak enak untuk menolak, jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kita inginkan. Budaya enggan berkata tidak dan sering mengiyakan perkataan orang lain walaupun sebenarnya dalam hati kita tidak setuju, bisa menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Memang tidak ada yang salah dengan mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. Namun jika hal tersebut selalu kita terapkan di dalam kehidupan kita sehari-hari, maka akan memiliki dampak yang kurang bagus bagi kesehatan tubuh dan mental.
Kita menjadi kurang memperhatikan apa yang tubuh dan pikiran kita butuhkan atau inginkan. Kita menjadi kurang menjaga kesehatan tubuh dan pikiran kita. Kita menjadi kurang mendapatkan waktu untuk diri sendiri karena sepanjang waktu dihabiskan untuk orang lain.