“Kafe? Kafe mana, Ve? Tadi kan kita janjiannya di food court, bukan di kafe.” Ujar Marsha kebingungan.
“Aku tungguin kamu di food court selama 2 jam, Ve. Sampai aku keliling food court nyariin kamu. Tapi ga ketemu. Ketemunya malah di lobi.” Marsha menyambung pembicaraannya.
“Lah, gimana sih. Aku juga nungguin kamu dari tadi, Sha. Di kafe yang kamu bilang food court itu. Mana menunya cuma sedikit. Aku jadi ga banyak pilihan makannya.” Cerocos Venus tambah sebal.
“Hah? Mana ada kafe di food court, Ve? Kafe apa? Apa namanya?” Marsha jadi semakin bingung.
“Ya aku ga merhatiin tadi nama kafenya apa. Tapi di lantai 3 tadi hanya ada satu kafe itu. Yang temboknya hitam semua itu, lho.” Venus masih ngotot menerangkan.
“Ve, di lantai 3 gedung ini semuanya dipakai untuk lokasi food court. Bentuknya konter-konter makanan dan minuman gitu. Ga ada yang bentuknya kafe. Lagipula di gedung ini semua temboknya putih. Ga ada yang hitam.” Marsha mencoba memberi pengertian kepada Venus.
Venus dan Marsha tiba-tiba tercekat. Mereka berdua baru menyadari apa yang baru dialami oleh Venus.
“Jadi barusan aku makan di mana, Sha?” Tanya Venus tiba-tiba bergidik.
Ia teringat lagi suasana di kafe bertembok hitam itu. Pantas tadi Venus tidak mendengar sedikit pun suara-suara orang berbicara, walaupun banyak orang lalu lalang di sekitarnya. Pantas saja Mbak petugas kafe hanya tersenyum dan mengangguk tanpa suara. Pantas tadi semua orang yang ada di sana berkulit pucat. Semua kejanggalan yang sedari tadi Venus rasakan terjawab sudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H