“Ica, kamu di mana sekarang?” Adi bicara sendiri dengan nada lirih. Ia merasakan kerinduan yang amat mendalam kepada gadis itu. Sudah sepuluh tahun lamanya ia meninggalkan rumah. Meninggalkan kampung tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Kampung tempat ia pertama kali jatuh cinta.
Kini semuanya sudah berubah. Kampung yang dulu masih asri dan penuh dengan pepohonan, sudah berganti dengan gedung-gedung tinggi dan mal-mal yang bertebaran di mana-mana. Rumah kecilnya dulu yang terletak di jalan antara gang-gang sempit sudah tergusur. Digantikan dengan bangunan-bangunan menjulang. Poskamling yang dahulu terletak di ujung gang pun sudah hilang. Lenyap tak berbekas.
Semua kenangan selama sepuluh tahun yang lalu mendadak sirna. Adi sama sekali tidak mengenali daerah itu lagi. Ia menyesali keputusannya untuk baru datang ke kampung halamannya setelah sekian lama berlalu.
Sebuah keputusan yang ia ambil untuk membuktikan kepada ayah dan ibunya bahwa ia pantas bersanding dengan Ica. Keputusan bahwa ia baru akan kembali ke kampung halamannya ketika ia sudah berhasil dan mapan. Sehingga ia bisa menghadap keluarga Gandasubrata dan meyakinkan mereka bahwa ia sanggup membahagiakan puteri semata wayangnya.
“Kamu yakin kamu mau bekerja di kapal pesiar, Nak?” Adi terngiang-ngiang kembali ucapan ibunya di kala itu.
“Adi yakin, Bu.” Jawab Adi dengan suara mantap.
“Tapi itu artinya kamu bertahun-tahun tidak bisa pulang ke rumah, Nak.” Ayahnya berusaha untuk merubah pikiran Adi.
“Ini demi masa depan kita semua, Yah, Bu.” Adi mencoba meyakinkan kedua orang tuanya.
“Adi ga mau kita hidup pas-pasan seperti ini terus. Adi mau membahagiakan Ayah dan Ibu. Adi mau kita sekeluarga hidup berkecukupan seperti keluarga yang lainnya.” Lanjut Adi dengan penuh semangat.
“Adi mau semua orang memandang keluarga kita setara dengan keluarga berada lainnya. Adi mau semua orang tidak melihat sebelah mata lagi kepada kita, Yah, Bu.” Adi memandang ke arah kedua orang tuanya dengan penuh harap. Ia meminta restu, persetujuan untuk berangkat berlayar. Bekerja di kapal pesiar.
“Tunggu dulu, Di. Ini bukan gara-gara ucapan Ibu waktu itu, kan?” Tanya Bu Yem penasaran.