“Berhenti di depan pintu pasar aja, Bang.” Suara ibu-ibu menghentakkan lamunan Adi di siang bolong. Adi melambatkan kayuhan becaknya dan berhenti tepat di lokasi yang diminta oleh penumpang becaknya.
“Terima kasih ya, Bu.” Setelah ia menerima uang dari ibu itu, Adi kemudian menepikan becaknya ke tepi pohon rimbun untuk berteduh.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Adi menghela napas panjang. Gagal niatnya untuk kembali melanjutkan lamunannya yang tadi sempat terhenti. Ia pun mengangkat telponnya yang masih berdering.
“Ya, Jer. Ada update apa?” Adi tak sabar menunggu kabar yang hendak disampaikan oleh asisten pribadinya, Jerry.
“Siang, Bos. Kami sudah berusaha mencari kabar tentang keberadaan gadis itu. Namun sampai sekarang kami belum menemukan hasil yang berarti.” Lapor Jerry kepada Adi dengan suara lirih. Ia takut mengecewakan atasan yang selama ini memperkerjakannya dengan baik.
“Ya udah. Besok kamu coba lagi, cari sampai dapat.” Adi berkata dengan santai.
“Baik Bos. Terima kasih, Bos. Ngomong-ngomong, Bos sekarang ada di mana? Perlu saya jemput?” Jerry menghela napas lega setelah tahu bahwa atasannya tidak marah kepadanya.
“Ga usah. Nunggu kamu kelamaan nanti. Saya bawa mobil saya aja sendiri. Kamu suruh anak buah kamu untuk ambil becak milik ayah saya di Pasar Mede, di tempat biasa.” Instruksi Adi kepada Jerry.
“Siap, Bos.” Jerry menyanggupi permintaan Adi. Setelah menutup telponnya, Adi langsung bergegas ke arah mobil Fortuner hitam yang diparkir tak jauh dari becak milik ayahnya. Ia pun segera berlalu dari tempat itu.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Adi kembali terbawa kepada cerita di masa silam. Saat-saat terindah dalam hidupnya. Masa-masa remaja penuh kenangan. Cerita tentang cinta pertamanya.
Cinta kepada seorang gadis cilik nan jelita. Erisa Gandasubrata. Orang-orang memanggilnya dengan nama Ica. Nama yang singkat, tapi manis terdengar.