Mohon tunggu...
Rika Apriani
Rika Apriani Mohon Tunggu... Novelis - Writer, author, blogger. Nama Pena: Zanetta Jeanne. Nomine Best in Fiction - Kompasiana Award 2024.

Creating my own imaginary world through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Gerbang Sekolah Aku Menanti

22 Maret 2024   13:13 Diperbarui: 22 Maret 2024   13:25 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com / Daniel Liu

Tak sabar rasanya hatiku untuk kembali bertemu denganmu.

Padahal baru saja kemarin aku tertawa lepas bersamamu.

Tak ingin aku berpisah darimu, walau sedetik pun.

Adi bersiul-siul dengan gembira sambil menyandarkan tubuhnya ke tiang listrik di depan gerbang sekolah. Teriknya sinar matahari saat itu sama sekali tidak mempengaruhi suasana hatinya. Terlihat satpam sekolah dengan seragam coklat muda berdiri mengamatinya dari dalam gerbang.

“Hei, kamu lagi ngapain di situ?” Pak Satpam menegur Adi dengan nada curiga.

“Eh, iya Pak. Saya lagi nunggu Ica. Kelasnya sudah selesai belum ya?” Adi menghampiri Pak Satpam dengan berjalan mendekati pintu gerbang sekolah.

“Ica yang mana?” Pak Satpam malah balik bertanya.

“Ica yang cantik itu lho, Pak. Emang ada berapa Ica di sekolah ini yang wajahnya cantik?” Adi memandang Pak Satpam dengan memasang muka serius.

“Ah, kamu ada-ada aja. Bisa-bisanya kamu tahu ada gadis cantik di sekolah ini. Emangnya ada keperluan apa kamu sama si Ica?” Pak Satpam menjadi tambah curiga.

“Eh, enggak kok, Pak. Saya saudaranya Ica. Saya disuruh Mamanya Ica untuk jemput Ica sepulang sekolah.” Adi terpaksa berbohong saking gugupnya.

“Ogitu. Jam segini emang belum pada selesai. Biasanya pelajaran usai sekitar jam dua siang. Kamu tunggu aja dulu di luar. Setengah jam lagi juga sudah pada bubar.” Pak Satpam menyuruh Adi untuk sabar menunggu.

“Siap Pak, terima kasih.” Adi kembali ke tempatnya semula. Bersandar di tiang listrik sambil melanjutkan siulan riangnya.

Bel sekolah berdering dengan kencang.

Terdengar riuhnya suara anak-anak yang bergegas keluar kelas dan berjalan menuju gerbang sekolah. Ica pun cepat-cepat merapikan isi tasnya dan setengah berlari menuju keluar sekolah. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ada seseorang yang menunggunya di depan siang ini.

“Ica, tunggu!” Rima berteriak memanggil sahabatnya untuk menunggunya. Namun Ica tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan.

Sesampainya di depan pintu gerbang sekolah, Ica menemukan Adi yang sedang celingak-celinguk mencari seseorang. Sosok itu tiba-tiba mendadak tersenyum lebar begitu melihat Ica di hadapannya.

Ica melambaikan tangannya.  Ia mencari tahu apakah ada becak di samping Adi. Ternyata tidak ada.

Syukurlah. Ucap Ica dalam hati. Ica tidak ingin Adi susah-susah mengayuh becak khusus untuk menjemputnya.

Lagipula lebih enak jalan kaki daripada naik becak yang dikemudikan Adi. Aku jadi bisa berjalan berdampingan dengan Adi selama perjalanan pulang ke rumah. Aku jadi dapat melihat raut wajahnya saat ia berbicara denganku. Ica berkata dalam pikirannya.

Ups... Kenapa pikiranku jadi melayang ke mana-mana. Ica merasakan ada semburat merah muda di wajahnya. Ia memalingkan mukanya sejenak, pura-pura memperhatikan hal lain. Kemudian baru ia berjalan mendekati Adi.

“Kamu naik apa ke sini, Di? Jalan kaki?” Tanya Ica berbasa-basi.

“Iya Ca. Kan kemarin kamu yang minta aku untuk ga bawa becak hari ini.” Adi terlihat ragu-ragu untuk menjawab.

“Aku nanya doang kok, Di. Aku lebih suka jalan kaki.” Ica tertawa kecil melihat kebingungan Adi.

“Ica!” Terdengar suara Rima di belakangnya. Ia menghampiri sahabatnya yang sedang berbicara dengan Adi.

“Buru-buru amat sih mau cepet-cepet pulang, taunya mau ketemu seseorang ya!” Rima menggoda Ica yang langsung tersipu malu.

“Apaan sih, Rim.” Ica langsung melotot ke arah Rima.

“Eh, kenalin. Ini Adi, tetanggaku. Adi, ini Rima. Teman sebangku sekaligus sahabatku yang bawel.” Ica mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Oh hai, Adi. Salam kenal ya. Ngomong-ngomong, kamu rajin banget jemput Ica pulang sekolah. Takut hilang ya?” Rima dengan muka jahilnya mencoba memancing informasi.

“Salam kenal juga Rima. Iya nih, aku diminta Mamanya Ica untuk jemput Ica setiap hari. Biar anaknya ga ada yang gangguin, katanya. Sama biar ada yang gendong Ica, kalau dia capek jalan kaki.” Adi memasang muka serius.

“Mulai deh. Ga lucu tau, bercandanya.” Ica tiba-tiba merengut. Ia pura-pura ngambek.

“Eh, ga lucu ya. Maap ya.” Adi mencoba merayu Ica supaya ia tidak merajuk lagi.

“Oh, jadi kamu itu seperti bodyguard-nya Ica ya. Wah, keren banget Mama kamu, Ca. Kalau Mamaku boro-boro. Yang ada aku diomelin terus setiap aku minta dijemput.” Ujar Rima dengan nada sedikit iri.

Beberapa anak perempuan yang berdiri tak jauh dari situ terlihat sedang memandangi mereka bertiga.

“Eh, itu kan tukang becak yang kemarin.” Kata anak perempuan yang mengenakan pita ungu di rambutnya.

“Oh iya, betul. Cakep juga dia.” Teman yang satunya menimpali.

“Cakep sih cakep. Tapi tetap aja tukang becak.” Teman perempuannya yang lain menambahkan. Mereka lalu tertawa terbahak-bahak sambil memandangi Adi dengan sinis.

Adi yang tak sengaja mendengar pembicaraan mereka menjadi sedih. Ia tertunduk malu dan tidak berani mengangkat mukanya. Ica yang menyadari hal itu langsung menghampiri anak-anak perempuan yang telah menghina Adi tersebut.

“Kalian ngomong apa barusan? Tukang becak?” Ica bertanya dengan suara lantang kepada gadis-gadis itu. Mereka menghentikan tawanya dan hanya diam memandangi Ica.

“Asal kamu semua tahu ya. Biarpun tukang becak, ia sudah bisa cari uang sendiri. Daripada kalian yang hanya mengandalkan harta orang tua saja!” Ica membentak mereka sambil menunjuk-nunjuk ke arah anak-anak perempuan itu satu persatu.

“Dan aku ga mau dengar lagi kalian menghina Adi di hadapanku. Siapa aja yang berani menjelek-jelekkan dia, harus berhadapan denganku. Paham?” Ica mengepalkan tinjunya. Mukanya mulai merah bagai kepiting rebus.

“Sudah Ica, aku gapapa kok. Kita pulang aja yuk. Mama kamu pasti sudah menunggumu di rumah.” Tanpa menunggu jawaban Ica, Adi langsung meraih tangan Ica. Ia menarik Ica dengan halus untuk segera pergi dari tempat itu. 

Ica yang saat itu sedang marah besar tiba-tiba menjadi mereda. Ia tak menyangka Adi akan menggenggam tangannya selembut itu. Bagaikan siraman air yang sejuk di tengah panasnya api yang membara. 

Kini ada api lain yang muncul di hati Ica. Api yang mampu membuat wajahnya bersemu merah muda. Bukan merah tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun