“Siap Pak, terima kasih.” Adi kembali ke tempatnya semula. Bersandar di tiang listrik sambil melanjutkan siulan riangnya.
Bel sekolah berdering dengan kencang.
Terdengar riuhnya suara anak-anak yang bergegas keluar kelas dan berjalan menuju gerbang sekolah. Ica pun cepat-cepat merapikan isi tasnya dan setengah berlari menuju keluar sekolah. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ada seseorang yang menunggunya di depan siang ini.
“Ica, tunggu!” Rima berteriak memanggil sahabatnya untuk menunggunya. Namun Ica tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan.
Sesampainya di depan pintu gerbang sekolah, Ica menemukan Adi yang sedang celingak-celinguk mencari seseorang. Sosok itu tiba-tiba mendadak tersenyum lebar begitu melihat Ica di hadapannya.
Ica melambaikan tangannya. Ia mencari tahu apakah ada becak di samping Adi. Ternyata tidak ada.
Syukurlah. Ucap Ica dalam hati. Ica tidak ingin Adi susah-susah mengayuh becak khusus untuk menjemputnya.
Lagipula lebih enak jalan kaki daripada naik becak yang dikemudikan Adi. Aku jadi bisa berjalan berdampingan dengan Adi selama perjalanan pulang ke rumah. Aku jadi dapat melihat raut wajahnya saat ia berbicara denganku. Ica berkata dalam pikirannya.
Ups... Kenapa pikiranku jadi melayang ke mana-mana. Ica merasakan ada semburat merah muda di wajahnya. Ia memalingkan mukanya sejenak, pura-pura memperhatikan hal lain. Kemudian baru ia berjalan mendekati Adi.
“Kamu naik apa ke sini, Di? Jalan kaki?” Tanya Ica berbasa-basi.
“Iya Ca. Kan kemarin kamu yang minta aku untuk ga bawa becak hari ini.” Adi terlihat ragu-ragu untuk menjawab.