“Mau ke mana, Cantik?”
Ica memeluk jaketnya erat-erat. Jaket yang rencananya ia pakai untuk menutupi seragam sekolahnya masih dalam pegangannya. Siang itu matahari menyorot dengan gagahnya. Sehingga ia mengurungkan niatnya untuk menggunakan jaket berwarna merah muda yang dibelikan ayahnya sepulangnya dari berbisnis. Kini Ica menyesali keputusannya.
Sekelompok anak remaja tanggung berusia belasan tahun tertawa-tawa dan menggoda Ica yang berjalan cepat melewati mereka. Mereka masih menggunakan seragam sekolah. Namun bukannya langsung pulang ke rumah usai sekolah, malah asyik nongkrong di depan gang kecil menuju rumah Ica.
Gang itu hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja dan cuma bisa berpapasan dengan satu motor. Di depan mulut gang terdapat pos ronda kecil yang biasa digunakan oleh bapak-bapak untuk melakukan kewajiban siskamling bergilir di waktu malam. Di siang hari atau sore hari biasanya dipakai oleh anak-anak muda iseng nongkrong di situ sambil bermain gitar.
“Eh, kok ga jawab. Mentang-mentang sekolah di sekolah mahal ya. Sombong!”
Ica mempercepat langkahnya. Salah satu dari anak usia tanggung itu beranjak dari duduknya dan mengejar Ica. Ia menarik tas ransel Ica dan menahannya supaya Ica tidak bisa melanjutkan langkahnya.
“Jangan cepet-cepet jalannya. Buru-buru amat sih.”
Ica refleks menyabetkan jaket yang dipegangnya ke arah kepala anak lelaki itu. Seketika anak itu memegang kepalanya dan matanya merah berair menahan sakit. Ica membalikkan badannya dan memasang kuda-kuda bersiap-siap untuk menerima serangan balik.
“Wah nantangin nih cewek satu. Belum pernah gua gampar ya!”
Belum sempat anak muda itu mengayunkan tangannya ke arah muka Ica, tiba-tiba temannya yang dari tadi asyik bermain gitar bangkit dan menarik kemeja anak lelaki itu dari belakang.
“Jangan ganggu dia. Cewek itu punya gua. Mulai sekarang, ga ada yang boleh ganggu dia lagi. Paham?” Si pemain gitar itu bersuara lantang dan melotot ke arah temannya.
Kemudian anak yang jago bermain gitar itu menoleh ke arah Ica yang menatapnya dengan ragu-ragu. “Tunggu apa lagi. Pergi sana!” Ia mengusir Ica dengan gerakan tangannya, menyuruh Ica untuk segera angkat kaki dari tempat itu.
Ica yang masih kebingungan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun berlari kencang menuju arah pulang ke rumahnya.
Suatu sore yang sejuk di rumah kecil nan asri.
“Wah, anak Ibu sudah pulang. Kebetulan banget. Ibu perlu bantuan kamu untuk bawain keranjang pakaian yang sudah selesai Ibu setrika ke tetangga baru kita. Itu lho, yang rumahnya besar warna putih lantai dua. Ibu bersyukur sekali dapat langganan cuci baju dan setrika dari keluarga itu. Lumayan, bayarannya bisa nambahin uang dapur kita.” Perempuan paruh baya memasukkan pakaian-pakaian ke dalam keranjang.
“Ah Ibu. Adi baru aja sampai rumah. Masih capek nih, Bu.” Adi menggerutu mendengar permintaan dari ibunya.
“Ya sudah, kamu ganti baju, makan dan istirahat sebentar sana. Lagian siapa suruh pulang sekolah malah nongkrong dulu. Sudah tahu anak Ibu cuma semata wayang. Kalau bukan kamu yang bantuin Ibu, siapa lagi, Nak.” Ibu Adi mengoceh panjang lebar sambil meneruskan melipat baju-baju langganannya.
Menjelang petang, Adi dan ibunya berjalan bergegas ke arah rumah berwarna putih besar nan megah di sudut jalan. Terlihat sekali menjulang di antara rumah-rumah kecil di kanan kiri depan belakangnya. Di depan rumah tersebut terdapat halaman yang cukup luas untuk bermain badminton. Dulu sewaktu tanah tersebut masih kosong dan belum ada bangunan di atasnya, anak-anak kampung sering bermain bulu tangkis di situ.
Ibu Adi memencet bel yang ada di samping pintu cokelat kokoh dengan pegangan pintu panjang yang berhiaskan ukiran. Pintu dibuka dan terlihat anak perempuan jelita berdiri di depan mereka. Harum semerbak berasal dari gadis itu seperti wangi bunga-bunga yang memanjakan hidung.
“Mama ada, Nak?” Ibu Adi tersenyum lebar ke arah anak cantik itu.
“Eh, Bu Yem. Ada Bu. Masuk Bu.” Anak gadis itu tersenyum ramah dan mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam rumah.
“Oh iya Mbak Ica. Ini anak Bu Yem satu-satunya. Anaknya bandel, suka nongkrong dan keluyuran. Tapi anaknya baik kok. Mbak Ica jangan tertipu dengan badan bongsornya ya. Walaupun badannya gede, tapi dia seumuran dengan Mbak Ica. Cuma lebih tua beberapa bulan aja. Tapi temen-temen mainnya banyakan jauh lebih tua. Bu Yem juga heran kenapa bisa begitu. Mungkin karena badannya sama besar dengan mereka, kali ya.” Seperti biasa perempuan setengah baya itu menyerocos panjang lebar.
“Kenalin ini Adi. Adi, ini Mbak Ica. Anak semata wayang dari keluarga Bapak dan Ibu Gandasubrata, pemilik rumah ini. Ayo taruh keranjang bajunya dulu. Salaman dulu dengan Mbak Ica.”
Adi mengulurkan tangannya ke arah Ica setelah ia meletakkan keranjang pakaian hasil setrikaan ibunya ke lantai marmer putih nan licin. Ketika ia menengadahkan mukanya ke arah gadis cilik itu, ia tertegun. Ica pun tertegun.
Si pemain gitar. Ica menggumam pelan.
Si gadis penyabet. Ujar Adi dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H