Kemudian anak yang jago bermain gitar itu menoleh ke arah Ica yang menatapnya dengan ragu-ragu. “Tunggu apa lagi. Pergi sana!” Ia mengusir Ica dengan gerakan tangannya, menyuruh Ica untuk segera angkat kaki dari tempat itu.
Ica yang masih kebingungan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun berlari kencang menuju arah pulang ke rumahnya.
Suatu sore yang sejuk di rumah kecil nan asri.
“Wah, anak Ibu sudah pulang. Kebetulan banget. Ibu perlu bantuan kamu untuk bawain keranjang pakaian yang sudah selesai Ibu setrika ke tetangga baru kita. Itu lho, yang rumahnya besar warna putih lantai dua. Ibu bersyukur sekali dapat langganan cuci baju dan setrika dari keluarga itu. Lumayan, bayarannya bisa nambahin uang dapur kita.” Perempuan paruh baya memasukkan pakaian-pakaian ke dalam keranjang.
“Ah Ibu. Adi baru aja sampai rumah. Masih capek nih, Bu.” Adi menggerutu mendengar permintaan dari ibunya.
“Ya sudah, kamu ganti baju, makan dan istirahat sebentar sana. Lagian siapa suruh pulang sekolah malah nongkrong dulu. Sudah tahu anak Ibu cuma semata wayang. Kalau bukan kamu yang bantuin Ibu, siapa lagi, Nak.” Ibu Adi mengoceh panjang lebar sambil meneruskan melipat baju-baju langganannya.
Menjelang petang, Adi dan ibunya berjalan bergegas ke arah rumah berwarna putih besar nan megah di sudut jalan. Terlihat sekali menjulang di antara rumah-rumah kecil di kanan kiri depan belakangnya. Di depan rumah tersebut terdapat halaman yang cukup luas untuk bermain badminton. Dulu sewaktu tanah tersebut masih kosong dan belum ada bangunan di atasnya, anak-anak kampung sering bermain bulu tangkis di situ.
Ibu Adi memencet bel yang ada di samping pintu cokelat kokoh dengan pegangan pintu panjang yang berhiaskan ukiran. Pintu dibuka dan terlihat anak perempuan jelita berdiri di depan mereka. Harum semerbak berasal dari gadis itu seperti wangi bunga-bunga yang memanjakan hidung.
“Mama ada, Nak?” Ibu Adi tersenyum lebar ke arah anak cantik itu.
“Eh, Bu Yem. Ada Bu. Masuk Bu.” Anak gadis itu tersenyum ramah dan mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam rumah.
“Oh iya Mbak Ica. Ini anak Bu Yem satu-satunya. Anaknya bandel, suka nongkrong dan keluyuran. Tapi anaknya baik kok. Mbak Ica jangan tertipu dengan badan bongsornya ya. Walaupun badannya gede, tapi dia seumuran dengan Mbak Ica. Cuma lebih tua beberapa bulan aja. Tapi temen-temen mainnya banyakan jauh lebih tua. Bu Yem juga heran kenapa bisa begitu. Mungkin karena badannya sama besar dengan mereka, kali ya.” Seperti biasa perempuan setengah baya itu menyerocos panjang lebar.