"Masuk Rumah semuanya!!!!"
"Rusuh, mal kebakaran".Â
Siang menuju sore itu kami semua ketakutan. Teriakan itu terdengar di sepanjang jalan Pasar Minggu ke arah pusat perbelanjaan.Â
Kami menjauhi jalan raya Pasar Minggu, tidak ada yang boleh kesana. Haji Nasa mengabari melalui pemuda kampung, tahan semua kakinya untuk berjalan mendekat ke sana. Penjarahan terjadi selama itu, banyak warga kampung yang tiba-tiba sudah dapat baju, kue, blender, sampai tas dan celana dalam.Â
Kabar dua hari lalu dari mulut ke mulut kesampaian. Orang-orang penghuni kontrakan Haji Nasa masuk ke dalam rumah dan hanya Kong Amir yang berani duduk di teras sedari malam. Para bapak-bapak mulai mengambil alat tajam sampai ada yang memamerkan badik, Bendo, Mandau. Warga bersatu menjaga jalan masuk kampung yang tepat di sebelah rel kereta menghadap pasar.Â
.Â
Saya melihat bagaimana pemilik toko yang rata-rata etnis Tionghoa menangis. Tak sedikit yang hanya mengintip di lantai atas ruko mereka. Ada yang ngumpet di perkampungan warga belakang rel kereta api. Salah satunya keluarga Ko Lio, dua anak perempuannya dititipkan di rumah pak RT. Sekeluarga itu kompak bersembunyi di rumah Haji Nasa, entah bagaimana kehidupan mereka selanjutnya tapi Haji Nasa menyuruh mereka untuk diam dan jangan keluar dahulu. Ko Lio menelpon pakai telepon rumah, dapat dibayangkan pengaruh Haji Nasa di lingkungan kampung ini.Â
Sementara itu, Kong Amir memang terkenal ganas, mantan jawara itu dulunya preman di pasar minggu. Ia berjalan sambil membawa tongkat, layak engkong Betawi yang memakai peci agak miring, cincin batu merah di jari manis, dengan jam tangan mahal di tangan kiri.
"JAUHIN PASAR NOK!"
Saya melihat sendiri bagaimana ia berteriak kepada seorang preman yang kekar badannya
Preman itu salam kepada Kong Amir, dengan keringat di tubuhnya ia pun tak bisa berbohong. INI BUKAN PERBUATAN PREMAN KELAS TERI.