Oleh sebab itu, konsep kearifan lokal yang dilakukan petani perlu diperkenalkan kepada masyarakat luas agar konsentrasi pemerintah dan masyarakat dalam memaksimalkan sustainable development semakin nyata.Â
Contoh nyata dalam penerapan konsep kearifan lokal bertani di dalam struktur masyarakat desa di suatu wilayah adalah aturan yang mengharuskan petani memiliki syarat khusus dalam upaya pembukaan lahan untuk bertani.Â
Di wilayah Dompu dan di wilayah Sulawesi Selatan misalnya, kearifan lokal masih memiliki keterkaitan yang kuat dalam isu lingkungan hidup. Izin pembukaan lahan yang sulit, pembakaran lahan secara ilegal dan masalah lainnya memerlukan penanganan khusus karena bersifat kompleks. Tanpa sadar, ternyata sistem kearifan lokal memiliki pengaruh dalam pelestarian lingkungan. Bagi masyarakat petani di Desa, selain aturan dalam pembukaan lahan dengan cara dibakar, petani juga harus melaksanakan syarat berupa tanaman penyekat dan pembakaran lahan maksimal 2 hektar.Â
Selain itu, petani juga memanfaatkan sumber daya hutan berupa kayu yang dihasilkan dari pohon-pohon di sekitarnya. Petani tidak boleh menebang secara masif. Penerapan ini sebenarnya diatur dalam aturan adat yang erat dengan kearifan lokal.Â
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka ada beberapa tindakan yang dilakukan secara bersama oleh petani di sistem masyarakat desa antara lain berupa Reboisasi. Jika musim hujan telah tiba, maka para petani secara bersamam elakukan penanaman kembali. Penamaman tersebut dilakukan dengan cara stek atau memindahkan bibit tanaman pohon ke area yang sudah jarang.Â
Selain itu, melakukan sistem tebang pilih. Kebiasaan masyarakat dalam menebang pohon dilakukan dengan memilih pohon yang sudah tua dan memiliki diameter minimal 30 cm.
Tidak lupa, penerapan sistem tebang-tanam juga dilakukan. Pohon yang telah ditebang, diganti dengan menanam kembali atau memelihara bekas tebangan tersebut agar dapat muncul tunas yang baru. Lalu, penebangan secara konservatif melihat
pohon yang sudah tidak produktif atau pohon yang sudah mati akibat musim kemarau. Jika memang butuh, petani juga menerapkan sistem tebang butuh, yaitu penebangan pohon hanya dilakukan ketika ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera dipenuhi.Â
Pada kondisi ini, keberadaan hutan lebih bersifat simpanan berjangka panjang, karena dapat menjadi sumber mata pencaharian dan penghasil produk alam yang berguna bagi kesehatan, ekonomi bagi masyarakat luas.Â
Melihat hal tersebut, beberapa upaya penghijauan juga menjadi konsentrasi beberapa perusahaan yang peduli lingkungan. PT. Elnusa Petrofin misalnya, melakukan aksi penanaman pohon yang sadar akan pengaruh pohon dalam perubahan iklim. Hal ini merupakan wujud komitmen terhadap penerapan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) yang jarang perusahaan lain lakukan. PT. Elnusa Petrofin mendukung dan berkontribusi terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) pada poin 13 yakni Penanganan Perubahan Iklim.Â
Perlu diketahui, kegiatan penanaman pohon dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 0,0011% dengan menyerap 28.500 Ton CO2eq demi Indonesia Zero Emission di masa mendatang.Â
Sejauh ini, sustainable development sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat yang bekerja sebagai petani di wilayah yang masih erat akan kearifan lokal. Sustainable development sudah saatnya dikaitkan terhadap konsep kearifan lokal agar dapat dijadikan aturan yang ditaati karena bersifat preventif bagi masyarakat.Â