Kemewahan kampanye dengan sederet artis ibukota memang ditunggu, bukan diskusi publik yang berisi argumen ilmiah yang ditutup dengan resolusi.
Pemilu di tahun 2024 semakin dekat, masyarakat di era informasi yang mumpuni ini rasa-rasanya tak mungkin ketinggalan tiap berita yang dihimpun media massa. Manuver dan akrobat politik yang dibuat tiap paslon (Pasangan Calon) tidak jarang menimbulkan kehebohan dalam respon publik, misalnya soal membahas masa depan IKN. Tiap paslon tentu memiliki agenda masing-masing dan memiliki tujuan yang sama yaitu, menggaet suara dari akar hingga pucuk tertinggi dari masyarakat.Â
Dilansir dari KPU, jumlah pemilih di tahun 2024 mengalami kenaikan signifikan seiring mendekati era bonus demografi yang didominasi pemilih muda. Jika dikalkulasikan, 204,8 juta masyarakat dalam dan luar negeri akan menjadi pemilih di pemilu tahun 2024, jumlah yang sangat fantastis.
Lantas, apa yang dimaksud Grassroots Power dalam pemilu?Â
Mengenai Grassroots, berasal dari kata Bahasa Inggris yang diartikan sebagai akar rumput, hal ini merujuk terhadap penggunaan akar yang direfleksikan sebagai pemilih yang berasal dari golongan masyarakat yang memiliki struktur garis paling bawah, kayaknya wong cilik dalam istilah masyarakat umum.
Istilah Grassroots juga memiliki ragam pemakaian, misalnya dalam melakukan kampanye politik, penggunaan istilah Grassroots membawa peran "Orang atau kelompok kecil" yang bertujuan untuk membawa gerakan ke pihak yang sama, orang seperti mereka. Grassroots marketing dalam kampanye sama-sama memiliki sisi perspektif bisnis di dalamnya, contohnya bertujuan dalam upaya menarik masyarakat menjadi pihak setia yang juga melibatkan masyarakat lainnya. Hal ini memiliki dampak besar karena membawa movement atau gerakan yang berhubungan dengan minat masyarakat dalam memilih paslon.Â
Istilah Grassroots erat dengan masyarakat desa di wilayah yang diwakili dengan lebih banyaknya orang yang dikategorikan bukan generasi muda, begitu juga dengan jenis pekerjaan yang dikategorikan tidak memerlukan pendidikan tinggi.
Maka, jangan terkejut bila suatu wilayah di Indonesia misalnya, memiliki basis pengikut paslon maupun partai berskala besar yang bila di telisik memiliki relasi yang sama baik soal kesamaan suku, pekerjaan, agama atau karena kesamaan menyukai tokoh politik (contoh: Penggemar Jokowi di NTT yang membuat patung Jokowi di desa mereka).Â
Dalam kasus berskala internasional, gerakan Grassroots ini pernah berpijak di negeri Ginseng, Korea Selatan. Revolusi Cahaya Lilin di Korea Selatan dari tahun 2016 hingga 2017 adalah bukti nyata bahwa gerakan Grassroots politik tidak mengenal perbedaan golongan di masyarakat, karena hampir semua masyarakat kelas atas-bawah bersatu.
Gerakan Lilin merupakan imbas terungkapnya tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh Presiden Park Geun-hye. Para demonstran mulai berkumpul dan mengadakan acara menyalakan lilin mulai bulan Oktober 2016.Â
Semakin hari, tindakan ini mulai mengalami peningkatan partisipasi dari 20.000 orang menjadi 2,3 juta dalam dua bulan, menuntut pemakzulan Presiden. Gerakan akar rumput dengan cepat mendapatkan dukungan dari serikat buruh nasional dan partai politik, menyatukan hampir seluruh institusi politik melawan faksi sayap kanan yang dipimpin Park.Â
Proses pemakzulan secara resmi disetujui di Majelis Nasional pada tanggal 9 Desember 2016, namun gerakan ini terus menyoroti beberapa contoh korupsi dan pelanggaran besar lainnya dalam sistem politik dan ekonomi Korea Selatan.
Kekuatan Revolusi Cahaya Lilin berasal dari kombinasi terukur antara penjangkauan komunitas, penggunaan media sosial yang cerdas, dan pengorganisasian relasional yang telah menghasilkan salah satu perubahan terbesar pada budaya politik Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Grassroots Movement, seperti yang diketahui, dapat bersatu di sekitar seseorang atau dikarenakan suatu gagasan yang dimulai oleh paslon, hal ini menjadi ciri utama bahwa setiap masyarakat di suatu negara memiliki selera tersendiri dalam menerima gerakan yang dibuat oleh paslon.
Di Indonesia misalnya, Grassroots ini yang didominasi oleh masyarakat cluster bawah tentu lebih memilih jenis kampanye yang bertema hiburan atau yang berhubungan soal kebutuhan sandang-pangan.
Tak jarang, banyak paslon baik di tingkat kecil seperti pemilihan kepala desa dan sampai tingkat paling tinggi seperti kampanye capres-cawapres, melakukan kampanye besar-besaran dengan menghadirkan artis papan atas ibukota, disertai panggung dangdut yang besar, tak sedikit yang juga memberikan kebutuhan sandang pangan dengan dalih tebus pangan murah. Grassroots tingkat bawah jelas lebih memilih kampanye seperti ini dibandingkan dengan diskusi publik dan kampanye yang seakan mengincar golongan tertentu, golongan terpelajar misalnya.Â
Metode kampanye yang dilakukan oleh tiap paslon maupun caleg dari partai-partai mulai gencar menginvasi para grassroots ini, di tingkat paling tinggi, strategi kampanye juga menjangkau perihal konsumsi hiburan di tengah masyarakat. Pak Prabowo-Gibran contohnya, menghadirkan tarian yang disanjung dengan kesan "gemoy", hal ini sebenarnya bertujuan untuk menarik suara kaum muda yang memang memiliki letak dominasi pemilih di pemilu saat ini.Â
Pemanfaatan teknologi juga menjadi suatu kriteria yang lazim digunakan saat ini. Alih-alih mengincar orang tua, para paslon yang menggunakan teknik kampanye seperti pak Prabowo-Gibran jelas ingin menjangkau segmen generasi muda yang aktif melihat sosial media yang dijadikan alasan hiburan di tengah penat.Â
Lain lagi dengan pak Anies yang dianalisis masih belum menggunakan strategi grassroots movement, cara konvensional seperti turun ke masyarakat dengan membawa metode seperti yang dijelaskan di atas, pak Anies lebih memilih untuk membuka dialog publik, diskusi dengan anggota tertentu di kelas masyarakat, seperti mahasiswa. Sebenarnya sah-sah saja, tapi apakah relevan dengan grassroots di Indonesia?Â
Lantas, grassroots yang merupakan warna di tengah musim pemilu saat ini memiliki kekuatan yang dapat mengganggu norma-norma yang ada dengan cara yang tidak mungkin dilakukan di masa lalu, misalnya muncul protes yang menggunakan sosial media yang menjalar lebih cepat dibandingkan metode konvensional.Â
Oleh karena itu, memanfaatkan grassroots memerlukan strategi yang terarah dan kompleks. Grassroots efek sudah jelas menginginkan keberpihakan paslon terhadap masalah-masalah di tengah masyarakat terutama persoalan ekonomi dan keamanan masyarakat.
Kendati demikian, kredibilitas yang lebih besar juga diharapkan sebagai refleksi citra baik yang dibuat paslon selama masa kampanye sejalan dengan pernyataan Miriam Budiardjo, bahwa Negara demokratis adalah negara dimana terdapat kedaulatan rakyat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H