Ketika proses dalam proses pencarian menemukan keberhasilan maka, sumber hukum Islam dapat terbagi-bagi berdasarkan syarat dan kadar kepastian di dalamnya seperti berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik ketetapan hukum itu berupa tuntutan mengerjakan sesuatu,yang berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, yang berarti larangan yang haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal yang mubah (fakultatif). Sesuai dengan tujuan dari Syara' Manurut Abu Ishaq As-Syatibiy (790 H/1388 M) yang berpendapat bahwa tujuan Hukum Islam ada 5 (lima) yaitu; untukÂ
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, hukum Islam pada akhirnya menghasilkan istilah-istilah sebagai berikut yaitu: Wajib, Sunnah, Haram, makhruhlldan Mubah.Â
Selanjutnya dalam memahami konteks kedudukan Al-Quran dan Al-Hadist berdasarkan dari kedudukan kedua sumber tersebut yang dianggap sebagai sumber utama dari berbagai persoalan yang dihadapi umat, berdasarkan dalil Naqli yang tertuang dalam Q.S An-Nisa ayat 59 yang diartikan sebagai berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S. an-Nisa'/4:59).
Dapat dikatakan, Al-Quran dan Al-Hadist merupakan dalil mutlaq yang tidak dapat dibantah. Contoh kedudukan sumber hukum Islam yang berdasarkan dari Al-Quran dan Al-Hadist sebagai berikut: seperti di bidang Ibadah misalnya, pada umumnya masalah Ibadah ini telah diatur secara rinci baik dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasul, maka para Ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah "Al-Ashlu FI Ibadati At-Tha'at" artinya Hukum asal dari ibadah adalah patuh/taat, sehingga semua bentuk Ibadah tidak diperbolehkan kecuali Ibadah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasul.
Demikian juga di bidang Mu'amalah, yang menyangkut persoalan hukum berdagang di kehidupan sehari-hari. Bidang Mu'amalah ini sangat vital karena berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, maka telah ditetapkan kaidah "Al-Ashlu Fil 'Adati Al-Afwu" artinya hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadis Rasul, seperti hukum yang didasarkan terhadap budaya di suatu masyarakat. Hal ini dapat berlanjut ke dalam penetapan hukum yang disebut As-Sunnah atau sunnah. Sumber hukum Islam yang kedua tersebut setelah didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadist merupakan sebuah hukum yang berupa perkataan (Sunnah Qauliyah), perbuatan (Sunnah filiyah), dan sikap diam (Sunnah taqririyah atau Sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab Hadits. Ia merupakan penafsir serta penjelas autentik tentang al-Qur'an. Kedudukan sunnah bersifat kuat yang merupakan anjuran Rasulullah dalam melaksanakan hukum syar'i. Contoh penerapan hukum Sunnah adalah penerapan salat sunnah qobliyah-ba'diyah yang bersifat sunnah muakkad (sunnah yang dikuatkan).Â
Dapat diambil kesimpulan, dua sumber hukum Islam yang paling kuat adalah Al-Quran, Hadist dan Sunnah. Hal ini didasarkan pada kualitas sumber yang benar-benar datang dari Allah SWT, dan dilengkapi dengan segala perkataan dan perbuatan yang bersumber dari Rasulullah SAW. Penerapan hukum syar'iah sudah sepantasnya harus didasari dari kedua sumber tersebut sebagaimana syarat yang tidak dapat digugurkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H