Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Darurat Jurnalisme dalam Konflik Israel-Hamas

19 Oktober 2023   23:05 Diperbarui: 20 Oktober 2023   15:16 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas, jika berpedoman pada pendapat Kovach dan Rosentiel ini, kegiatan jurnalistik seharusnya menimbulkan nilai yang positif baik bagi insan pers dan masyarakat itu sendiri. Soal jurnalisme yang tidak timpang memang membenarkan untuk selalu menyebarkan kabar yang sesungguhnya seperti soal memberitakan kekejaman akibat perang. Tetapi yang jarang dilakukan adalah soal verifikasi informasi yang relevan disebarkan ke masyarakat. Terlebih, praktik Jurnalisme perang seharusnya juga dibarengi dengan praktik Jurnalisme damai yang adil, bukan saja mementingkan arus peredaran informasi dan pendapatan media. Meskipun demikian, proses produksi berita ini tidak bisa lepas dari proses yang panjang meliputi organisasi, tempat bekerjanya jurnalis tersebut. 

Jurnalisme yang Sehat untuk Masyarakat 

Seiring konflik Hamas-Israel yang masih berlangsung, sentilan ditunjukan untuk insan pers dan media pers khsusunya di Indonesia. Bukan saja soal peredaran kabar yang memang perlu dijalankan melainkan sebuah kepentingan yang harus berorientasi terhadap perdamaian. Melihat antusiasme masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap perputaran arus informasi berita baik di media cetak, penyiaran dan daring, hal ini memerlukan pengawasan secara struktural dari masing-masing pihak.

Dimulai dari penerapan kode etik jurnalistik yang perlu ditekan kembali termasuk soal pemerhatian judul dan isi pemberitaan yang dilarang clickbait dan tak sesuai fakta, penggunaan ilustrasi berita yang harus memiliki izin dan tidak asal comot, paling sentral adalah prosedur penyebaran berita yang didasari redaksional organisasi dan proses produksi. Dengan demikian bukan hanya reporter saja yang mengambil keputusan bagaimana berita akan dipaparkan tapi ada pula peran organisasi dan media di sini (Eriyanto, 2007). Jehan Perera (dalam Ispandriarno, Hanitzch, Loeffelholz, 2002), 

mengemukakan perlunya jurnalis mempedomani suatu standar ideal dalam meliput konflik yang sebenarnya bertujuan untuk meminimalisir pendapat liat di masyarakat. Informasi yang hanya menekankan pada satu aspek saja, terutama aspek perilaku konflik yang tampak nyata, tidak memuat situasi atau akar konflik serta persepsi apa adanya dari pihak-pihak yang berkonflik, akan menghasilkan informasi yang bias, tidak seimbang dan tidak proporsional yang bisa mengganggu penanganan konflik yang dilakukan.

Pers dapat menjalankan perannya sebagai provokator tetapi bukan sebagai provakotor eskalasi konflik, diartikan bahwa pers yang memiliki pengaruh besar dapat menggiring opini ke masyarakat secara langsung. Penilaian terhadap sebuah konflik seperti pada Hamas-Israel diharapkan dapat menjadi bahan untuk mencapai solusi perdamaian di kedua belah pihak.  

Seprti hal nya dalam proses konstruksi sebuah berita khususnya yang berkaitan dengan kemanusiaan termasuk soal konflik-perang, faktor yang berperan besar adalah individual level (tingkat individual), media routines level (level rutinitas media) dan organizational level (tingkat organisasi) berdasarkan tulisan hoemaker dan Reese. Pada tingkat invidual level, soal kepercayaan sang jurnalis atau wartawan yang turun ke lapangan juga perlu diperhatikan karena rawan disalahartikan dan berujung terhadap nilai subjektivitas yang tinggi. 

Walaupun perang memang menjadi sebuah momen yang tak diharapkan, merujuk terhadap pendapat Loeffelholz, perang sebenarnya merupakan produk dari proses-proses sosial yang sangat terpengaruh oleh berbagai macam kondisi, sarana dan efek komunikasi. Konflik-konflik disebabkan tidak hanya oleh perbedaan kepentingan, namun juga oleh kesalahan komunikasi dan kesalahpahaman diantara berbagai bagian masyarakat ( Loeffelholz, 2002). Kesalahan dan kesalahpahaman ini tidak terlepas dari peran jurnalis atau wartawan dalam membuat berita. Demi meminimalisir hal tersebut, idealisme kembali menjadi jawaban utama.

Jurnalis memegang peran penting dalam membuat berita yaitu sebagai interpreter yang menginterpretasikan fakta yang ia lihat dan ia dengar menjadi sebuah berita. Fakta dalam pendekatan konstruksionis dianggap sebagai realitas yang dikonstruksikan. Dalam hal ini manusia secara aktif memberi definisi dan memberikan makna terhadap suatu peristiwa. Dengan demikian jika saja lingkup Jurnalisme yang sehat dilakukan, maka seharusnya Indonesia tidak lagi darurat berita hoax dan krisis moral jurnalis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun