Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Darurat Jurnalisme dalam Konflik Israel-Hamas

19 Oktober 2023   23:05 Diperbarui: 20 Oktober 2023   15:16 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kondisi konflik berkepanjangan menjadi momentum dalam menunjukan jati diri manusia sesungguhnya, hal itu berkat insan Pers yang turut serta di lapangan yang berani menyajikan berita kepada masyarakat dunia". 

Kabar soal serangan Hamas (arakat al-Muqwamah al-Islmiyyah) ke bagian wilayah yang dianeksasi Israel mulai menyebar secara cepat. Tak hanya membuat publik heboh melainkan efek domino di mana masyarakat mulai tergiring opini untuk dapat melihat titik konflik dari sudut pandang yang digiring oleh media. Darurat jurnalisme meliputi beredarnya pemberitaan yang bersifat propaganda, hoax dan minimnya minat baca di masyarakat dalam hal ini memberikan efek yang luar biasa. Lantas apa yang salah dari penerapan jurnalisme di tengah konflik Hamas-Israel? 

Pada dasarnya, berita soal Hamas dalam beberapa hari berisi narasi panjang soal kekacauan di wilayah Israel, kabar terbaru menyebutkan adanya pembunuhan yang mengincar anak-anak dan kaum perempuan, bahkan kabar soal pemakaian bonus Fosfor putih sudah dirilis sehari lalu. Selama memperhatikan sosial media seperti X (Twitter) dan Facebook, banyak masyarakat Indonesia yang aktif bersosial media mengarahkan suara mereka ke topik selain soal konflik, seperti soal sejarah Zionisme dan isu bahwa konflik sebenarnya sengaja dibuat di masa krisis yang menyinggung Netanyahu. Tak sedikit yang mengaitkan pemberitaan yang beredar dengan ramalan soal akhir zaman. 

Melihat antusiasme masyarakat, hal ini bukan tanpa sebab. Sebenarnya, peran media di Indonesia begitu masif dengan strategi terus menyajikan berita soal konflik tersebut, dimulai dari foto ilustrasi yang mengunggah perasaan dan judul berita yang clickbait. Maka hal tersebut menjadi sebuah makanan yang nantinya dimakan masyarakat. Tentu, efek akan timbul layaknya krisis yang memiliki sebab. Hal ini di dalam lingkup Jurnalisme disebut sebagai nilai berita yang Consequence diartikan sebagai dampak yang ditimbulkan akibat berita yang memang tersaji di masyarakat, walaupun belum tentu hal tersebut memang sebuah fakta atau bukan. 

Memurnikan Peran Jurnalisme dalam Setiap Konflik

Ketika konflik terjadi dan berakhir menjadi perang, peran pers begitu terasa saat potongan tayangan menampilkan suasana dan laporan yang seakan menusuk hati, hal ini tak terlepas dari para insan pers yang memang ada di lapangan. Minimnya kabar soal perdamaian, maka jurnalisme perang lebih tepat jika dibahas walaupun praktik jurnalisme damai memang ada. Algooth Putranto (2004) dalam tulisan soal Jurnalisme Perang  menyinggung pengertian soal kompleksitas antara pemberitaan yang memihak atau tidak bagi lawan dan kawan. Hal ini terlihat dalam konflik yang saat ini terjadi, dukungan terhadap Israel membahana di beberapa negara seperti Amerika, dan beberapa negara di Eropa. Tak sedikit media di Indonesia memberitakan soal publik figur yang menyuarakan dukungan terhadap Israel, yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk kemaslahatan. 

Penggunaan Jurnalisme Perang sebenarnya dapat dikenali dari tulisan yang dibuat oleh jurnalis itu sendiri, penggunaan kata "serangan balasan"," pembantaian", "Penghancuran", walaupun gamang, hal ini bisa saja memberikan nilai bagi pembaca bahwa media tersebut sebenarnya berpihak ke mana. Contoh di dalam negeri soal konflik antara OPM dan Pemerintah RI akhir-akhir ini yang syarat menggunakan kata "Pembakaran, penembakan dan pembantaian". Dalam situasi konflik, Jurnalisme sebenarnya memiliki tugas yang berisiko dan memang terdapat kepentingan baik bagi media itu sendiri atau golongan tertentu.

Contohnya pusat pemberitaan Reuters, sekelas media CNN atau Fox, jika diperhatikan sejak pecahnya konflik antara Hamas dan Israel, traffic sumber berita sebenarnya beredar dari dalam negeri Israel itu sendiri, kesamaan ciri antar berita adalah penggunaan kata dan istilah yang mengganggu seperti "penyanderaan", "pembunuhan". Apakah memang hal ini menjadi sebuah fenomena yang normal di dunia jurnalisme? 

Jurnalisme perang secara halus memang memanfaatkan berita dari sebagian pihak untuk kepentingan tertentu. Alhasil bukan perdamaian dan berita sesungguhnya yang diperoleh oleh penonton sebagai sebuah imbas yang pasti terjadi. Hal ini sering disebut dengan istilah propaganda. Fakta yang terjadi, banyak media di Indonesia khususnya portal media online yang asal saja meniru pemberitaan di lingkup internasional yang beredar tanpa menelisik kembali kebenaran yang ada. Maraknya judul clickbait dan berita hoax dan hilangnya budaya "klarifikasi" memicu kehidupan Jurnalisme yang sakit. Sekelas kampanye politik dan perang dapat menjadi sebuah tayangan yang adiktif layaknya sebuah TV Show. Berita lebih berorientasi pada kekerasan, elit dan kemenangan sehingga tidak menekankan pada proses pencapaian perdamaian. 

Padahal, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2004), mengungkapkan soal elemen jurnalisme yang seharusnya dipahami insan pers, bukan saja soal kebenaran yang hakiki yang harus disajikan melainkan intisari jurnalisme sebagai sebuah disiplin dan verifikasi bagi masyarakat. Pertanyaan pun muncul ketika konflik pecah di suatu wilayah, apakah objektivitas seperti para wartawan atau jurnalis harus didahulukan dibandingkan hati nurani yang dimiliki setiap insan? Hal ini memicu rasa galau, ketika hati dan tulisan yang dibuat terkadang tidak memiliki kesamaan akibat kekhawatiran soal subjektivitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun