Tepat di hari ketiga setelah mengalami gejala batuk dan pilek, saya mengikuti tes antigen dan dinyatakan positif Sars Covid-19.
Sudah hampir 2 tahun, virus Covid-19 hits di negeri tercinta. Terdapat banyak jenisnya, dari alpha sampai Kappa, tapi tidak lepas dengan problema kompleks khas negara-negara berkembang. Sebagai seorang awam, saya akan tuliskan beberapa hal yang mungkin dapat menjadi 'sebab' bahwasanya sedang menderita ataupun telah menderita Covid-19 ini sangatlah tidak enak dan membuat TRAUMA! Seperti yang saya tuliskan tadi, awam seperti saya sangat tidak paham dunia medis. Untuk itu, dimaksudkan tulisan ini hanya berupa curhatan yang semoga jadi pembelajaran untuk semua.Â
1. Awalnya sih,Â
Pernah dengan istilah 'droplet'? Hal ini menjadi sebab mengapa saya dapat hasil antigen positif di klinik terdekat. Dengan percaya diri bukan murni Covid-19 dibalik tes yang hanya beberapa persen akuratnya. Orang yang menjadi 'droplet' ini adalah salah satu anggota kelurga di rumah yakni, antara nenek atau paman saya (masih misterius) yang di minggu kedua bulan Juli ini sedang main berkunjung. Gejala pertama dialami oleh nenek saya seperti batuk berdahak, pilek dan panas. Nenek berusia hampir 70 tahun ini memang sangat keras kepala, hanya minum obat yang tersedia di rumah.Â
Saya selalu siapkan paracetamol, obat batuk ibu-anak dan ctm saat itu, hampir 2 minggu tidak ada perubahan. Sejak kapan ia bergejala seperti itu? Juni akhir! Bukan main, gak sembuh. Saya sudah bilang untuk segera berobat namun, nenek saya menolak dengan alasan takut di-Covidkan! Karena kami tinggal berempat yakni, saya-adik-ibu-nenek dan pada saat itu paman saya menginap beberapa hari, kami semua hormat dan tidak berani memaksa beliau untuk sekedar cek kesehatan.Â
Selanjutnya apa yang terjadi? gejala itu pindah ke adik saya disertai gejala demam sampai saya harus coba metode 'kerokan' ke adik. Â Saya panik bukan kepalang, saya coba tanya ke beberapa teman semuanya sedang mengalami hal yang sama. Saya pikir normal karena cuaca yang sedang panas-panasnya di Jakarta, tempat tinggal kami.
Adik saya mengalami anosmia dan kehilangan indra perasa dalam beberapa hari selanjutnya, saya makin panik dan di hari keempat saya langsung memboyong adik saya pergi ke klinik terdekat di daerah Cipedak, Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan. Hasilnya antigen kami berdua negatif, kami langsung kebingungan dan agak bersyukur saat itu. Menjelang seminggu tepat di awal minggu ketiga bulan juli ini, ibu saya mengalami gejala sakit meriang, batuk, Diare dan muntah-muntah di rumah. Keadaan adik saya masih batuk tapi tidak separah kemarin-kemarin.Â
Saya mengurus 3 orang di waktu bersamaan, beli obat ke apotek Kimia Farma yang vitaminya kosong saat itu dan saya melihat fenomena di mana semua klinik ramai dikunjungi sampai meluber ke jalanan hanya untuk sekadar cek antigen! Hari-hari selanjutnya saya mulai merasakan gejala batuk dan pilek, begitupun paman saya. Saya segera menyuruh paman memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Karena ini kali ketiga saya terkena gejala Covid-19 di dalam kurun waktu dekat berturut-turut, saya akui yang ini gejala yang sangat 'sakit'. Walaupun faktanya, saya sudah menerima suntik vaksin satu kali di bulan Juni, 2021.Â
Malam hari setelah saya merasakan gejala yang membuat saya tidak fokus berjalan, ibu saya meminta tolong untuk mengantarkannya ke rumah sakit terdekat di wilayah Jagakarsa. Ibu saya tidak sadar, nafas tersenggal-senggal dan keluar air matanya. Melihat ibu seperti itu hati saya sakit, langsung saya minta tolong ke orang terdekat untuk meminta saran dan syukurlah rezeki ibu, ada yang membantu biaya perjalanan kami ke rumah sakit. Saya sangat tertolong karena driver mobil yang kami sewa via aplikasi sangat komunikatif dan mengerti keadaan, tidak takut membawa saya dan ibu yang sudah payah.
2. Bagaimana Selanjutnya?Â
Kami ditolak, baru saja mengantri 30 menit dan setelah saya daftarkan ibu untuk ke IGD di rumah sakit yang bersebelahan itu, perawatnya menyarankan kami untuk segera ke IGD Rumah sakit besar. Kok bisa? Saturasi ibu di angka 69-70 saja, benar-benar gak tega lihatnya. Saya berdua sama ibu di luar IGD yang gelap, saya paksa perawatnya untuk memberikan akomodasi tapi saya dipaksa langsung masuk saja ke RS Rujukan Covid!, hebat kan?
Hal ini membuat malam saya dan ibu lebih panjang, kami ditolak 5 rumah sakit besar di wilayah Jakarta Selatan dengan alasan IGD Penuh, itu faktanya dan aplikasi yang disarankan Pemerintah tidak berguna. Nomor telepon rumah sakit pun ada yang tidak nyambung. Akhirnya kami pulang dengan nihilnya di pukul 4 pagi. Jam 7 saya dan ibu ke klinik tempat saya tes antigen kemarin, dengan harga 130 ribu/orang, saya dinyatakan positif begitupun ibu.Â
Lantas, saya langsung ke puskesmas di jam 8 pagi. Berkat sebagai penyintas, saya agak paham aturan setelah dinyatakan positif antigen yakni, adukan ke RT, Kader dan Puskesmas. Proses pelaporan ke RT dilakukan oleh adik saya di rumah dengan membawa kartu KK dan foto copy KTP serta surat keterangan positif. Bagaimana tanggapan RT dan Ibu Kader yang SEHARUSNYA melaporkan ke petugas tracking Puskesmas kelurahan? Tidak bekerja! hanya memberikan pesan sebagai berikut: "Yasudah, beli vitamin saja sendiri dan diam di rumah saja". Saya katakan bahwa saya mengetahui SOP-nya, pada akhirnya ngotot dengan alasan tidak bisa bantu, klise!
Saya dan ibu langsung ke Poli PAL di Puskesmas Kecamatan Jagkarsa, ibu saya sudah gak sadar. Langsung masuk ke dalam ruangan poli PAL tanpa antrian, setelah brudernya percaya bahwa saturasi oksigen ibu saya rendah di angka 70 tok. Di dalam saya tak henti berdoa dan mengabari orang terdekat. Di dalam saya lihat sendiri para nakes mondar-mandir kelelahan, antrian di puskesmas membludak! Saya menjelaskan ke bruder dan dokter di poli PAL, saya sudah menjalankan SOP dengan pelaporan ke RT, Kader setempat dan mereka pun marah. Karena ini yang menyebabkan kematian tak terkendali, tidak adanya bantuan dan penanggulangan.Â
Berkat cepatnya dan kinerja baik dokter dan bruder Puskesmas, ibu saya mendapat surat rujukan ke RSUD Pasar Minggu! Syukur alhamdulilah, saya tak henti-hentinya. Akhirnya saya bergegas langsung ke IGD rumah sakit, di jalan saya membeli perlengkapan seperti pampers dan tisu basah dan terima kasih lagi kepada para pahlawan saya saat itu, driver yang menyuruh saya untuk memakai jasanya kembali apabila saya ingin pulang ke rumah karena ternyata rumahnya hanya berbeda wilayah RT dengan saya. Di IGD saya daftarkan ibu, saya cek saturasi dan hasilnya bagus ternyata saya dimaksudkan sebagai orang tanpa gejala (OTG) sedangkan ibu, gejala berat.Â
Saya menunggu 6 jam di RSUD Pasar Minggu, silih-berganti pasien masuk juga mobil jenazah yang pergi-pulang. Saya tidak kuat, ngobrol dengan security dan perawat yang berjaga di luar dilengkapi APD mereka mengaku sangat tertekan. Setelah selesai urusan akhirnya saya pulang, ibu saya sudah masuk ruang rawat inap, syukur alhamdulilah kami berdua termasuk yang ditolong dan tertolong. Saya di IGD sangat tertekan, ingin rasanya tidak pernah mengaku mengunjungi tempat tersebut, kemanusiaan saya bergetar hebat.
3. Akhirnya?Â
Saya menjadi penyintas Covid-19 kesekian kali, saya wajib isoman selama 2 minggu. Bruder Puskesmas yang menolong ibu tadi sangat peduli dengan menjadi 'guide' saya selama menjadi pasien. Saya di kamar setiap hari, keluar rumah hanya 2-3 kali dalam seminggu, badan saya rontok dan sulit bangun tapi tak separah ibu yang sesak nafas. RSUD Pasar minggu mengirim informasi pasien ke kontak keluarga tertera saat pendaftaran, ibu mengalami komplikasi seperti hepatitis juga.Â
Saya tak henti bersedih dan esoknya saya diundang oleh petugas tracking Covid-19 puskesmas kelurahan Srengseng Sawah untuk tes PCR. Jam 8.30 pagi, saya-adik-nenek ke puskesmas dan menjalankan tes PCR. Terima kasih juga bagi petugas swab yang baik hatinya dan tidak mencolok secara tergesa-gesa, saya merasakan antrian PCR sangat panjang. Apresiasi ke Pemprov DKI Jakarta yang secara GRATIS melayani PCR para manusia Jagakarsa yang terkonfirmasi Sars Covid-19.Â
Kakak saya tinggal di Tangerang Selatan harus bayar PCR alias mandiri tidak ditanggung Pemerintah, begitupun yang berlaku di kota penyangga Ibukota sejauh yang saya tahu. Pernah terpikirkan bagaimana suadara se-bangsa kita di luar pulau Jawa?, saya tidak berani membayangkan, sangat menguras kemanusiaan. Di sini (Jagakarsa) dan seluruh wilayah DKI Jakarta, Puskesmas menjadi gerbang utama para pengidap, saya akui luar biasa.Â
Namun, ada satu hal yang membuat penilaian saya terhadap kinerja Puskesmas dalam hal ini agak berkurang yakni, hasil PCR baru keluar di tanggal 25 Juli padahal seharusnya 16 Juli, terhitung 10 hari di masa isoman kami se-rumah. Saya dan adik positif Covid-19, bagaimana nenek saya? NEGATIF. Entahlah, begitu yang terjadi. Selama isoman, saya tidak dapat pelayanan Kemenkes via Telemedicine seperti aplikasi Getwell setelah dosen saya memberikan saran. Tidak ada SMS konfirmasi dari Kemenkes, itu masalahnya! Hanya obat yang diberikan Puskesmas dan vitamin yang diberikan orang terdekat yang menjadi penolong saya.
4. Apa Hal Baiknya?Â
Saya bersyukur dikelilingi orang-orang baik dengan memberikan support luar biasa bagi saya dan ibu. Termasuk mereka yang selalu menanyai kabar, peduli terhadap saya dan ibu. Terima kasih tak henti kepada invidu, ikatan Alumni UIN (IKALUIN), yayasan kampus STF UIN Jakarta, yang memberikan support biaya obat/vitamin dan makanan serta mereka para nakes terkhususnya Br. Dzu dan Ners. Bagus serta dokter Alfred di Puskesmas Jagakarsa dan nakes di IGD tempat ibu saya dirawat. Â
Mereka semua orang baik dan saya mendoakan mereka semua. Saya jadi belajar, intropeksi, dan sekarang tugas saya adalah menasihati, mengarahkan orang-orang di sekitar saya mengalami hal seperti ini. Saya termasuk yang ketat melindungi diri dari virus sedari tahun 2020, 5M sudah pasti namun mobilitas saya yang nakal, sebelum PPKM saya 2-3 kali mengunjungi Mall di daerah Pejaten dan sempat-sempatnya ke Resto/cafe bersama orang terdekat.Â
Â
5. Hal Terakhir Sebelum Penutup?Â
Setelah selesai Isoman di tanggal 27 kemarin dan melakukan antigen, saya telah pulih dan wajib jaga diri. Imun saya masih suka turun, obat masih harus saya habiskan, nafas tidak sepanjang dulu, aktivitas di luar saya hentikan total. Saya punya trauma tersendiri yang mempengaruhi mental saya seperti serangan panik dan takut melihat kabar Covid-19 termasuk jam tidur yang kacau. Saya juga dikelilingi oleh orang-orang keras kepala yang anti-vaksin dan menyebut pelayanan kesehatan adalah ladang bisnis semata. Mereka orang terdekat saya, keluarga saya dan para tetangga saya.Â
Tetangga saya yang berbeda wilayah RT mengaku bahwa sang RT melarangnya untuk melaporkan kasus Covid-19 kluster keluarga yang dialami dan menyuruh untuk diam di rumah. Padahal, bila hal ini terjadi sang RT/Kader dapat dicopot oleh Lurah wilayah. Saya sudah mengonfirmasi dengan orang Puskesmas berkaitan dengan hal ini. Saya hanya ingin bilang, kalian harus merasakan dulu terkena Covid, ditolak sepanjang malam melebihi ditolak pasangan dan kekurangan bantuan obat-makanan karena sifat takabur tersebut.Â
Saya sebagai mahasiswa juga mengingatkan ke rekan mahasiswa lain, bahwasanya teriak dan unjuk rasa anti Covid tidak menyelesaikan masalah dan justru meninggalkan masalah yang baru. Solusinya bukan itu, maksud saya.
-
_
Akhir kata, terima kasih.
Hanya kata itu yang sangat syahdu dan sakral kepada Allah SWT, teman-sahabat, saudara, orang terdekat di hati dan mereka yang mengasihi karena memberi bantuan juga pemerintah, semoga pelayanan terhadap rakyatnya kembali dikaji dan diperbaiki.
Trauma adalah kata selanjutnya yang menandakan saya sebagai penyintas dan tidak ingin hal ini terjadi ke kamu, kalian dan semuanya. Tetap bahagia, jangan takut, berdoa karena menjadi 'hamba' serta minta bantuan adalah rumus sembuh dari Covid-19 sial ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H