2. Bagaimana Selanjutnya?Â
Kami ditolak, baru saja mengantri 30 menit dan setelah saya daftarkan ibu untuk ke IGD di rumah sakit yang bersebelahan itu, perawatnya menyarankan kami untuk segera ke IGD Rumah sakit besar. Kok bisa? Saturasi ibu di angka 69-70 saja, benar-benar gak tega lihatnya. Saya berdua sama ibu di luar IGD yang gelap, saya paksa perawatnya untuk memberikan akomodasi tapi saya dipaksa langsung masuk saja ke RS Rujukan Covid!, hebat kan?
Hal ini membuat malam saya dan ibu lebih panjang, kami ditolak 5 rumah sakit besar di wilayah Jakarta Selatan dengan alasan IGD Penuh, itu faktanya dan aplikasi yang disarankan Pemerintah tidak berguna. Nomor telepon rumah sakit pun ada yang tidak nyambung. Akhirnya kami pulang dengan nihilnya di pukul 4 pagi. Jam 7 saya dan ibu ke klinik tempat saya tes antigen kemarin, dengan harga 130 ribu/orang, saya dinyatakan positif begitupun ibu.Â
Lantas, saya langsung ke puskesmas di jam 8 pagi. Berkat sebagai penyintas, saya agak paham aturan setelah dinyatakan positif antigen yakni, adukan ke RT, Kader dan Puskesmas. Proses pelaporan ke RT dilakukan oleh adik saya di rumah dengan membawa kartu KK dan foto copy KTP serta surat keterangan positif. Bagaimana tanggapan RT dan Ibu Kader yang SEHARUSNYA melaporkan ke petugas tracking Puskesmas kelurahan? Tidak bekerja! hanya memberikan pesan sebagai berikut: "Yasudah, beli vitamin saja sendiri dan diam di rumah saja". Saya katakan bahwa saya mengetahui SOP-nya, pada akhirnya ngotot dengan alasan tidak bisa bantu, klise!
Saya dan ibu langsung ke Poli PAL di Puskesmas Kecamatan Jagkarsa, ibu saya sudah gak sadar. Langsung masuk ke dalam ruangan poli PAL tanpa antrian, setelah brudernya percaya bahwa saturasi oksigen ibu saya rendah di angka 70 tok. Di dalam saya tak henti berdoa dan mengabari orang terdekat. Di dalam saya lihat sendiri para nakes mondar-mandir kelelahan, antrian di puskesmas membludak! Saya menjelaskan ke bruder dan dokter di poli PAL, saya sudah menjalankan SOP dengan pelaporan ke RT, Kader setempat dan mereka pun marah. Karena ini yang menyebabkan kematian tak terkendali, tidak adanya bantuan dan penanggulangan.Â
Berkat cepatnya dan kinerja baik dokter dan bruder Puskesmas, ibu saya mendapat surat rujukan ke RSUD Pasar Minggu! Syukur alhamdulilah, saya tak henti-hentinya. Akhirnya saya bergegas langsung ke IGD rumah sakit, di jalan saya membeli perlengkapan seperti pampers dan tisu basah dan terima kasih lagi kepada para pahlawan saya saat itu, driver yang menyuruh saya untuk memakai jasanya kembali apabila saya ingin pulang ke rumah karena ternyata rumahnya hanya berbeda wilayah RT dengan saya. Di IGD saya daftarkan ibu, saya cek saturasi dan hasilnya bagus ternyata saya dimaksudkan sebagai orang tanpa gejala (OTG) sedangkan ibu, gejala berat.Â
Saya menunggu 6 jam di RSUD Pasar Minggu, silih-berganti pasien masuk juga mobil jenazah yang pergi-pulang. Saya tidak kuat, ngobrol dengan security dan perawat yang berjaga di luar dilengkapi APD mereka mengaku sangat tertekan. Setelah selesai urusan akhirnya saya pulang, ibu saya sudah masuk ruang rawat inap, syukur alhamdulilah kami berdua termasuk yang ditolong dan tertolong. Saya di IGD sangat tertekan, ingin rasanya tidak pernah mengaku mengunjungi tempat tersebut, kemanusiaan saya bergetar hebat.
3. Akhirnya?Â
Saya menjadi penyintas Covid-19 kesekian kali, saya wajib isoman selama 2 minggu. Bruder Puskesmas yang menolong ibu tadi sangat peduli dengan menjadi 'guide' saya selama menjadi pasien. Saya di kamar setiap hari, keluar rumah hanya 2-3 kali dalam seminggu, badan saya rontok dan sulit bangun tapi tak separah ibu yang sesak nafas. RSUD Pasar minggu mengirim informasi pasien ke kontak keluarga tertera saat pendaftaran, ibu mengalami komplikasi seperti hepatitis juga.Â
Saya tak henti bersedih dan esoknya saya diundang oleh petugas tracking Covid-19 puskesmas kelurahan Srengseng Sawah untuk tes PCR. Jam 8.30 pagi, saya-adik-nenek ke puskesmas dan menjalankan tes PCR. Terima kasih juga bagi petugas swab yang baik hatinya dan tidak mencolok secara tergesa-gesa, saya merasakan antrian PCR sangat panjang. Apresiasi ke Pemprov DKI Jakarta yang secara GRATIS melayani PCR para manusia Jagakarsa yang terkonfirmasi Sars Covid-19.Â
Kakak saya tinggal di Tangerang Selatan harus bayar PCR alias mandiri tidak ditanggung Pemerintah, begitupun yang berlaku di kota penyangga Ibukota sejauh yang saya tahu. Pernah terpikirkan bagaimana suadara se-bangsa kita di luar pulau Jawa?, saya tidak berani membayangkan, sangat menguras kemanusiaan. Di sini (Jagakarsa) dan seluruh wilayah DKI Jakarta, Puskesmas menjadi gerbang utama para pengidap, saya akui luar biasa.Â