Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, rencana ini  masuk  dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator  Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7  tanggal 28 Agustus 2023.
Entah apa yang sebenarnya mendorong tindakan kekerasan penguasa saat itu, namun terkesan berusaha "kejar tayang" untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa pemberitaan media, terlihat aparat melecehkan/mengancam warga dan kemudian tidak siap dengan respon warga yang kemudian memicu bentrokan.
Sangat disayangkan "pengosongan lahan" tersebut tidak didahului dengan persiapan dan peninjauan menyeluruh untuk memahami situasi dan risiko ke depan, serta kepentingan dan keinginan para pemangku kepentingan. Berdasarkan pemberitaan dan media, nampaknya warga  kampung lama Rempang merasa berhak menguasai dan memanfaatkan tanah yang mereka tinggali  karena  merupakan warisan yang diwariskan secara turun temurun.
Konon nenek moyang mereka sudah hidup dan memerintah negara jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, mereka berharap semua pihak menghormati dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian, konflik yang dihadapi adalah perselisihan kepemilikan atau hak adat.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Umum, Menteri Dalam Negeri harus segera turun tangan memberikan pedoman dan pengawasan yang diperlukan melalui Direktur Jenderal Kemasyarakatan dan Desa  segera turun tangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan yang diperlukan.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap sejarah kawasan dimana lahan tersebut berada, termasuk kronologi budidaya dan pemangku kepentingannya. Selain itu, perlu dilakukan analisis terhadap peraturan dan kebijakan baik  pusat maupun daerah terkait  konflik tata kelola yang sedang terjadi.
Melihat besarnya pelanggaran HAM dalam kasus Rempang, kami menemukan bahwa pihak berwenang bertindak brutal dan menggunakan kekuatan berlebihan sehingga menimbulkan tindakan kekerasan. Salah satu contoh kekerasan yang berlebihan adalah penembakan gas air mata di dekat fasilitas sipil seperti  sekolah. Belum lagi pelanggaran nyata terhadap hak  partisipasi dan informasi. Persetujuan masyarakat tidak diminta sebelum pelaksanaan proyek eco-urban dan mengorbankan tanah masyarakat Rempang.
Hak-hak anak dan perempuan  juga dilanggar dalam kasus kekerasan di Rempang. Gas air mata yang ditembakkan di dekat sekolah SDN 24 dan SMPN 22 Galang menimbulkan kepanikan, ketakutan bahkan luka fisik di kalangan anak-anak siswa. Bahkan, berdasarkan kronologi yang  kami kumpulkan, pihak sekolah mengadu dan memperingatkan polisi agar  tidak menitikkan air mata di sekolah. Beberapa peristiwa kemudian menyebabkan hilangnya rasa keadilan.
Dari sudut pandang komersial dan hak asasi manusia, proyek Rempang Eco-City yang disebut PSN dapat merampas tempat tinggal masyarakat. Idealnya, perusahaan harus memperhatikan dan memberikan pengamanan dan perlindungan kepada masyarakat yang terkena dampak praktik bisnis tersebut.
Selain itu, negara belum memenuhi kewajibannya untuk melindungi terhadap aktivitas pihak ketiga. Melalui mesin yang dimilikinya, negara justru menjadi perpanjangan tangan korporasi dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Peristiwa  di Rempang harus dianggap sebagai masalah serius karena berdampak pada banyak hal. Bibit-bibit memburuknya dan berlanjutnya konflik setidaknya dapat dilihat pada dua ciri, yakni bangkitnya paham kesukuan dan kebencian yang timbul akibat kekerasan. Jika  dibiarkan, bibit konflik yang berlarut-larut ini akan terus menyebar dan berkembang. Pemerintah harus segera mencari solusi untuk mencegah timbulnya korban baru.