Tempat terjadinya protes dan bentrokan antara masyarakat setempat dengan aparat dalam beberapa hari terakhir, Pulau Rempang secara administratif merupakan bagian dari Kota Batam yang terbagi menjadi bekas Kawasan Hak Guna Usaha (HGU), kawasan hutan, dan Kampung Tua.
Pulau Rempang merupakan salah satu pulau yang rencananya akan mendapat hak administratif dari Otorita Batam, dan sesuai Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 berubah nama menjadi  Kawasan Perdagangan Bebas Batam dan Badan Pengusahaan Freeport.
Rempang Eco City merupakan proyek pengembangan PT Makmur Elok Grahan (MEG). Pulau Rempang rencananya akan dikembangkan menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Sengketa Pulau Rempang bermula ketika lahan di pulau itu seluas 7.572 hektare  menjadi kawasan sasaran Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan dibangun sebagai pabrik kaca.  Belum lama ini, terjadi bentrokan antara petugas Divisi Pengamanan Badan Niaga Batam dan TNI, Polri serta warga Pulau Rempang di Kota Batam, Kepulauan Ria, terkait sengketa tanah.
Suara masyarakat Pulau Rempang yang menolak pembangunan proyek ini seolah tidak dihiraukan, warga menyadari bahwa sebagai masyarakat kecil, mereka tidak bisa melawan hukum dan kekuasaan selain bertahan hidup. Rencananya, warga Pulau Rempang  akan direlokasi ke Dapur 3 Kelurahan Sijantung yang nilai sewa apartemennya Rp 1,2 juta per bulan atau apartemen yang disediakan BP Batam.
Membaca catatan sejarah Traktat London 1824, keberadaan Kampung Tua di Batam dan sekitarnya sudah  lebih dari 188 tahun serta masa kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya.
Traktat London tahun 1824  memisahkan Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau  sebagai wilayah jajahan Belanda, sedangkan Johor dan Pahang Malaya menjadi wilayah jajahan Inggris.
Dari lapangan terlihat fakta bahwa masih terdapat berbagai jenis pohon yang tumbuh di kawasan Kampung Tua, seperti pohon kelapa yang diperkirakan berumur lebih dari 70 tahun atau  tumbuh sebelum Peraturan Presiden Nomor 41. tahun 1973. .
Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014  Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menegaskan keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kampung Tua di Batam. Berdasarkan informasi yang diterima, masyarakat adat yang tinggal di Pulau Rempang  telah hidup secara turun temurun sejak tahun 1834.
Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan kejadian tersebut bukanlah "usaha mengusir investor" melainkan "proses pelepasan tanah kepada pemilik hak administratif pulau".
Sebelumnya, Badan  Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam; dahulu bernama Otorita Batam) menjelaskan, pemerintah pusat bekerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha sedang mempersiapkan Pulau Rempang sebagai pusat industri, komersial, dan kawasan wisata terpadu. Hal itu harus meningkatkan daya saing Indonesia dibandingkan Singapura dan Malaysia.
Sebenarnya rencana pengembangan Pulau Rempang bukanlah hal baru. Sejak BJ Habibie menjabat Presiden Kota Batam pada tahun 1978, Pulau Rempang dan tetangganya Pulau Galang rencananya akan dimasukkan dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan konsep Barelang (Batam-Rempang-Galang). Tujuannya agar Batam  lebih luas  dan berdaya saing dibandingkan Singapura.
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, rencana ini  masuk  dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator  Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7  tanggal 28 Agustus 2023.
Entah apa yang sebenarnya mendorong tindakan kekerasan penguasa saat itu, namun terkesan berusaha "kejar tayang" untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa pemberitaan media, terlihat aparat melecehkan/mengancam warga dan kemudian tidak siap dengan respon warga yang kemudian memicu bentrokan.
Sangat disayangkan "pengosongan lahan" tersebut tidak didahului dengan persiapan dan peninjauan menyeluruh untuk memahami situasi dan risiko ke depan, serta kepentingan dan keinginan para pemangku kepentingan. Berdasarkan pemberitaan dan media, nampaknya warga  kampung lama Rempang merasa berhak menguasai dan memanfaatkan tanah yang mereka tinggali  karena  merupakan warisan yang diwariskan secara turun temurun.
Konon nenek moyang mereka sudah hidup dan memerintah negara jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, mereka berharap semua pihak menghormati dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian, konflik yang dihadapi adalah perselisihan kepemilikan atau hak adat.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Umum, Menteri Dalam Negeri harus segera turun tangan memberikan pedoman dan pengawasan yang diperlukan melalui Direktur Jenderal Kemasyarakatan dan Desa  segera turun tangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan yang diperlukan.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap sejarah kawasan dimana lahan tersebut berada, termasuk kronologi budidaya dan pemangku kepentingannya. Selain itu, perlu dilakukan analisis terhadap peraturan dan kebijakan baik  pusat maupun daerah terkait  konflik tata kelola yang sedang terjadi.
Melihat besarnya pelanggaran HAM dalam kasus Rempang, kami menemukan bahwa pihak berwenang bertindak brutal dan menggunakan kekuatan berlebihan sehingga menimbulkan tindakan kekerasan. Salah satu contoh kekerasan yang berlebihan adalah penembakan gas air mata di dekat fasilitas sipil seperti  sekolah. Belum lagi pelanggaran nyata terhadap hak  partisipasi dan informasi. Persetujuan masyarakat tidak diminta sebelum pelaksanaan proyek eco-urban dan mengorbankan tanah masyarakat Rempang.
Hak-hak anak dan perempuan  juga dilanggar dalam kasus kekerasan di Rempang. Gas air mata yang ditembakkan di dekat sekolah SDN 24 dan SMPN 22 Galang menimbulkan kepanikan, ketakutan bahkan luka fisik di kalangan anak-anak siswa. Bahkan, berdasarkan kronologi yang  kami kumpulkan, pihak sekolah mengadu dan memperingatkan polisi agar  tidak menitikkan air mata di sekolah. Beberapa peristiwa kemudian menyebabkan hilangnya rasa keadilan.
Dari sudut pandang komersial dan hak asasi manusia, proyek Rempang Eco-City yang disebut PSN dapat merampas tempat tinggal masyarakat. Idealnya, perusahaan harus memperhatikan dan memberikan pengamanan dan perlindungan kepada masyarakat yang terkena dampak praktik bisnis tersebut.
Selain itu, negara belum memenuhi kewajibannya untuk melindungi terhadap aktivitas pihak ketiga. Melalui mesin yang dimilikinya, negara justru menjadi perpanjangan tangan korporasi dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Peristiwa  di Rempang harus dianggap sebagai masalah serius karena berdampak pada banyak hal. Bibit-bibit memburuknya dan berlanjutnya konflik setidaknya dapat dilihat pada dua ciri, yakni bangkitnya paham kesukuan dan kebencian yang timbul akibat kekerasan. Jika  dibiarkan, bibit konflik yang berlarut-larut ini akan terus menyebar dan berkembang. Pemerintah harus segera mencari solusi untuk mencegah timbulnya korban baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H