Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Pentingnya Membicarakan Poin Ini Sebelum Menikah

2 Februari 2024   13:30 Diperbarui: 4 Februari 2024   09:14 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Pexels/SAMSON KATT

Kemarin seperti biasa pembicaraan di WAG kesayangan ramai karena sebuah post entah di akun siapa. Keramaian hari ini adalah seputar tangkap layar dari chat dua orang kekasih (disinyalir demikian) mengenai kodrat wanita dan pria dan pembagian pekerjaan rumah tangga. Si Wanita bersikeras kodrat wanita adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui; pekerjaan rumah tangga bisa dikerjakan bersama. Si Pria bersikeras dia hanya mau cari uang dan kodrat wanita adalah mencakup, tapi tidak terbatas pada, menyapu, mengepel, masak, melayani suami, dan seterusnya.

Lalu netizen meradang karena dalam chat Si Wanita mengandaikan dirinya sakit dan minta dibantu oleh Si Pria perihal pekerjaan rumah tangga, yang dibalas dengan, "Selagi kamu masih bisa bangun buat jalan, ngapain ga bisa ngerjain? Aneh kamu". Chat itu kemudian diakhiri dengan si wanita mengatakan, "Ga usah nikah, sewa pembantu aja".

Oke, stop sampai di sini. Jika kamu ikut meradang membaca cerita di atas, maka berarti kamu punya value yang sama dengan Si Wanita dalam chat, tapi berbeda dengan Si Pria dalam chat. AND IT'S OKAY. Tujuh milyar orang di dunia dengan maksimal tujuh milyar set life values, masak mau memaksakan semua orang memiliki pola pikir seperti kita? Itu namanya halu.

Setelah tahu values dari masing-masing calon mempelai pria dan calon mempelai wanita (if they ever wanna get married), pilihannya kan cuma dua: mau melanjutkan hubungan atau stop sampai di sini aja.

Satu hal perlu ditanamkan di benak:
People don't change, unless they want to and not because of you.

Jangan harap pria yang sebelum menikah menganggap semua urusan domestik hanya urusan wanita, akan berubah ketika sudah menikah, nggak dapet mbak infal pas Lebaran, dan mulai dengan sukacita menyapu dan mengepel rumah. Nggak akan. Jangan halu. Kalau ada uang, dia akan memilih tinggal di hotel selama nggak ada mbak. Kalau nggak ada uang, dia akan menyuruh istrinya melakukan semua pekerjaan rumah. Saya melihat sendiri beberapa contoh orang yang begitu, termasuk paman saya.

Nah, buat para calon mempelai, kalau memang mau menerima dan berdamai dengan kenyataan itu (meskipun jauh panggang dari api, jauh banget dari harapanmu akan pria seperti oppa di drakor yang jago masak, bersih-bersih, dan menyenangkan hati istri), ya silakan lanjut. Namun, jangan mengeluh di tengah-tengah pernikahan. Jangan berharap dia akan berubah setelah kamu cerewetin selama 15 tahun. Percayalah, it doesn't work.

Baiklah, to appease the mass, biar berempati juga dengan para wanita yang menganggap pria semacam di chat udah ketinggalan zaman, mari kita membahas sekejap tentang kodrat wanita.

Apa itu Kodrat?
Kodrat dalam bahasa Inggris adalah nature, tapi arti kata "kodrat" dalam bahasa Korea adalah yang paling dekat dengan arti kata "kodrat" dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Korea, kodrat (cheonseong) berarti sebuah atribut sangat penting yang tanpanya sebuah obyek A tidak bisa disebut A.

Contohnya ular. cheonseong dari ular adalah melata, menjalar dengan perutnya. Jika suatu waktu ular berjalan dengan empat kaki, maka atributnya hilang dan Si Ular tidak bisa lagi disebut sebagai ular. Bisa jadi dia mendapat nama baru sehingga dia adalah binatang lain yang bukan ular lagi.

Menurut wanita di chat di atas, kodrat wanita adalah mengandung, menyusui, dan melahirkan. Di luar itu adalah hal-hal yang bisa dikerjakan oleh pria dan wanita; tidak dengan hasil yang sama karena mereka berbeda, wiring mereka berbeda sejak penciptaan. Oleh karena itu, pekerjaan di tambang kebanyakan dikerjakan oleh pria karena membutuhkan kekuatan fisik besar, atau pekerjaan servis kebanyakan dikerjakan oleh wanita karena kemampuan berempati yang unggul.

Menurut saya soal kodrat ini nggak usah dipermasalahkan karena yang penting adalah bagaimana hidup secara optimal di sekitar kodrat itu. Masalahnya perkara kodrat dibesar-besarkan karena ajaran yang turun temurun dan ketidaktahuan.

Di Korea ajaran Konfusius masih bercokol dan sekarang dilanjutkan dengan Neo-Konfusius. Ajaran ini mendikte siapa wanita dan apa perannya di dalam kehidupan: untuk melayani keluarga suami, untuk melahirkan anak-anak bagi suami, untuk memastikan anak perempuan mendapatkan suami yang baik, untuk memastikan anak lelaki mendapat istri yang nantinya akan mengurus mertua. Pada ajaran ini semesta kehidupan wanita berpusat pada pria.

Apakah ajaran atau pemikiran tersebut salah? Pada zaman itu, hanya itu yang mereka tahu, tapi zaman terus berubah. Teknologi berkembang, manusia menjadi lebih kritis sesuai dengan cheonseong-nya yang selalu ingin tahu, dan timbul perlawanan.

Wanita-wanita muda di Korea Selatan saat ini menolak pemikiran bahwa hidup hanya untuk menikah dan memiliki anak, seperti yang didikte oleh generasi kakek-nenek dan orang tua mereka. Mereka memilih untuk tidak menikah dan menikmati berbagai pilihan di dalam hidup. Orang-orang yang tinggal sendirian (single household) sangat banyak dan menjadi lajang bukan lagi aib di mata masyarakat.

Bagaimana dengan di Indonesia? Menilik komentar-komentar di post IG tersebut saya kira di Indonesia perkara kodrat wanita ini pun bergerak ke arah yang sama: untuk dipertanyakan, didefinisikan ulang, dan kembali disebarluaskan. Orang-orang yang tidak suka perubahan pasti resisten. Orang-orang yang mendambakan pembaharuan pasti sangat excited. Semua itu wajar dan hadapi dengan biasa saja (nggak usah ikut marah-marah sama si pria di cerita chat di atas, hehehe).

Oleh karena soal kodrat ini masih dinamis dan belum menjadi obyek yang ajeg, didefinisikan secara sama, dan diterima secara merata, bagi mereka yang menjalin hubungan romantis dengan tujuan akhir menikah mesti, kudu, harus banget melakukan hal ini.

Pentingnya Pembicaraan Sebelum Berumah Tangga
Berumah tangga itu berat, percayalah. Kamu bukan lagi dua, tapi satu. Kamu memercayakan hidupmu kepada orang lain. Kamu mengambil tanggung jawab untuk mengurus manusia lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan kamu. Dan semua kamu lakukan atas nama cinta. Memangnya cinta cukup untuk berumah tangga?

TENTU SAJA TIDAK.

Yang percaya cinta itu cukup, silakan makan tuh cinta. Mumpung masih dalam keadaan cinta, mari hadapi hal terberat sebelum foto pre-wed dan melangkah ke pelaminan:

Berbicaralah dengan jujur dan dari hati ke hati tentang siapa kamu, nilai hidup, tujuan, prioritas, dan semua hal yang perlu diketahui oleh pasanganmu.

Kalau dilembagakan ini namanya konseling pranikah; kalau dilakukan secara kasual ini namanya kesadaran bahwa hidup berumah tangga adalah hidup dengan kemauan untuk:
1. (Diri sendiri) mengubah apa yang bisa diubah (dari diri sendiri),
2. (Diri sendiri) menerima apa yang tidak bisa diubah (dari diri orang lain),
3. Dan hikmat untuk membedakan keduanya.

Nah sebelum sampai ke poin jujur-jujuran akan hal nomor 1 dan 2, persiapkan waktu, tenaga, konsentrasi, dan kebesaran hati untuk mulai berbicara terbuka dengan pasangan.

Apa values yang kalian pegang sebagai individu sebelum kalian bertemu?
Apa values yang kalian akan terapkan setelah menjadi pasangan?
Bagaimana peran setiap orang dalam hal praktis seperti penghidupan/nafkah, mengurus rumah, mengurus orang tua, dan mengurus anak?
Bagaimana pandangan kalian tentang uang, tabungan, jaminan hari tua, dan hutang?

And the list goes on.... Banyak banget, men, dan membicarakan itu semua butuh waktu yang pasti diselingi dengan berantem karena nggak terima. Ih, kok dia bisa mikir kayak gitu sih? Kan harusnya dia... (isi sendiri).

Oke, stop di sini dan kembali ke poin "people don't change unless they want to and not because of you". Terima kenyataan bahwa calon suami/istri begini dan begitu, jika tidak bisa terima cari calon suami/istri lain dengan values set yang sama. Nggak ribet, nggak susah, cuma perlu melewati tahap patah hati aja. Cup, cup, cup.

Penutup
Bicara soal proses sebelum menikah dan setelah menikah memang nggak ada habisnya. Apa saya bikin buku aja tentang ini ya? Hahaha. Komen dong kalau kamu setuju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun