Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Ibu Rumah Tangga Setiap Hari: Masak Sendiri atau Beli Jadi?

13 Desember 2023   00:33 Diperbarui: 13 Desember 2023   18:08 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu rumah tangga masak | sumber: shutterstock

Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang meniti karir di luar rumah. Saya melihat sendiri bagaimana tidak mudah bagi beliau untuk mengurus rumah dan keluarga sambil harus bekerja, tanpa ada pembantu. 

Zaman dulu belum ada laundry service yang menjamur seperti sekarang. Jika ada, maka mungkin kami sudah mendelegasikan tugas mencuci baju kepada pihak ketiga. Iya, pekerjaan rumah tangga memang soal kemampuan dan kemauan untuk mendelegasikannya kepada orang lain sesuai dengan kebutuhan setiap keluarga.

Sejak kecil kami semua gotong-royong mengurus rumah, tapi memang soal masak memasak masih dikerjakan sebagian besar oleh ayah dan ibu karena faktor keamanan di dapur (keberadaan kompor gas, blender, dan sejenisnya). Setiap hari beliau berpikir keras: haruskah memasak sendiri atau membeli makanan jadi? 

Kata orang, memasak sendiri lebih hemat dari membeli makanan jadi. Kata ibu saya, tergantung memasak seberapa banyak untuk berapa orang dan untuk berapa kali makan.

Jika sekali masak membutuhkan bahan makanan sebanyak W, menghabiskan energi gas dan listrik sebanyak X, untuk dinikmati oleh Y orang, maka biaya makan per orang adalah sebesar (W+X)/Y, kita sebut saja Z Rupiah. 

Z Rupiah ini yang dibandingkan oleh ibu saya jika kami sekeluarga pergi makan di luar. Apakah biaya memasak untuk lima orang sebanyak 5 kali Z lebih kecil atau setidaknya sama dengan biaya makan lima orang di Restoran Padang, misalnya? Jika satu piring nasi Padang lengkap menghabiskan biaya 15.000 Rupiah, maka memasak rendang sendiri untuk lima orang di rumah tidaklah ekonomis jika menghabiskan biaya lebih dari 5 x 15.000 yaitu 75.000 Rupiah untuk sekali makan. Lain cerita kalau sekali masak untuk beberapa kali makan, atau untuk beberapa hari seperti saat ibu saya memasak rendang.

Ketika masih kecil dan tumbuh besar, perkara makan apa, di mana, dan kapan ditangani oleh orang tua atau orang yang membesarkan kita. Semakin kita dewasa, semakin kita memiliki kebebasan mau makan apa, di mana, dan kapan, selama kita memiliki fleksibilitas dalam bentuk uang.

Iya, uang adalah penentu pertama kita mau makan apa, di mana, dan kapan. Makan mie instan tentu lebih terjangkau daripada rendang, makan di restoran cepat saji tentu lebih mahal daripada makan di warung Tegal, dan mencari makan tengah malam tentu lebih sulit dan lebih mengeluarkan uang daripada mencari makan pada waktu orang biasa bersantap. Selama kita memiliki atau tidak memiliki uang, kita memiliki fleksibilitas dan kebebasan untuk memilih sesuai preferensi pribadi kita.

Saya adalah seorang ibu rumah tangga sejak 14 tahun lalu, dan saya melihat ada pertimbangan selain uang ketika memilih di antara harus memasak sendiri atau membeli makanan jadi.

1. Kebersihan dan Gizi Makanan

Setiap orang memiliki standar kebersihan masing-masing. Kita tidak pernah tahu dan tidak pernah bisa mengatur seberapa bersih dapur orang lain. 

Saya sering kali pergi ke kamar kecil yang bersebelahan dengan dapur sebuah restoran. Pemandangan yang saya lihat biasanya membuat saya tidak mau kembali ke restoran itu. 

Oleh karena itu, saya menganggap bijak restoran yang menutup bagian kotor dari dapurnya dan menampilkan hanya area serving saja. Cipratan minyak, sampah bahan makanan, piring kotor, semuanya berjejalan dan membuat siapa pun akan bertanya-tanya: apakah lingkungan untuk memasak makanan yang saya pesan tadi sudah cukup bersih? 

Lain hal saat saya memasak sendiri di dapur rumah saya. Saya bisa menyesuaikan kebersihan dapur sesuai dengan standar saya. Saya bisa memastikan tidak ada rambut, serangga, steples, atau bungkus bahan makanan yang ikut termasak. Semuanya di bawah kendali saya. 

Selain itu saya juga bisa memastikan asupan gizi untuk anggota keluarga saya, terutama anak-anak. Masakan yang digoreng dengan minyak terendam, terlalu banyak garam dan gula, dan sejenis itu tentu tidak akan saya masak dan hidangkan. Sekali lagi, semuanya bisa saya atur sendiri.

Akan tetapi, kebersihan dan gizi makanan bukan penentu utama saya memasak sendiri atau membeli makanan jadi. Ada faktor berikut yang semakin lama semakin menjadi prioritas akibat pilihan saya untuk menjalani peran selain menjadi ibu rumah tangga.

2. Waktu

Memasak makanan sendiri adalah aktivitas yang sungguh menghabiskan waktu. Mulai dari membuat daftar belanjaan sesuai dengan rencana menu, membeli bahan makanan, membersihkannya, memotong/mencacah/dan sebagainya untuk mempersiapkannya sebelum dimasak, memasaknya, menghidangkannya, dan terakhir mencuci semua perkakas memasak (termasuk peralatan makan yang dipakai oleh mereka yang menyantap makanan itu).

Tujuh langkah, saudara-saudara, dan itu untuk satu atau maksimal dua kali makan. Saya biasa memasak untuk makan siang dan makan malam dan menghabiskan sekitar tiga jam sehari untuk ketujuh langkah tersebut. 

Saat ini saya juga mengajar bahasa Korea dan saya membandingkan antara waktu yang saya pakai untuk memasak selama tiga jam (variabel A) dan berapa pemasukan saya dari mengajar selama tiga jam (variabel B). Perbandingan tersebut tidak berhenti di situ. Ada biaya yang saya keluarkan jika membeli makanan jadi, yang kita sebut saja variabel C.

Jika variabel B lebih besar dari variabel C, maka saya untung. Saya bisa menghidangkan makanan dengan cepat untuk keluarga saya tanpa harus berlelah-lelah menjalani langkah pertama sampai keenam (langkah mencuci piringnya tidak terhindarkan, lah ya). Namun, jika variabel B lebih kecil dari variabel C, maka saya buntung. Pemasukan saya habis untuk membeli makanan jadi, bahkan saya menombok dari anggaran rumah tangga.

Dengan membandingkan variabel A sampai C saya bisa sampai kepada keputusan untuk memasak sendiri atau membeli makanan jadi pada hari itu. Iya, benar, keputusan saya bervariasi dari hari ke hari karena melihat kesibukan dan agenda pada hari tersebut. 

Selain mengurus rumah, mengurus anak, mengantar-jemput anak ke dan dari sekolah, bekerja freelance, ada saja urusan remeh-temeh yang membutuhkan atensi dan alokasi waktu rutin seperti belanja bahan makanan, membayar tagihan-tagihan, dan sejenisnya. Hal ini menjadi variabel D yang membuat saya memutuskan, apa lebih baik membeli makanan jadi saja supaya kebutuhan anak-anak langsung tersedia begitu mereka pulang sekolah dan saya selesai running errands sepanjang hari.

Pertanyaan yang saya ajukan setiap hari ke diri saya sendiri ini sebenarnya memerlukan satu strategi saja. Tidak, tidak sesederhana masak sendiri atau beli jadi, tapi soal choosing my battle. 

Saya manusia yang memiliki keterbatasan waktu, energi, dan uang. Di manakah saya akan mencurahkan waktu, energi, dan uang saya dalam battle makan apa hari ini? Di situlah saya terus berusaha untuk menjadi bijak dalam menjawab pertanyaan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun