Minggu lalu pada suatu sore anak saya yang bungsu minta main ke rumah tetangga yang punya cucu masih kecil, baru berusia sekitar 1 tahun, dan ditinggal di rumah kakek-neneknya selama orang tuanya bekerja. Si Adek sedang senang-senangnya dipanggil 'kakak', tapi selalu menolak punya adik.
Setiba di sana mulailah basa-basi seputar cuaca dan, selayaknya dua atau tiga perempuan yang sudah menikah ketika berkumpul, pertanyaan kapan si Budhe (begitu sapaan si tetangga) nambah cucu.
"Tau nih, mantu saya baru pergi ke Jepang buat kerja. Anak saya mau resign dan nyusul ke sana. Saya udah bilang ke anak saya, kayak Tante itu lho (saya, maksudnya, udah dipanggil 'tante', hiks), bisa lama LDR sama suaminya. Ngapain resign, ngapain balik ke dapur? Nggak eman udah disekolahin tinggi-tinggi?"
Sedikit gambaran tentang latar belakang si Budhe. Beliau sampai pensiun bekerja di sebuah pabrik. Anaknya tiga orang sehingga beliau selalu dipusingkan dengan urusan pembantu, pengasuh anak, dan seputar itu. Sekarang di masa pensiun kesibukan beliau adalah mengurus cucu.
Reaksi pertama saya adalah saya menolak dijadikan percontohan untuk keputusan LDR atau tidak dari anak si Budhe. LDR pada kasus saya adalah antara kota Jakarta dan Surabaya, lah LDR pada kasus anak si Budhe adalah antara kota Jakarta dan Tokyo. Nggak apple to apple lak'an.
Pertimbangan untuk menjalani Long Distance Relationship itu banyak, Saudara-saudara. Boleh didengerin di sini.
Pertimbangannya lebih kompleks dari sekedar menahan rindu, mengurus dua dapur, ongkos pesawat, dan anak yang jarang bertemu salah satu dari kedua orang tuanya. Dan kasus LDR satu pasangan tidak bisa dijadikan percontohan untuk pasangan yang lain.
Itu tidak masuk akal. Orang yang terlibat beda, situasinya beda, tantangannya beda, gimana bisa disamaratakan? Namun, apa pun alasannya, kita juga tidak punya kewajiban untuk menjelaskan tindakan kita ke orang-orang selain yang berkepentingan saja, seperti keluarga inti dan sebagian keluarga besar.
Anak si Budhe kemudian menimpali, bagaimana mungkin tidak ikut suami ke Jepang, ke negara yang menawarkan fasilitas yang maju. Dia lahir, tumbuh besar di Bekasi, ya pasti ingin anaknya menikmati lingkungan yang jauh lebih baik.
Berhubung saya pernah sekolah di Tokyo, saya pun ditanya-tanya tentang kehidupan di sana. Berkali-kali si Budhe memotong dengan 'Nggak sayang ijazahnya?', 'Ibuk udah capek kerja biar kamu S2, kok jadi ibu rumah tangga?', 'Kapan lagi jadi asisten manajer di BUMN?', sampai yang paling menohok 'Kamu bisa gitu ngurus anak sendiri?', dan seterusnya, dan sebagainya, pokoknya komentar-komentar yang bikin saya migrain dan bersimpati pada anak si Budhe.