Sebagai orang-orang yang cenderung bersih, rapi, dan tertib, kami malu karena penataan di dalam kulkas kami ternyata tidak menggambarkan itu.
2. Kulkas sering kali kita jadikan sebagai tempat menyimpan barang-barang, dengannya kita malas berurusan.Â
Seperti sisa obat, sisa snack, semua sisa-sisa yang membuat kita lelah untuk berpikir apa yang seharusnya kita lakukan dengannya, atau sebenarnya kita malas saja untuk menghadapi konsekuensi.Â
Membuang makanan sisa membuat kita merasa bersalah kepada para petani yang mengupayakan dan orang tua yang membeli, sehingga kita melemparkannya ke dalam kulkas, menutup pintunya, dan berharap kita akan teringat akannya nanti-nanti (dan ini 90% kemungkinan tidak terjadi).
3. Kulkas mengajari kami bahwa perilaku menunda-nunda hanya akan membawa keburukan dan sampah.Â
Revelasi nomor tiga ini berkaitan dengan revelasi nomor dua. Kita memperlakukan kulkas seperti lemari buku atau lemari baju yang selalu siap menerima tampungan barang, tanpa kita menyadari keterbatasan kapasitasnya dan bagaimana isi lemari-lemari itu akan membludak pada satu titik. Menunda-nunda berarti menghadapi konsekuensi dan keterkejutan yang lebih besar skalanya nanti.Â
Rasa malu, cemas, dan bersalah mengiringi kegiatan bersih-bersih dan berujung pada penyesalan: seandainya waktu itu saya langsung membereskan ini dan itu pasti hasilnya tidak akan seperti ini dan itu.Â
Ada makanan yang masih bisa dimakan sebelum expired, ada obat sisa yang masih bisa digunakan sebelum terlanjur membeli obat baru, dan seterusnya.
Berurusan dengan isi dan penataan kulkas rasanya seperti berurusan dengan hidup dan orang-orang di dalamnya. Keengganan untuk berurusan, tindakan menunda-nunda, hanya berujung pada penimbunan sampah yang sebenarnya bisa dihindari.
Don't put off till tomorrow what you can do today.
Jangan menunda-nunda. Urus sekarang apa yang bisa kita urus, baik di dalam kulkas maupun di dalam hubungan interpersonal. Bagaimana caranya?