Kemarin malam, seorang teman baru saya di KLIP (Kelas Literasi Ibu Profesional) mengirimkan pesan langsung di Instagram. Dia bertanya, "Kak, kalau lagi mentok menulis, Kakak ngapain?"
Saya jadi teringat acara book launching 2 minggu lalu dimana ada pertanyaan yang mirip: "Kalau lagi mengalami writer's block, Kakak melakukan apa?"
Tetap menulis.
Mengapa demikian? Sebelum masuk ke jawaban saya di atas, saya uraikan dulu ya mengapa seseorang bisa mengalami writer's block atau mentok saat menulis.
Penyebab writer's block sejatinya hanya ada dua:
- Kita tidak terinspirasi sehingga tidak tahu harus menulis apa.
- Kita terlalu terinspirasi sehingga tidak tahu harus memulai menulis dari mana.
Itu saja.
Merasa banyak membaca tulisan lain, banyak menonton, dan banyak berdiskusi dengan orang lain, tapi kesulitan saat harus menuangkan pendapat sendiri di selembar kertas atau di new page di MS Word? Berarti kita sedang mengalami penyebab nomor 2 dari writer's block.
Merasa heran dengan orang-orang yang bisa menuangkan dengan mudah isi pikiran dan perasaannya di media tulisan, padahal sepertinya kita memiliki titik awal yang kurang lebih sama dengan mereka? Berarti kita sedang mengalami penyebab nomor 1 dari writer's block.
Jika kita bisa mengelompokkan sejuta alasan yang kita berikan kepada diri sendiri mengapa kita tidak menulis ke dalam kedua penyebab tersebut, maka kita akan lebih cepat menemukan solusi untuk writer's block yang kita alami.
Kata banyak orang, writer's block jangan dilawan, dia harus dirangkul, dimaklumi bahwa itu dapat dan akan selalu sesekali terjadi. Kalau mengalami writer's block, tinggalkan saja dulu kegiatan menulis. Lakukan hal-hal lain sampai kita mendapat inspirasi lagi.
Waktu saya mendengar saran tersebut saya langsung berpikir:
- Melakukan kegiatan-kegiatan lain itu sebanyak apa?
- Melakukan kegiatan-kegiatan lain itu berapa lama?
Bagus kalau setelah pergi menonton bioskop, jalan-jalan, membaca novel, memancing, misalnya, akhirnya bisa membuat saya terinspirasi lagi dan melanjutkan kembali tulisan saya. Kalau tidak? Berapa banyak lagi kegiatan lain-lain yang saya harus lakukan dan untuk berapa lama?
Saya merasa perlu mengetahui durasi waktu yang saya perlukan, supaya: 1) saya bisa mengukur berapa lama saya terpisah dari tulisan saya, dan 2) mengira-ngira apa yang harus saya lakukan untuk memulai kembali setelah berisitirahat sekian lama. Ibaratnya, perlu dorongan super kuat untuk membuat saya yang sudah berganti pakaian rapi untuk kembali berenang di kolam berair dingin. Perlu strong why and strong nudge.
Saya memiliki pendekatan berbeda untuk mengatasi writer's block. Tentu saja pendekatan yang berhasil untuk saya belum tentu berhasil untuk Anda. Akan tetapi, biarlah saya bagikan, siapa tahu Anda belum pernah mendengar cara ini sebelumnya.
Kalau kita merasa kedinginan, janganlah kita menjauh dari api.
Kalau kita merasa kedinginan, kita harus tetap berada dekat dengan api supaya tetap merasa hangat, bukan?
Demikian pula dengan kegiatan menulis. Kalau kita merasa mentok, tidak bisa menulis, tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan, isi pikiran terlalu acak dan ruwet untuk dituangkan menjadi kata dan kalimat ... tetaplah menulis.
Keadaan tidak bisa menulis adalah keadaan kita yang kedinginan. Dengan tetap berusaha menulis, itulah usaha kita untuk tetap merasa hangat dan bersemangat dengan apa yang kita lakukan.
Bagaimana saya bisa sampai pada kesimpulan bahwa cara mengatasi writer's block adalah dengan tetap menulis? Ya, karena saya mengalaminya sendiri dan tidak tanggung-tanggung, saya mengalaminya selama 2 tahun!
Dua tahun yang lewat begitu saja dan saya sesali. Seandainya, seumpama, apabila ketika itu saya sudah terpikirkan mengenai konsep kedinginan dan api, saya pasti tidak akan memanjakan writer's block yang saya alami. Saya pasti akan melawan kemalasan itu dengan sejuta usaha. Saya pasti sudah berkarya lebih banyak dari 4 (on the way 5) buku pada tahun 2021 ini.
Namun, yang namanya penyesalan pasti datang belakangan, 'kan? Kalau datang duluan, namanya pendaftaran. Maaf garing, hehehe.
Gara-gara KLIP dan sistem setoran tulisan hariannyalah saya mengalami sangat sedikit writer's block mulai dari bulan Januari tahun 2020 sampai sekarang. Apa pasal? Saya tercebur di kolam yang berisi ikan-ikan kuat yaitu sesama penulis. Saya harus berenang dong supaya bisa survive di kolam itu? Saya harus menulis dong supaya menghasilkan karya seperti penulis-penulis lain?
Jangan salah, kompetisi itu bukan dengan orang lain. Sejatinya, kompetisi itu dengan diri sendiri. Bukan karena saya ingin berotot seperti ikan yang lain, tapi saya harus berotot supaya saya bisa mengarungi kolam yang berarus deras.
Menulis itu perkara berlatih. Menulis itu seperti melatih otot. Ada otot yang terbiasa digunakan saat bekerja, ada otot yang tertimbun lemak dan kita bahkan lupa kalau otot itu ada! (Oke, saya bicara padamu, wahai otot perut, hehehe.)
Supaya otot terbentuk dan terlatih, apa yang harus kita lakukan? Berolahraga. Supaya otot menulis kita terbentuk dan terlatih, apa yang harus kita lakukan? Ya, menulis. Tidak ada jalan pintas, tidak ada jalan lain.
Oleh karena itu, kemarin malam saya menjawab pertanyaan Mbak Elsa dengan dua kata saja:Â tetap menulis.
Tidak harus dengan kalimat lengkap, mulai saja dengan kata-kata. Itu yang saya lakukan ketika isi kepala terlalu penuh oleh hal-hal yang saya ingin tuangkan. Saya mengalami penyebab nomor 2 dari writer's block, saya terlalu terinspirasi oleh berbagai hal sehingga tidak tahu harus memulai dari mana. Ketika pikiran, perasaan, dan tangan tidak sinkron, tidak apa-apa memulainya dengan baby steps, dengan langkah-langkah kecil untuk melumasi dulu mesin yang memungkinkan kita menulis lagi dengan lancar.
Toh dua puluh kata-kata yang acak dan sepertinya tidak saling berkaitan tetap lebih baik daripada tidak ada kata sama sekali di halaman yang kosong, bukan? Ada banyak cara untuk menyambung-nyambungkan kata-kata itu menjadi kalimat, lalu kemudian menjadi paragraf, dan akhirnya menjadi tulisan utuh.
Kamu bisa memakai Diagram Tulang Ikan Ishikawa (gambarnya ada pada awal artikel ini) yang saya jabarkan secara mendetail di sini. Intinya adalah menuliskan poin-poin dari pikiran kita yang kemudian dikembangkan sesuai dengan keperluan. Ingat ya, sesuai dengan keperluan, bukan sesuai dengan mood (ini saya menegur diri saya sendiri).
Menanggapi jawaban saya, Mbak Elsa menulis begini: "Oh, seperti word vomit, ya?"
Saya langsung merasa tergelitik. Word vomit? Muntah kata? Terus terang saya baru pertama kali mendengar istilah itu dan saya jadi terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentangnya.
Dari penelusuran Mbah Google, saya menemukan tiga definisi untuk word vomit.
Yang pertama, word vomit ditemukan pada film "Mean Girls" dan berarti tidak sengaja mengucapkan hal yang sudah lama terpikirkan, tapi tidak pernah diniatkan untuk diucapkan. Intinya ada pada kata "tidak sengaja".
Yang kedua,word vomit berarti menuliskan kata apa pun yang terlintas di kepala di selembar kertas dan kemudian membacanya lagi dan menyusunnya ulang untuk menjadi sebuah tulisan utuh. Konsepnya sama dengan free writing, menuliskan apa pun isi kepala tanpa jeda, tanpa penyuntingan di tengah, dan dalam durasi tertentu.
Yang ketiga, word vomit berarti berbicara sekaligus banyak dalam satu waktu, kurang lebih seperti merepet. Biasanya orang yang melakukan ini kehilangan kendali atas kata-kata mereka karena mereka lelah, stres, atau kecewa.
Dari ketiga definisi di atas, saya bisa mengambil benang merahnya: word vomit adalah menulis (atau mungkin berbicara) tanpa banyak pertimbangan.
Tuliskan (atau mungkin ucapkan) saja dulu, dan pikirkan maksud, struktur, diksi, dan lain sebagainya belakangan.
Saya berterima kasih kepada Mbak Elsa karena sudah memperkenalkan saya pada istilah ini, dan saya langsung mempraktikkannya kemarin ketika merasa buntu saat harus menulis sesuatu yang saya tidak kuasai sama sekali.
Tidak menguasai tidak berarti tidak tahu sama sekali, bukan? Itu yang saya katakan kepada diri saya sendiri.
Jadi, saya tulis satu per satu hal yang saya ketahui, lalu saya buat korelasinya. Dari tiga poin bisa menjadi sembilan poin karena setiap poin saya pecah lagi menjadi tiga subpoin. Dari setiap subpoin saya bisa menulis satu sampai dua paragraf. Voila, tulisan yang padat informasi (walaupun saya bukan ahli di bidang yang saya tulis) akhirnya jadi juga dan cukup untuk memberikan pengantar kepada mereka yang mau mendalami bidang itu lebih lanjut.
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, saat merasa tidak bisa menulis, tetaplah menulis. Tidak tahu harus menulis apa? Gali sumber-sumber ide berupa bacaan, tontonan, obrolan, dan lain sebagainya. Tidak tahu harus menulis dari mana? Coba pakai teknik word vomit.
Selamat mencoba dan semoga berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H