Gara-gara KLIP dan sistem setoran tulisan hariannyalah saya mengalami sangat sedikit writer's block mulai dari bulan Januari tahun 2020 sampai sekarang. Apa pasal? Saya tercebur di kolam yang berisi ikan-ikan kuat yaitu sesama penulis. Saya harus berenang dong supaya bisa survive di kolam itu? Saya harus menulis dong supaya menghasilkan karya seperti penulis-penulis lain?
Jangan salah, kompetisi itu bukan dengan orang lain. Sejatinya, kompetisi itu dengan diri sendiri. Bukan karena saya ingin berotot seperti ikan yang lain, tapi saya harus berotot supaya saya bisa mengarungi kolam yang berarus deras.
Menulis itu perkara berlatih. Menulis itu seperti melatih otot. Ada otot yang terbiasa digunakan saat bekerja, ada otot yang tertimbun lemak dan kita bahkan lupa kalau otot itu ada! (Oke, saya bicara padamu, wahai otot perut, hehehe.)
Supaya otot terbentuk dan terlatih, apa yang harus kita lakukan? Berolahraga. Supaya otot menulis kita terbentuk dan terlatih, apa yang harus kita lakukan? Ya, menulis. Tidak ada jalan pintas, tidak ada jalan lain.
Oleh karena itu, kemarin malam saya menjawab pertanyaan Mbak Elsa dengan dua kata saja:Â tetap menulis.
Tidak harus dengan kalimat lengkap, mulai saja dengan kata-kata. Itu yang saya lakukan ketika isi kepala terlalu penuh oleh hal-hal yang saya ingin tuangkan. Saya mengalami penyebab nomor 2 dari writer's block, saya terlalu terinspirasi oleh berbagai hal sehingga tidak tahu harus memulai dari mana. Ketika pikiran, perasaan, dan tangan tidak sinkron, tidak apa-apa memulainya dengan baby steps, dengan langkah-langkah kecil untuk melumasi dulu mesin yang memungkinkan kita menulis lagi dengan lancar.
Toh dua puluh kata-kata yang acak dan sepertinya tidak saling berkaitan tetap lebih baik daripada tidak ada kata sama sekali di halaman yang kosong, bukan? Ada banyak cara untuk menyambung-nyambungkan kata-kata itu menjadi kalimat, lalu kemudian menjadi paragraf, dan akhirnya menjadi tulisan utuh.
Kamu bisa memakai Diagram Tulang Ikan Ishikawa (gambarnya ada pada awal artikel ini) yang saya jabarkan secara mendetail di sini. Intinya adalah menuliskan poin-poin dari pikiran kita yang kemudian dikembangkan sesuai dengan keperluan. Ingat ya, sesuai dengan keperluan, bukan sesuai dengan mood (ini saya menegur diri saya sendiri).
Menanggapi jawaban saya, Mbak Elsa menulis begini: "Oh, seperti word vomit, ya?"
Saya langsung merasa tergelitik. Word vomit? Muntah kata? Terus terang saya baru pertama kali mendengar istilah itu dan saya jadi terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentangnya.
Dari penelusuran Mbah Google, saya menemukan tiga definisi untuk word vomit.