Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memercayai Diri Sendiri

15 Februari 2021   00:36 Diperbarui: 15 Februari 2021   19:39 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Photo by Emma Bauso from Pexels

Sekitar sebulan lalu anak saya yang sulung bercerita bahwa akan ada pemilihan ketua kelas di kelasnya dan dia berniat mencalonkan diri. Sebelum pandemi dan kegiatan belajar mengajar masih berlangsung normal di sekolah, dia sudah beberapa kali menjadi line leader, pemimpin barisan, tapi dia belum pernah menjadi class leader, atau ketua kelas.

Pandemi dan kegiatan belajar dari rumah memang memunculkan beberapa aspek di dalam diri anak saya, yang sebelumnya tidaklah terlalu menonjol, yaitu sikap bertanggung jawab dan kepemimpinan.

Saya dan suami sama-sama anak sulung, dan saya akui kami cepat meminta dia untuk bersikap dan bertindak bertanggung jawab karena dia anak paling besar. Kami juga memintanya menjadi pemimpin bagi adik-adiknya, yang akan membantu kami menegakkan aturan-aturan di rumah.

Anak saya yang sulung tidak kaget dengan School from Home dan keharusan belajar dengan gawai. Ini sangat berbeda dengan adiknya yang lebih suka bergerak dan tidak suka menatap layar.

Dalam kegiatan belajar sehari-hari yang dilangsungkan di ruang meeting virtual, ada aturan-aturan dan sopan santun baru yang berlaku untuk guru dan siswa. Si Kakak dengan senang hati menerima dan menerapkan aturan-aturan dan sopan santun baru tersebut.

Mulai dari harus memakai seragam selama jam belajar, menyalakan kamera sepanjang waktu, membisukan mikrofon jika bukan waktunya berbicara, dan menekan tombol "Raise Hand" jika hendak menyampaikan sesuatu, semuanya dilakukan dengan tepat oleh si Kakak.

Dia juga tidak segan mengirimkan chat ke teman-teman sekelasnya yang belum muncul di ruang meeting ketika jam pelajaran sudah dimulai, atau memberi tahu isi agenda untuk teman-temannya yang tidak bisa mengikuti pelajaran pada hari itu.

Sewaktu wali kelasnya menjabarkan apa saja yang menjadi tugas seorang ketua kelas, si Kakak manggut-manggut. Sesudah itu dia mendatangi saya di ruang kerja saya dan berkata:

"I want to be a class leader."
Saya sontak mengalihkan pandangan dari layar laptop. "Why?" tanya saya.

"I've been doing what a class leader does. I think I can do it."
"Then go for it," timpal saya. "Text your homeroom teacher and tell her you want to try for the position."
"I will. Everyone is going to nominate a name. The person who gets most votes will be the class leader."
"Is that so? So, whom will you nominate?"
"Myself."
"Okay, good luck," kata saya.

Dengan percaya diri dia kembali ke perpustakaan tempat dia belajar. Beberapa menit kemudian dia mengirimkan saya teks di chatroom (karena jarak antara ruang kerja saya dan perpustakaan rumah cukup jauh, kami sering menggunakan chat) yang berbunyi begini:

I already told Miss.
And what did she say?
She gave me a thumb up.
Great, then go for it.

Sekitar satu jam kemudian, dia kembali mendatangi saya dengan wajah ditekuk.

"I wasn't selected."
"Who was?"
"My friend. She got 11 votes, then the other one got 7 votes. I only got 1 vote."
"And that one vote was from yourself?"
"Yeah, if I don't like myself, if I don't believe in myself, how will other people?"

"You're right about that. Don't worry about not being elected. What you can do now is making yourself qualified enough, should another election come up."

Dia hanya mengangkat bahu dan kemudian meninggalkan saya. Saya tahu dia kecewa karena dia berharap dipercayakan posisi itu. Saya tidak meremehkan perasaannya dengan berkata "ah sudahlah, cuma gitu aja".

Saya biarkan dia merasa kecewa, tapi tidak berlarut-larut di dalamnya. Puji Tuhan, wajah cemberutnya hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu dia memutuskan untuk tunduk dan membantu tugas si ketua kelas, yang notabene adalah salah satu sahabatnya.

Anak-anak boleh merasa tidak baik-baik saja dan menganggap perasaan itu sebagai pusat dari dunia mereka, karena begitulah anak-anak. Emosi mengambil porsi yang besar di dalam keseharian mereka.

Tugas kita sebagai orang dewasa adalah menjadi teman bicara untuk mengomunikasikan emosi dan menunjukkan jalan untuk tidak memanjakan emosi yang negatif atau tidak membangun.

Ada dua hal yang saya pelajari dari percakapan kami pada hari itu.

1. Memercayai diri sendiri.
Kalau bukan saya yang memercayai diri saya sendiri, bagaimana mungkin saya berharap orang lain melakukannya, begitulah kata anak saya yang sulung. Saya pikir benar juga,ya. Semua tindakan yang melibatkan orang lain, harus dimulai dengan diri sendiri terlebih dahulu.

LANGKAH 1: Mau mencintai orang lain? Cintai dulu diri sendiri.
LANGKAH 2: Mau dicintai oleh orang lain? Cintai mereka terlebih dahulu.

LANGKAH 1: Mau bersikap baik pada orang lain? Bersikap baik dulu pada diri sendiri.
LANGKAH 2: Mau orang lain bersikap baik padamu? Bersikap baiklah terlebih dahulu pada mereka.

LANGKAH 1: Mau menerima orang lain apa adanya? Terima dulu dirimu apa adanya.
LANGKAH 2: Mau diterima oleh orang lain apa adanya? Terima diri mereka apa adanya.

LANGKAH 1: Mau memercayai orang lain? Percaya dulu pada diri sendiri.
LANGKAH 2: Mau dipercaya oleh orang lain? Mulailah memercayai orang lain.

Dan masih banyak contoh lainnya.

Sikap memercayai diri sendiri adalah hasil dari sikap menyukai dan mengenal baik diri sendiri. Menurut saya, sikap ini masih sangat murni pada anak-anak, dan sangat cepat memudar begitu kita beranjak dewasa. Ada begitu banyak faktor di luar diri kita yang dengan lantang menunjukkan hal-hal di dalam diri kita yang dikira harus membuat kita malu pada diri sendiri.

Kamu selalu bicara blak-blakan.
Padahal, apa ruginya berkata jujur dan langsung ke pokok permasalahan?

Kamu terlalu ambisius.
Padahal, apa salahnya memiliki tujuan dalam setiap proyek yang kita kerjakan?

Kamu terlalu pemilih.
Padahal, apa salahnya memilih yang terbaik buat diri sendiri?

Dan masih banyak contoh lainnya.

Apa kata orang lebih banyak menjatuhkan mental, daripada membangun kepercayaan diri. Omongan orang membuat kita gamang dan mulai tidak mempercayai diri sendiri lagi. Pendapat orang yang diulang terus-menerus, terlepas dari benar salahnya, membuat kita meragukan diri sendiri dan kualitas sebenarnya dari diri kita.

Hal itu yang terjadi pada diri saya ketika beranjak remaja dan dewasa, ketika saya terlalu mendengarkan kata-kata orang-orang yang seharusnya tidak mempengaruhi saya. Seharusnya ketika itu saya tetap fokus pada pendapat orang-orang terpenting di dalam hidup saya, yaitu keluarga, dan saya tidak melakukannya. Hal itu membuat saya tidak memaksimalkan potensi yang sebenarnya saya miliki.

Saya berharap anak saya, ketiga-tiganya, sepanjang hidup mereka akan mengenal dan mengakui diri mereka sendiri sebagai ciptaan Tuhan yang berharga, berfokus pada talenta dan potensi yang dianugerahkan kepada mereka, dan bekerja sesuai dengan panggilan di dalam hidup mereka masing-masing.

Tanpa memedulikan apa kata orang.

2. Memantaskan diri untuk sebuah posisi/pekerjaan.
Ada orang yang mendapatkan sebuah posisi atau pekerjaan padahal, menurut kita, dia tidak memiliki kompetensi atau kecakapan yang cukup untuk posisi/pekerjaan tersebut. Itu menurut kita. Pendapat kita bisa jadi berbeda dengan pendapat orang lain yang memberikan orang itu sebuah posisi/pekerjaan.

Pemilihan adalah soal konsensus. Ada sebagian orang yang memiliki pendapat yang sama, memegang suara mayoritas, dan pada akhirnya memutuskan yang terbaik untuk kelompok di mana mereka bernaung. 

Apakah orang yang tidak terpilih berarti berkualitas kurang dibandingkan dia yang terpilih? Belum tentu. Perkara konsensus adalah perkara yang relevan terhadap tiga hal: situasi, kondisi, dan rentang waktu tertentu. Di luar tiga hal tersebut, pemilihan bisa jadi memberikan hasil yang berbeda.

Anak saya boleh jadi percaya diri dapat menjalankan amanah untuk menjadi ketua kelas. Akan tetapi, pendapatnya berbeda dengan pendapat teman-teman sekelasnya. Apakah dengan begitu, dia boleh menjadi down, bersedih terus, atau malah merasa kesal dengan ketua kelas terpilih? Tentu saja tidak boleh.

Dia boleh merasa sedih karena ibarat pemanah yang melepaskan anak panah, anak panah si Kakak tidak mencapai sasaran yang dituju. Setelah itu dia harus bangkit dan mulai mengerjakan hal-hal yang harus dikuasai oleh seorang ketua kelas, yang orang lain lihat belum cukup ada pada dirinya. Dia harus memantaskan diri, bukan hanya untuk menjadi seorang ketua kelas, tetapi menjadi seorang individu yang bertanggung jawab dan bisa memimpin orang lain jika diperlukan.

Saya jadi ingat awal perjalanan saya untuk menjadi seorang penulis fiksi. Pada awalnya saya menulis karena saya memiliki bakat. Akan tetapi, di tengah perjalanan saya merasa harus memantaskan diri menjadi seorang penulis, supaya saya menghasilkan tulisan-tulisan yang berkualitas. Oleh karena itu, tanpa ragu saya mengikuti banyak sekali kelas, les, workshop, mencari ilmu supaya saya bisa menjadi seorang penulis yang pantas, yang menulis hal-hal yang berharga.

Hari ini saya bertanya lagi kepada si Kakak, apakah dia masih sedih karena tidak terpilih sebagai ketua kelas waktu itu. Dia hanya menggeleng dan berkata:
"No. But I still believe in myself and I want to work harder so I can do a better job."
Mama senang mendengarnya, Kak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun