Pendidikan formal adalah kerja sama yang tak henti antara orang tua, sekolah, dan pemerintah. Orang tua saya menginginkan sekolah yang akan mendukung pendidikan iman anak-anak di rumah, bukan pendidikan yang hanya berpusat pada kognitif dan melupakan aspek keimanan dan spiritual. Sebab, apa gunanya orang pintar kalau hatinya jahat? Apa gunanya orang cerdas kalau sehari-hari dia selalu ingin merusak orang lain?
Cara pandang yang benar terhadap Tuhan sebagai pencipta dan pemilik hidup, terhadap diri sendiri sebagai ciptaan-Nya yang berharga, terhadap orang lain yang diciptakan untuk kita kasihi sebagai sesama manusia, itulah cara pandang yang orang tua saya harap kami dapatkan setelah lulus dari sekolah yang mendidik kami. Dan mereka bekerja keras untuk mencari sekolah yang terbaik yang bisa memberikan pendidikan akan ketiga hal itu, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab sebagai kitab suci kami.
2. Siapa yang mengajar
Ayah saya lulus sarjana dengan dua gelar, ibu saya adalah dosen. Bagi mereka, hal penting lainnya adalah siapa yang mengajar di sekolah itu. Bagaimana kualifikasi tenaga pengajar di sana? Apa pendidikan terakhirnya? Apakah sudah mengenyam pendidikan keguruan, khatam dengan ilmu pedagogi, ataukah lulus dari jurusan yang tidak nyambung sama sekali dengan mata pelajaran yang dia ajarkan di sekolah?
Pedagogi sebagai ilmu pengajaran, ilmu untuk menentukan strategi tepat untuk mengajar, bukanlah ilmu main-main. Saya rasa di masa pandemi dengan anak-anak Belajar dari Rumah (BDR), banyak orang tua yang merasa frustrasi mengajari anak-anak mereka karena mereka tidak menguasai ilmu ini.Â
Menjadi guru pun perlu belajar, lho, ini bukan hanya soal passion dan insting untuk membagikan ilmu. Guru sebagai profesi yang memiliki tanggung jawab besar kepada masyarakat, adalah profesi yang paling harus diperlengkapi dengan berbagai macam ilmu, selain ilmu pengetahuan yang dia ajarkan kepada murid-muridnya di sekolah.
Dari tangan gurulah manusia-manusia yang bermanfaat bagi orang lain, yang membangun komunitasnya, yang berkontribusi kepada kemanusiaan/pengetahuan/ekonomi/dan sebagainya, terlahir.
Oleh karena itu, sebelum menyerahkan anak kepada sekolah, anak yang akan dididik oleh guru-guru sebagai tenaga pengajarnya, pastikan dulu mereka memiliki kompetensi yang cukup. Cara memastikannya cukup mudah. Kalau anak kita masuk SMA, kita tidak mengharapkan guru yang hanya lulus dari Sekolah Keguruan, kita mengharapkan guru yang lebih berilmu, lebih berwawasan, lebih tinggi jenjang pendidikannya dari anak kita yaitu Sarjana Strata 1.
Di sekolah anak saya, kebanyakan gurunya memiliki pendidikan S2. Jadi mereka menempuh pendidikan S1 di suatu bidang keilmuan, lalu melanjutkan ke S2 di bidang keguruan. Saya melihat mereka lebih lengkap, cara mengajarnya lebih holistik, dan banyak poin positif lain yang jauh lebih baik dari jaman saya mengenyam pendidikan dasar dulu.
Hal yang paling terlihat sih soal pengendalian emosi, hubungan yang etis antara guru/sekolah dengan orang tua (terutama soal pemberian hadiah yang dapat memengaruhi nilai anak), dan kemampuan mengajar dengan melibatkan banyak sumber pengetahuan.Â
Jadi, setelah sreg dengan apa yang diajar, selanjutnya cek siapa yang mengajar. Itu adalah jalur yang orang tua saya ikuti dan berhasil untuk anak-anak mereka. Ada hal ketiga yang juga perlu diperhatikan, tapi minor perannya. Apa itu?