Misalnya pada sebuah alur diceritakan seseorang pergi ke suatu tempat dengan sepeda. Kemudian diceritakan bahwa orang itu pulang dari tempat itu dengan menggunakan angkot. Apa yang hilang di sini? Apa yang terjadi dengan sepedanya sehingga tokoh itu pulang dengan alat transportasi lain? Mbak Halida menanyakan pendapat saya tentang missing link ini; apakah selama menulis alur, apalagi novel, perlu ada pencatatan?
Saya jawab, ya. Ketika menciptakan karakter, tokoh utama maupun sampingan, hal pertama yang perlu dicatat adalah usia. Hal ini penting karena usia akan menentukan cara berbicara, wawasan, dan persepsi yang mereka miliki terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekitar mereka.
Saya ambil sebuah contoh. Misalnya tokoh utama di dalam cerita kita adalah seorang anak berusia empat tahun. Jika kita tidak mencatat usianya dan "melupakan" fakta tersebut saat sedang asyik menulis alur cerita, maka ada kemungkinan kita membuat dia mengucapkan kata-kata yang sulit seperti "persepsi", "kolaborasi", dan kata lain sejenisnya. Sebuah hal yang sulit diterima nalar, bukan?
Menentukan usia sebuah tokoh adalah tonggak sebelum mencatat hal berikutnya.
Rentang waktu atau garis perjalanan waktu. Jika misalnya diceritakan tokoh-tokoh utamanya bertemu, lalu berpisah, lalu bertemu kembali sekian tahun kemudian, semua tahun yang dijadikan setting tempat dan waktu harus dicatat dengan baik. Jangan sampai , misalnya, cerita terjadi pada tahun 1980-an dan penulis khilaf menyebutkan perjumpaan kembali tokoh-tokoh ini terjadi sepuluh tahun kemudian pada tahun 2020.
Hal ketiga yang perlu dicatat jika misalnya cerita melibatkan hubungan keluarga atau relasi yang sangat personal di antara tokoh-tokohnya adalah pembuatan pohon keluarga atau diagram kekerabatan.
Misalnya cerita berkutat di seputar kehidupan tiga generasi dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Generasi ketiga pada kedua keluarga itu saling jatuh cinta walau ditentang oleh semua orang (tipikal sekali ya?). Supaya tidak belibet dan salah menyebutkan nama tokoh dan jenis hubungan keluarganya di tengah-tengah buku, penulis lebih cepat lebih baik menggambar pohon keluarga dari tokoh-tokoh yang dia ciptakan tersebut.
Hal keempat dan terakhir yang perlu dicatat selama menulis alur supaya missing link itu tidak terjadi adalah semua hal yang berhubungan dengan profesi dari karakter yang kita ciptakan. Mengapa ini penting? Supaya profesi yang kita pilih menjadi kesatuan dari kepribadian karakter itu, bukan sekedar tempelan untuk mengatakan karakter ini seorang pekerja dan bukan pengangguran.
Misalnya, tokoh utama kita adalah seorang dokter yang bekerja di bagian Instalasi Gawat Darurat. Suatu hari seorang pasien dengan cardiac arrest datang. Sebagai penulis, kita perlu mencari tahu semua hal penting, meriset dengan menyeluruh prosedur apa yang harus diikuti dan peralatan apa yang digunakan oleh seorang dokter yang bertugas di IGD. Jangan sampai kita menulis, misalnya, dokter menggunakan ventilator, alih-alih defibrillator, untuk mengejutkan jantung pasien itu. Nanti kita ditertawakan oleh pembaca kita, apalagi mereka yang berprofesi sebagai dokter ....
Sebagai penutup, saya mengatakan perlunya sesekali membagikan karya fiksi yang kita tulis di media sosial. Bagikanlah untuk kurun waktu tertentu saja, jangan lama-lama supaya idenya tidak dicuri orang lain. Kalau memungkinkan, tetapkan password khusus untuk pembaca yang kita targetkan, misalnya teman-teman di komunitas penulis, supaya bisa membukanya dan syukur-syukur memberikan kritik dan saran.
Untuk buku pertama saya, "Randomness Inside My Head", hanya empat atau lima dari total dua belas cerita yang saya pernah pajang di media sosial. Begitu cerpen-cerpen itu dikumpulkan ke dalam sebuah buku, semua cerpen yang ada di Facebook saya hapus.