Tugas-tugas dari guru-guru pelajaran-pelajaran khusus itu menjadi sangat menumpuk. Saya dan suami kembali mengajukan keberatan; sekolah adalah pihak yang paling akuntabel untuk memastikan semua mata pelajaran diajarkan.
Pada transisi ketiga durasi belajar selama 1.5 jam ditambah sebanyak 30-60 menit per hari untuk pelajaran-pelajaran khusus. Saya dan suami tetap belum puas.Â
Anak-anak SMP dan SMA bisa diajari dengan memadai selama 8 jam sehari walaupun secara online, mengapa anak-anak kami di jenjang SD tidak bisa? Kami terus berupaya supaya stakeholder sekolah/guru menunaikan kewajibannya mengajar, seperti halnya kami orang tua menunaikan kewajiban kami membayar SPP.
Tahun ajaran baru yang dimulai pada bulan Juli lalu telah menunjukkan titik terang. Kedua anak kami mendapat durasi pengajaran yang mendekati durasi KBM di sekolah. Sistem Microsoft Teams yang sudah ada sangat dipakai untuk memberi tugas dan penilaian. Anak-anak hanya perlu bantuan kami memfoto/memvideo tugas mereka dan mengunggahnya ke drive yang ditunjuk.
Beban kami sekarang sudah sangat berkurang dibandingkan pada awal PJJ dan kami bisa kembali berfokus pada pekerjaan. Kami sebagai orang tua dan sekolah/guru anak-anak sudah berperan maksimal sebagai stakeholder.Â
Bagaimana dengan stakeholder pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)? Ah sudahlah, saya tidak mau berkomentar apa-apa tentang mereka. Pemimpinnya boleh jadi milienial, tapi yang dipimpin adalah sekumpulan fosil, jadi terobosan apa yang bisa diharapkan?
Sebagai kesimpulan, saya harap tulisan ini bisa meluruskan anggapan PJJ telah memakan korban. Yang menjadi masalah adalah kesehatan mental dan resiliensi orang tua. Anak malang itu adalah korban pengabaian kesehatan mental dan kurangnya resiliensi orang tua.Â
PJJ adalah sebuah keniscayaan, sebuah aspek kenormalan baru yang harus diterima dan dijalani dengan tabah oleh semua stakeholder terkait. Tak ada jalan lain.
Pesan saya untuk sesama orang tua: mengajari anak materi sekolah adalah tugas dan tanggung jawab sekolah/guru. Jangan dibolak-balik, jangan memaksakan diri menjadi murid dan guru dadakan. Setiap stakeholder sudah memiliki perannya masing-masing. Sebagai salah satu stakeholder, kita berhak mengingatkan stakeholder lain untuk memenuhi kewajibannya.
Sebagai gambaran, bahkan ketika durasi belajar online anak-anak saya hanya 1 jam dalam sehari, saya menyuruh mereka untuk menelepon sendiri guru-guru mereka jika ada hal-hal yang mereka tidak mengerti.Â
Teman saya sempat berkomentar, "Enak banget, Jo, kayak punya guru privat."Â