Definisi kesuksesan berbeda-beda bagi setiap orang. Ada orang yang berpikir bahwa dia sukses karena dia sudah menempuh pendidikan sampai jenjang tertentu, sudah bekerja dengan gaji sekian, sudah berumah tangga dengan anak, dan sebagainya. Daftar ini panjang sekali kalau saya lanjutkan.Definisi kesuksesan memiliki 3 tolak ukur:
1. Waktu
Dulu tinggal di rumah kontrakan, sekarang sudah mampu mencicil rumah sendiri. Dulu ke mana-mana naik angkutan kota, sekarang bisa mudik ke kampung halaman membawa mobil atas nama pribadi.
Waktu menjadi faktor pembanding untuk mendefinisikan kesuksesan; apa yang terjadi/dimiliki dulu dibandingkan dengan apa yang terjadi/dimiliki sekarang.
Ketidaksuksesan juga didefinisikan memakai tolak ukur ini. Dulu punya lima perusahaan, sekarang terlilit utang. Dulu mobilnya ada dua buah, sekarang cuma punya satu motor. Mudah bagi orang lain untuk mencap penurunan status seseorang dari sukses menjadi tidak lagi sukses seiring dengan berjalannya waktu.
2. Orang lain
Mustahil bagi manusia sebagai makhluk sosial untuk tidak membandingkan dirinya dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial dia membutuhkan konfirmasi apakah dia sudah sejalan dengan standar yang ditetapkan oleh kelompok tempat dia tergabung.
Dia akan mendefinisikan kesuksesan mirip atau sama persis dengan definisi anggota lain di dalam kelompok itu. Jika seseorang yang berpendidikan S1 tergabung di dalam komunitas yang semua anggotanya berpendidikan S3, dia akan otomatis melihat dirinya tidak sukses karena tidak memiliki pendidikan setinggi rekan-rekannya.
Kesenjangan kesuksesan itu muncul karena ada perbandingan antar individu. Kita membandingkan diri kita dengan orang lain, mengidamkan kesuksesan yang terwujud dalam diri orang itu. Kita sering kali lupa bahwa semua orang berubah. Standar yang kita kejar hari ini bisa jadi tidak berharga besok.
Apakah membandingkan diri sendiri dengan orang lain itu tepat? Apakah tidak melelahkan mendefinisikan kesuksesan sebagai pencapaian sebuah standar yang pada dasarnya akan selalu berubah? Apalagi kita semua tahu bahwa "di atas langit masih ada langit".
3. Keberadaan materi
Benang merah dari dua tolak ukur yang saya sebutkan di atas adalah tuntutan akan keberadaan materi. Kesuksesan seseorang secara kasat mata diukur dari seberapa banyak materi yang dia miliki.Â
Punya lima rumah dianggap lebih sukses dibandingkan punya satu rumah. Bisa berwisata ke luar negeri dianggap lebih sukses dibandingkan berjalan-jalan di taman kota setempat.
Bahkan pendidikan yang orang kira bersifat non materi sebenarnya adalah soal materi. Ada uang, tenaga, dan waktu yang dihabiskan untuk belajar bertahun-tahun, untuk mencapai sebuah gelar, dan untuk memproduksi sebuah ijazah.Â
Membandingkan jenjang pendidikan yang dicapai sebenarnya sama saja dengan membandingkan jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki. Seperti pendidikan, karir juga adalah materi yang dibandingkan untuk mendefinisikan kesuksesan.Â
Karir seorang masinis kereta api tentu dipandang tidak sesukses karir pendiri Facebook. Efek langsung dari karir adalah keberadaan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup dan mencapai standar kesejahteraan tertentu. Karir yang dipandang sukses adalah karir yang bisa membuat seseorang membawa pulang banyak uang.
Menilik 3 tolak ukur di atas, adakah kesuksesan yang didefinisikan tanpa mengaitkannya dengan materi, sebagai contoh kesuksesan dalam aspek spiritual atau emosional?Â
Pernahkah kamu mendengar seseorang dicap sukses karena dirinya berubah? Dulu dia gampang sekali mengamuk, sekarang dia bisa mengontrol amarah. Dulu dia mudah sekali menghakimi orang lain, sekarang dia mencoba berempati.
Pernahkah kamu mendengar hal seperti itu disebut sebagai kesuksesan? Kok saya tidak pernah ya? Semua kesuksesan yang dipikirkan dan diucapkan orang pasti berhubungan dengan keberadaan materi, antara dulu dan sekarang dan antara orang demi orang.
Definisi kesuksesan juga diturunkan antar generasi, bahkan membatu menjadi pola pikir dalam sebuah masyarakat. Pada zaman Orde Baru, seseorang dianggap sukses jika berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Tidak peduli apa jabatan, pangkat, dan tanggung jawabnya, seorang pegawai negeri akan dianggap sukses dalam hidup.
Maklum saja, pada zaman itu pekerjaan pegawai negeri diasosiasikan dengan kepastian penghasilan, terjaminnya biaya untuk memelihara kesehatan, sampai kepada keberadaan dana pada masa pensiun.Â
Selain itu, pekerjaan pegawai negeri juga dipandang tidak seberat dan jadwalnya tidak seketat pekerjaan pegawai swasta. Tak heran pada waktu itu orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi pegawai negeri, bahkan rela menyogok demi mendapatkan posisi.
Zaman berubah dan pada suatu masa orang yang disebut sukses adalah orang yang berwiraswasta. Orang sukses adalah orang yang sudah memiliki usaha sendiri dan menjadi bos, bukan lagi orang yang menjadi karyawan dan bekerja pada orang lain. Katanya sih begitu.Â
Saat itu orang berlomba-lomba untuk memulai bisnis. Bisnis-bisnis baru tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, namun tidak ada yang tahu keberlangsungannya dalam jangka panjang.
Sebenarnya, mengapa kita peduli sekali dengan bagaimana kita mendefinisikan kesuksesan? Jika alasannya adalah karena kita mengkhawatirkan apa kata orang, maka kita salah kaprah.
Tidak ada orang yang sehari-hari hanya memikirkan dan membicarakan orang lain; semua orang sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada yang menggosipkan dirimu dan menilai kamu sudah sukses atau tidak.
Ketika kamu sukses kamu akan dipuji, tapi itu hanya sesaat. Ketika kamu tidak sukses kamu akan digunjingkan, tapi itu semua akan berlalu.Â
Waktu berputar, musim berganti, dan bahan gosip akan terus diperbaharui. Kamu dan kesuksesan (atau ketidaksuksesanmu) tidak cukup penting untuk dibicarakan orang selama berhari-hari.
Mengubah kerangka pikir itu sudah cukup untuk mengubah definisi kita akan kesuksesan. Melihat kesuksesan sebagai sebuah perjalanan personal yang tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain sudah cukup untuk menghindarkan kita dari membandingkan diri dan ujung-ujungnya merasa terintimidasi.
Izinkan saya berbagi pengalaman pribadi....
Sedari kecil orangtua saya sudah memiliki prinsip, "Apa yang baik bagi orang lain belum tentu baik bagi saya." Mereka tidak mengucapkannya persis seperti itu; kalimat di atas adalah hasil penafsiran saya sendiri. Kalimat yang saya sering dengar keluar dari mulut mereka adalah kalimat pujian kepada orang lain "Good for them" atau "Good for you".
Sebagai orang Batak yang merantau di Tanah Priangan, orangtua saya tergabung di dalam banyak arisan keluarga berdasarkan marga mereka.Â
Dari pihak bapak, kami mengikuti dua arisan berdasarkan marga kedua orangtua bapak. Dari pihak mama kami juga mengikuti dua arisan berdasarkan marga kedua orangtua mama. Jadi total ada empat arisan yang keluarga saya ikuti, sehingga tidak ada akhir pekan dalam sebulan yang terlewatkan tanpa arisan.
Tujuan utama arisan semarga tentu saja untuk menjaga ikatan kekerabatan. Arisan juga berguna sebagai media pertukaran kabar sesama perantau yang mempunyai kampung halaman yang sama di Pulau Sumatera sana.Â
Orang-orang di dalam arisan menjadi keluarga kami di tanah perantauan, walaupun kami tidak memiliki hubungan darah langsung. Kami saling menjaga dan memelihara dalam semua urusan kehidupan, mulai dari kelahiran, pembaptisan anak, pernikahan, sampai kematian.
Apa saja sih yang dikerjakan di dalam arisan?
Itu yang menjadi pertanyaan saya kepada kedua orangtua ketika saya beranjak remaja dan mulai enggan mengikuti arisan keluarga.Â
Saya lebih memilih tinggal di rumah untuk membaca buku atau mendengarkan musik. Anak-anak sebaya saya satu per satu tidak muncul lagi di arisan. Akan tetapi bapak dan mama mengharuskan saya dan adik-adik tetap ikut supaya kami selalu mengenal dan dikenal oleh keluarga besar kami.
Di dalam arisan kami makan bersama, mengobrol, sebelum mengundi siapa yang mendapatkan uang arisan pada bulan itu. Pertanyaan selanjutnya dari saya adalah "Apa saja sih yang diobrolkan?".Â
Saya sungguh penasaran apa yang diobrolkan oleh orang-orang yang hanya bertemu sebulan sekali dan tidak punya kesamaan tempat tinggal atau pekerjaan. Kami hanya terikat oleh marga yang sama.
Bapak bilang, mereka mengobrolkan cuaca, pemerintah, politik, dan pekerjaan. Kata mama, mereka mengobrolkan pendidikan dan kesehatan anak, dan kadang pekerjaan.Â
Di dalam banyak percakapan akan ada kecenderungan banyak omong kosong. Oleh karena itu mereka memegang satu prinsip, mereka pantang membicarakan prestasi anak dan harta, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.
Setiap kali ditanya saya dan adik-adik saya bersekolah di mana, bapak dan mama akan menjawab. Akan tetapi kalau pertanyaan lanjutannya adalah ranking berapa dan sejenisnya, bapak dan mama tidak akan buka mulut. Bukan karena anak-anak mereka tidak berprestasi, tapi karena bapak dan mama menghindarkan diri dari kegundahan hati yang tidak perlu pada diri sendiri dan diri orang lain.
Misalnya saya ranking satu dan dari mengobrol sana-sini kedua orangtua saya tahu bahwa anak orang lain tidak ranking. Mereka tidak mengumbar prestasi anak-anaknya supaya mereka terhindar dari merasa sombong. Yang belajar keras saya, yang ranking satu saya, buat apa orangtua saya berbangga hati atas pencapaian saya. Kalau mereka mau bangga, mereka akan bangga atas prestasi mereka sendiri di tempat kerja, bukan karena prestasi anak-anak mereka.
Misalnya lagi saya tidak ranking satu dan dari obrolan yang lain kedua orangtua saya mendapati anak lain lebih pintar dari saya. Mereka akan cepat-cepat keluar dari pembicaraan itu untuk menjaga kedamaian hati mereka. Mereka tidak ingin prestasi anak orang lain membuat mereka menjadi: 1) iri hati, dan 2) membandingkan anak-anak mereka dengan anak-anak orang lain.
Manusia mana yang suka dibandingkan? Tidak ada, bukan? Sebagai manusia, bapak dan mama tidak suka dibandingkan, bahkan dengan saudara-saudara kandung mereka sendiri. Mereka juga berusaha keras tidak membandingkan antara saya dan adik-adik saya, apalagi membandingkan kami dengan anak-anak orang lain.
Selama saya bersekolah saya tidak pernah mendengar bapak atau mama berkata, "Lihat tuh si A ranking satu terus" atau "Lihat tuh si B juara Cerdas Cermat sekota Bandung".Â
Setiap kali mendengar prestasi anak lain mereka hanya akan memuji balik, "Selamat. Saya ikut senang. Good for them. Good for you". "But not for us," itu adalah kelanjutan kalimatnya yang hanya diucapkan pada diri mereka sendiri.
Baju orang lain tidak bisa dikenakan pas oleh kamu karena ukuran tubuh setiap orang berbeda. Bagaimana mungkin kamu menjadikan kesuksesan orang lain sebagai standar kesuksesanmu, padahal kalian adalah pelari-pelari yang tidak berlari pada lintasan yang sama?
Lintasan hidup itu unik bagi setiap orang, demikian pula semua pencapaian dan kesulitan di dalamnya. Pertandinganmu adalah pada lintasanmu, berlomba dengan dirimu sendiri dan bukan dengan diri orang lain. Perjuanganmu adalah menjadi versi terbaik dari dirimu, apapun itu. Bukan menjadi sukses, kaya, terkenal, atau sebagainya menurut standar orang di luar kamu.
Itu adalah nilai-nilai yang mereka pegang. Kesuksesan orang lain bisa diintip sejenak untuk dijadikan motivasi, tapi tidak dijadikan standar yang harus diraih. Prinsip mereka yang lain adalah "Semua orang makan nasi, kalau orang lain bisa, kamu juga bisa".Â
Kalau orang lain bisa mendapat nilai 100, dengan bekerja keras saya juga bisa. Yang pertama dan yang terutama adalah mengupayakan yang terbaik dari diri sendiri.
Ketika masih bersekolah, saya selalu berusaha berprestasi karena saya bersyukur kepada Tuhan dan orangtua yang sudah memberikan kesempatan mendapatkan pendidikan.Â
Ketika menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, saya selalu berusaha mengurus keluarga dan rumah dengan sebaik-baiknya. Ketika menjadi penulis paruh waktu, saya selalu berusaha menulis yang terbaik dari pemikiran dan perenungan saya.
Sungguh saya tidak pernah ambil pusing dengan prestasi dan pencapaian orang lain. Saya tidak ambil pusing dengan orang-orang di sekitar saya yang sudah jadi manajer ini, buka usaha itu, pergi ke negara ini, tinggal di negara itu. Fokus saya selalu hanya pada tugas, tanggung jawab, dan talenta saya.
Seperti yang saya sudah sebutkan di atas, selain tentang prestasi anak bapak dan mama juga pantang membicarakan tentang harta. Bukan urusan mereka jika orang lain memiliki rumah berapa tingkat, berapa banyak rumah, berapa hektar kebun kelapa sawit, berapa mobil, berapa motor, dan lain sebagainya. Bukan urusan orang lain jika kedua orangtua saya memiliki harta ini dan itu.
Bapak dan mama adalah orang-orang yang selalu bersyukur dan tahu mencukupkan diri. Jika ada materi yang harus dimiliki, seperti merenovasi rumah atau memiliki mobil, maka itu semata-mata karena ada evaluasi akan kebutuhan keluarga. Mereka melihat urusan pengelolaan keuangan dan aset dalam rumah tangga sebagai urusan personal yang tidak perlu diketahui oleh orang luar selain keluarga inti.
Jadi kedua orangtua saya tidak pernah merasa iri melihat orang lain, entah saudara atau tetangga, yang punya rumah yang bagaimana, mobil jenis apa, bisa berlibur ke mana, dan lain sebagainya.Â
Bagaimanapun orang menilai hal-hal itu sebagai kesuksesan, itu semua baik bagi mereka yang mengalaminya, tapi belum tentu baik bagi keluarga kami pada saat itu.Â
Keluarga kami mempunyai pergumulan dan pertimbangan sendiri; sungguh tidak tepat merasa sukses karena bisa memiliki/mengalami yang dimiliki/dialami oleh orang lain.
Sebagai penutup, apa definisi kesuksesan bagi Anda? Bagi saya kesuksesan adalah menjadi versi terbaik dari diri saya sendiri, tanpa melihat standar orang lain. Seperti yang diajarkan oleh kedua orangtua saya, itulah yang akan saya ajarkan kepada anak-anak saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H