Adakah usaha Kementerian Pendidikan mempromosikan kanal untuk siswa belajar memasak, menulis kreatif, berkebun, melukis, dan keterampilan lain di luar tuntutan kurikulum? Sejauh yang saya tahu, tidak ada. Kemerdekaan belajar tanpa arahan dari mereka yang diberi mandat untuk mengasuh pendidikan di Indonesia tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi siswa. Yang tertinggal hanya slogan kosong.
Meskipun saya enggan ikut dalam hiruk-pikuk politik dan isu reshuffle, saya sangat berharap Kementerian Pendidikan dipimpin oleh seseorang yang memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam bidang pendidikan dan pengajaran.Â
Seseorang yang dikira bisa berpikir out of the box tidak cukup untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan akibat pandemi. Apalagi seseorang yang tengah sibuk mempromosikan apa kata orang tentang dirinya di akun media sosialnya.
Kembali ke komplain dari wali murid yang saya ceritakan di atas.
Detail komplain tidak usah saya ceritakan di sini karena inti komplain adalah adanya ketidakpuasan. Bagaimanapun PJJ dieksekusi, pasti ada yang merasa tidak puas, kebutuhannya tidak terakomodir, suaranya tidak didengar, dan sejuta tidak lainnya. Yang saya ingin soroti di sini adalah media yang dipakai oleh wali murid tersebut untuk berkeluh kesah.
Grup Whatsapp yang dipergunakan oleh wali murid tersebut adalah sebuah media yang menurut perenungan saya bersifat dua dimensi. Ia tidak mencakup dimensi ketiga yaitu mimik wajah, intonasi suara, gerak-gerik tubuh yang biasanya direpresentasikan dengan jelas ketika kita berhadap-hadapan dengan seseorang untuk saling berbicara.
Apa saja dua dimensi yang saya sebutkan di atas? Dimensi pertama adalah maksud si penulis pesan. Waktu seseorang mengirimkan pesan lewat Whatsapp, pesan itu diharapkan menggambarkan secara utuh maksud, isi hati, isi pikiran, dan tujuan dari si penulis. Oleh karena itu penulis memilah kata seteliti mungkin, menggunakan tanda baca supaya orang yang membaca pesan itu tidak salah mengerti.
Sebagai contoh, kalimat:
"Saya makan Nenek."
dan
"Saya makan, Nenek."
Tentu memiliki makna berbeda dan akan diterima secara berbeda pula oleh mereka yang membacanya.
Di sini kita masuk ke dimensi kedua, yaitu penerimaan dari si pembaca pesan. Waktu seseorang menerima pesan lewat Whatsapp dan membacanya, reaksi dia terhadap pesan itu bergantung hanya pada dua hal:
1. Relasi dengan pengirim pesan.
2. Suasana hati ketika membaca pesan.
Kalau si penerima pesan sudah tidak menyukai si pengirim pesan, semanis apapun isi pesannya pasti ditanggapi dengan pahit. Sebagai contoh, pertanyaan "Apakah sudah mencoba restoran Padang terbaru?" dari seseorang yang suka pamer akan ditanggapi dengan sinis oleh si penerima pesan.
Kalau suasana hati sedang tidak baik ketika membaca pesan, kalimat senetral dan sesopan apapun akan dianggap menyerang. Contoh, seseorang yang baru saja kehilangan motor menerima pesan ajakan untuk minum kopi bersama. Bukannya menerima ajakan, dia mungkin malah marah-marah karena merasa si pengirim pesan tidak empati pada kondisinya yang sedang mengalami kemalangan.
Bayangkan jika pesan Whatsapp yang bersifat dua dimensi dengan segala keterbatasannya dan berisi protes diterima oleh puluhan wali murid di dalam satu grup Whatsapp. Tidak sampai di situ, pesan itu kemudian diulangi di grup-grup lain dengan anggota yang sama karena mereka semua adalah wali murid dari siswa-siswa yang satu kelas.