Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jangan Terbiasa Mengkritik Guru Lewat "Group Chat"

24 Juli 2020   08:57 Diperbarui: 27 Juli 2020   19:32 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi murid dan guru (TOTO SIHONO) via Kompas.com

Beberapa hari lalu teman saya mengirimkan tangkapan layar seorang wali murid yang mengkritik guru melalui grup Whatsapp. Beliau tidak hanya mengkritik satu orang guru, tapi semua guru yang mengajar anaknya. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di sekolah anak teman saya itu memberlakukan satu grup Whatsapp untuk setiap mata pelajaran.

Jadi kebayang ya totalnya ada berapa grup Whatsapp yang harus dipantengin setiap hari? Lebih dari jumlah jari tangan pastinya. Dan ada berapa grup yang menerima pesan komplain tersebut? Sebanyak jumlah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memang merupakan tantangan tersendiri bagi semua yang terlibat di dalam dunia pendidikan, entah itu sekolah, siswa, dan orang tua. Kita menghadapi situasi luar biasa yang membuat kita bereksperimen mencari cara belajar, mengajar, dan penilaian yang paling baik untuk semua pihak yang terlibat.

Sumber ilustrasi: shutterstock.com
Sumber ilustrasi: shutterstock.com

Tidak ada cara yang mutlak benar dan salah yang bisa diterapkan oleh semua pihak tanpa terkecuali selama pandemi ini. Yang ada hanya cara yang dinilai sesuai atau tidak sesuai, yang fleksibel dan situasional, untuk diterapkan di satu sekolah, satu wilayah, atau satu negara berdasarkan kondisi yang berkembang.

PSBB mendadak yang diputuskan pada bulan Maret lalu membuat kita semua panik. Walaupun teknologi komunikasi sudah tersedia sejak lama, namun pelaku dunia pendidikan belum merangkul teknologi itu untuk mendukung proses pembelajaran. Apalagi untuk tergantung sepenuhnya padanya karena tidak ada kemungkinan tatap muka langsung antara guru dan murid.

Kita semua bernavigasi. Setiap sekolah, baik negeri maupun swasta, berpikir, mencari solusi, dan memutuskan sistem berdasarkan banyak pertimbangan dan perbincangan. Di situasi pandemi seperti ini adalah wajar jika semua urun rembuk demi kebaikan para siswa.

Saya tidak menganggap Kementerian Pendidikan berperan besar di dalam urun rembuk itu walaupun mereka mengklaim diri sudah melakukan beberapa gebrakan besar. Mereka meniadakan Ujian Nasional (UN), mengijinkan sekolah untuk tidak usah menyelesaikan kurikulum, dan menggaungkan slogan "Merdeka Belajar" tanpa penjelasan dan arahan untuk langkah konkretnya.

Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Ini keputusan yang masuk akal karena pandemi mengharuskan kita untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun. Lagipula output yang diharapkan dari sebuah ujian tidak sebanding dengan resiko kesehatan yang harus ditanggung oleh semua orang yang terlibat.

Kurikulum tidak usah diselesaikan selama pandemi. Kalau pandemi bisa dipastikan selesai dalam beberapa bulan ke depan, ini keputusan yang wajar. Namun jika pandemi berlangsung lama, bertahun-tahun seperti kata beberapa ahli epidemiologi atau bahkan tidak pernah hilang dari muka bumi seperti kata ahli lainnya, maka kurikulum yang kompleks dan komprehensif yang kita punya apa mau dianggurkan begitu saja?

Kalau siswa terus belajar sesuai persyaratan minimal kurikulum, bayangkan bagaimana tertinggalnya bangsa kita pada akhir pandemi nanti (yang entah kapan). Saya pernah bertanya di akun Instagram @masmenteri tentang kurikulum ini, apakah akan diubah, diringkas, atau dirombak untuk mengantisipasi PJJ yang berlangsung lama akibat pandemi. Pertanyaan saya, seperti biasa, tidak dijawab.

Merdeka Belajar. Jika Kementerian Pendidikan mau mendorong siswa mempelajari hal-hal yang sesuai minatnya, maka hendaknya mereka menyediakan sarana untuk memfasilitasi hal itu. 

Adakah usaha Kementerian Pendidikan mempromosikan kanal untuk siswa belajar memasak, menulis kreatif, berkebun, melukis, dan keterampilan lain di luar tuntutan kurikulum? Sejauh yang saya tahu, tidak ada. Kemerdekaan belajar tanpa arahan dari mereka yang diberi mandat untuk mengasuh pendidikan di Indonesia tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi siswa. Yang tertinggal hanya slogan kosong.

Meskipun saya enggan ikut dalam hiruk-pikuk politik dan isu reshuffle, saya sangat berharap Kementerian Pendidikan dipimpin oleh seseorang yang memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam bidang pendidikan dan pengajaran. 

Seseorang yang dikira bisa berpikir out of the box tidak cukup untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan akibat pandemi. Apalagi seseorang yang tengah sibuk mempromosikan apa kata orang tentang dirinya di akun media sosialnya.

Kembali ke komplain dari wali murid yang saya ceritakan di atas.

Detail komplain tidak usah saya ceritakan di sini karena inti komplain adalah adanya ketidakpuasan. Bagaimanapun PJJ dieksekusi, pasti ada yang merasa tidak puas, kebutuhannya tidak terakomodir, suaranya tidak didengar, dan sejuta tidak lainnya. Yang saya ingin soroti di sini adalah media yang dipakai oleh wali murid tersebut untuk berkeluh kesah.

Grup Whatsapp yang dipergunakan oleh wali murid tersebut adalah sebuah media yang menurut perenungan saya bersifat dua dimensi. Ia tidak mencakup dimensi ketiga yaitu mimik wajah, intonasi suara, gerak-gerik tubuh yang biasanya direpresentasikan dengan jelas ketika kita berhadap-hadapan dengan seseorang untuk saling berbicara.

Apa saja dua dimensi yang saya sebutkan di atas? Dimensi pertama adalah maksud si penulis pesan. Waktu seseorang mengirimkan pesan lewat Whatsapp, pesan itu diharapkan menggambarkan secara utuh maksud, isi hati, isi pikiran, dan tujuan dari si penulis. Oleh karena itu penulis memilah kata seteliti mungkin, menggunakan tanda baca supaya orang yang membaca pesan itu tidak salah mengerti.

Sebagai contoh, kalimat:
"Saya makan Nenek."
dan
"Saya makan, Nenek."
Tentu memiliki makna berbeda dan akan diterima secara berbeda pula oleh mereka yang membacanya.

Di sini kita masuk ke dimensi kedua, yaitu penerimaan dari si pembaca pesan. Waktu seseorang menerima pesan lewat Whatsapp dan membacanya, reaksi dia terhadap pesan itu bergantung hanya pada dua hal:
1. Relasi dengan pengirim pesan.
2. Suasana hati ketika membaca pesan.
Kalau si penerima pesan sudah tidak menyukai si pengirim pesan, semanis apapun isi pesannya pasti ditanggapi dengan pahit. Sebagai contoh, pertanyaan "Apakah sudah mencoba restoran Padang terbaru?" dari seseorang yang suka pamer akan ditanggapi dengan sinis oleh si penerima pesan.

Kalau suasana hati sedang tidak baik ketika membaca pesan, kalimat senetral dan sesopan apapun akan dianggap menyerang. Contoh, seseorang yang baru saja kehilangan motor menerima pesan ajakan untuk minum kopi bersama. Bukannya menerima ajakan, dia mungkin malah marah-marah karena merasa si pengirim pesan tidak empati pada kondisinya yang sedang mengalami kemalangan.

Bayangkan jika pesan Whatsapp yang bersifat dua dimensi dengan segala keterbatasannya dan berisi protes diterima oleh puluhan wali murid di dalam satu grup Whatsapp. Tidak sampai di situ, pesan itu kemudian diulangi di grup-grup lain dengan anggota yang sama karena mereka semua adalah wali murid dari siswa-siswa yang satu kelas.

Saya meragukan para pembaca pesan tersebut akan simpati/empati dengan maksud si pengirim, sekalipun mereka mungkin memiliki pemikiran yang sama. Apalagi kalau pesannya bertaburan deretan tanda tanya, singkatan bahasa gaul, dan huruf besar yang tidak pada tempatnya. Pembaca pesan pasti kesal dan jadi malas mencoba mengerti atau menanggapi isi pesan tersebut.

Dalam pesan yang di-forward oleh teman saya, tersurat ketidakpuasan karena tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dianggap terlalu banyak, terlalu berat, dan membebani orang tua yang mendampingi anak belajar di rumah. Sekali lagi, tugas banyak/berat itu relatif.

Ada orang tua yang menganggap tugas-tugas selama PJJ lebih banyak tapi tidak lebih sulit daripada sebelum pandemi, dan mereka membiarkan anak-anaknya mengerjakan sendiri. Ada lagi orang tua yang merasa terbebani karena harus bekerja dari rumah sambil membantu anak mengerjakan tugas yang dulunya selalu dibantu oleh guru di sekolah. Semua relatif. Yang pasti, guru harus tetap mengajar.

Selama PJJ dadakan dari bulan Maret sampai tahun ajaran lalu berakhir tak terhitung berapa sekolah dari keluarga, teman, dan kenalan saya yang hanya memberikan tugas dan mengharapkan: 1) orang tua mengajari anak (orang tua harus mendadak menjadi murid dan guru sekaligus), atau 2) anak akan mengerti dengan sendirinya.

Di sekolah anak saya bahkan muncul istilah dumping (membuang) dan bukan dropping (memberikan) tugas, saking jengkelnya orang tua menerima email bertubi-tubi berisi tugas untuk anak, tanpa adanya jam mengajar guru yang memadai. Namun sedikit demi sedikit ada perbaikan karena selalu ada pihak yang memberi masukan.

Pada intinya kita memikirkan apa yang terbaik bukan untuk anak kita saja melainkan untuk semua siswa. Jam mengajar guru selama satu minggu pertama PJJ adalah nol, guru-guru hanya dumping tugas melalui email anak.

Dua minggu berikutnya PJJ menjadi satu jam sehari, itu pun masih banyak yang tidak puas. Banyak orang tua keberatan dengan pengalihan tugas mengajar dari guru ke orang tua dan tuntutan penyelesaian semua tugas, padahal orang tua yang tiba-tiba WFH, bekerja dari rumah, juga sedang kelabakan.

Sekolah meminta orang tua untuk mempersiapkan fasilitas PJJ berupa gawai dan internet, masakkan sekolah tidak melakukan bagian mereka mengajar materi sesuai kurikulum? Oleh karena itu jam PJJ kemudian ditambah lagi 1-1.5 jam per hari untuk pelajaran-pelajaran khusus yang tidak diajarkan oleh wali kelas. Pada tahun ajaran baru ini jam belajar meningkat menjadi 4.5 jam per hari, berkurang 2 jam dari jam pelajaran normal di sekolah.

Saya dan suami termasuk orang tua yang aktif urun rembuk dengan pihak sekolah mengenai PJJ ini. Kami tidak ingin pandemi menjadi alasan tidak tercapainya target pengetahuan dan keterampilan pada jenjang pendidikan yang ditempuh oleh kedua anak kami. Ada dua hal yang kami pelajari dari proses komunikasi dengan sekolah anak pada masa ketika semua orang cenderung merasa tertekan, khawatir, dan tidak bahagia.

1. Jangan "tembak" gurunya.
Ini serius. Ketika kita tidak setuju terhadap suatu bagian di dalam PJJ, jangan protes, marah, mengeluh pada wali kelas atau guru mata pelajaran, apalagi lewat grup Whatsapp. Hargailah dan jagalah kehormatan para guru yang kita percayai untuk mendidik anak kita. Yang harus disasar adalah kepala sekolah dan/atau koordinator kurikulum seperti di sekolah anak saya.

Mereka adalah think tank sebenarnya. Mereka adalah orang-orang yang menjabarkan kurikulum menjadi rencana pengajaran, pembelajaran, dan penilaian yang kemudian disampaikan kepada guru-guru untuk dijalankan. Mereka yang menetapkan dan melakukan revisi jika situasi meminta demikian. Kalau ada ketidaksetujuan, jalinlah komunikasi dengan kedua pihak ini untuk mendapatkan solusi yang tepat cara dan tepat sasaran.

Mengeluh pada guru mungkin disampaikan dan mungkin juga tidak disampaikan kepada kepala sekolah dan/atau kurikulum koordinator yang membawahi mereka. Sudah capek marah, emosi, ngedumel, eh maksud dan tujuan kita tidak sampai kepada para pembuat keputusan. Yang ada guru-guru yang jadi antipati pada kita. Kalau sudah begitu, siapa yang rugi?

2. Sebisa mungkin, hindari komunikasi secara tulisan.
Sekolah anak saya tidak mengijinkan guru-guru untuk berbagi nomor telepon pribadi dengan wali murid. Semua informasi terkait sekolah disampaikan melalui Whatsapp dan email oleh seorang admin sekolah. Semua informasi terkait kegiatan belajar mengajar disampaikan oleh guru melalui email siswa. Ada grup Whatsapp per jenjang pendidikan yang biasanya dibentuk atas inisiatif orang tua untuk memudahkan pertukaran informasi.

Waktu saya dan suami memulai urun rembuk dengan sekolah mengenai PJJ, saya menyadari bahwa kami menghabiskan banyak sekali waktu untuk menulis dan berbalasan email. Kami memikirkan setiap kata, setiap kalimat, dan komposisi paragraf supaya maksud kami ditangkap tanpa ada salah paham, dan tetap saja kesalahpahaman itu terjadi.

Kami sudah melalui masa-masa ketika kami menjadi antipati terhadap pihak sekolah dan pihak sekolah menjadi antipati terhadap kami. Apa pasal? Pemakaian media tulisan yang dua dimensi untuk berkomunikasi. Maksud dan tujuan kami tidak tersampaikan dengan jelas dan kami berputar-putar di retorika tanpa menghasilkan solusi yang konkret untuk PJJ yang dijalani oleh kedua anak kami.

Jika memungkinkan, mintalah waktu untuk bertemu langsung atau secara virtual dengan pihak sekolah. Bukan dengan guru wali kelas atau mata pelajaran, tapi dengan kepala sekolah dan/atau koordinator kurikulum (jika ada) sebagai pimpinan tertinggi di sekolah tersebut. Dengan demikian kita dapat menangkap dimensi ketiga (mimik wajah, intonasi suara, gerak-gerik tubuh) dalam perbincangan penting yang menyangkut pendidikan anak-anak kita.

Kami juga melakukan ketiga hal berikut ini. Yang pertama, membuat notulen rapat untuk mencatat satu per satu isu seputar PJJ yang hendak dibicarakan dan dicari solusinya. Yang kedua, memutuskan mana yang menjadi tanggung jawab sekolah dan mana yang menjadi tanggung jawab orang tua, dan menentukan tenggat waktu untuk menerapkan perubahan. Yang ketiga, berbagi tantangan, kesulitan, dan hambatan yang dihadapi oleh orang tua dan sekolah.

Sering kali kita merasa sebagai pihak yang paling susah, menderita, dirugikan karena kita tidak memiliki informasi yang utuh akan kondisi orang lain. Jangan sungkan untuk menjalin komunikasi dengan sekolah demi kepentingan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) anak-anak kita. Tahan diri mengeluh lewat grup Whatsapp yang diisi oleh berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang dan tujuan.

Jika maksud kita melakukan hal itu untuk menggalang massa supaya sependapat dengan kita, maka saya sarankan kita menilik kembali apa yang kita tuju dengan komplain tersebut. Apakah murni untuk kebaikan dan kepentingan anak? Apakah supaya kita sebagai wali murid tidak tambah repot karena PJJ dilangsungkan di rumah di bawah pengawasan kita? Atau apa?

Batasi diri berkomentar di luar topik saat bersosialisasi di dalam grup Whatsapp yang dibentuk untuk kepentingan kegiatan belajar mengajar. Sampaikan keberatan kepada pihak sekolah melalui jalur pesan pribadi untuk mempersempit topik pembahasan dan mencegah kesalahpahaman dari pembaca lain. Hindari menyulut api (emosi) yang tak perlu dari orang lain.
Saya harap tulisan saya kali ini bisa berguna untuk Anda, selaku perwakilan sekolah ataupun orangtua.
Baca juga: Tips Menggunakan Grup Whatsapp untuk Ibu-Ibu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun