Pembaca budiman, kapan Anda pertama kali mendengar kata "taekwondo"? Saya pertama kali mendengarnya pada tahun 2003 ketika saya berkenalan dengan tiga orang Korea Selatan di kampus Tokyo Tech yang mengundang kami untuk mengikuti Young Scientist Exchange Program (YSEP).Â
Mereka bernama Yu Yu Jin, Han Ah Ram, dan Lee Jee Hoon yang berasal dari kota Daegu dan Seoul. Pada usia 21 tahun mereka semua adalah pemegang sabuk hitam (Dan) dalam olahraga taekwondo.
Pada acara perkenalan kebudayaan sebelas negara asal dari dua puluh satu orang peserta program penelitian, ketiga orang ini mendemonstrasikan Koryo, serangkaian jurus dasar yang harus dikuasai oleh para pemegang sabuk hitam mulai dari Dan 1 sampai dengan Dan 9 (tingkat yang paling tinggi pada taekwondo).Â
Jurus-jurus yang mereka peragakan terlihat sangat indah, kompak, hampir seperti menari karena ada acuan delapan arah mata angin dan jumlah langkah untuk setiap tahapan.
Tiga belas tahun kemudian anak saya yang sulung tertarik untuk mengikuti les taekwondo di sebuah dojang (sasana untuk berlatih) yang dikelola oleh orang Korea. Setelah anak saya mendaftar, saya ditawari untuk mengikuti juga kelas untuk ibu-ibu pada pagi hari tiga kali dalam seminggu.
Saya pikir ini kesempatan yang baik untuk berolahraga sambil menunggu anak pulang sekolah. Kelasnya hanya berlangsung selama satu jam setiap pertemuan, namun impaknya luar biasa.Â
Dalam tiga bulan berat badan saya turun delapan kilogram dan tubuh saya terasa lebih ringan dan segar. Biayanya pun terjangkau, 200 ribu Rupiah per bulan yang dipakai untuk makan bersama para sunbae (senior, saya paling muda dan memakai sabuk paling rendah jadi saya adalah junior) dan Sabeomnim (guru taekwondo) sekali dalam sebulan.
Perlu diketahui bahwa ada beberapa kekhususan di dalam cabang olahraga/seni bela diri ini. Yang diajarkan dan dipertandingkan oleh dojang tempat kami berlatih ada tiga:
1. Poomsae:Â jurus, rangkaian gerakan dasar tangan, tendangan, dan kuda-kuda yang dinamai Taegeuk (satu sampai delapan), Koryo, Keumgang, dan seterusnya, seperti halnya Kata dalam olahraga karate.
2. Gyeorugi:Â sparring, pertarungan satu lawan satu antara taekwondo-in (olahragawan taekwondo) dengan memakai peralatan pelindung diri lengkap dan pencatatan skor berdasarkan jenis tendangan yang dilayangkan. Gyeorugi menggunakan tendangan yang dipelajari pada poomsae untuk mengalahkan lawan.
3. Gyeokpha:Â demonstrasi, biasanya dengan mematahkan papan menggunakan teknik tendangan sambil terbang atau tendangan memutar untuk menguji kekuatan kaki dan kelincahan tubuh taekwondo-in. Seperti halnya gyeorugi, gyeokpha adalah demonstrasi dari berbagai jenis tendangan yang dipelajari pada poomsae.
Sama seperti anak-anak, ibu-ibu di kelas taekwondo juga dituntut untuk menyelesaikan level demi level. Saya dan si Sulung mulai dari sabuk putih.Â
Ada enam sabuk berwarna yang harus didapatkan (putih, kuning, hijau, biru, merah, dan merah-hitam untuk menandakan level yang disebut Geup) sebelum seorang taekwondo-in bisa mendapatkan sabuk hitam (Dan). Penanda Dan 1 sampai Dan 9 adalah jumlah strip pada sabuk hitamnya.
Level-level tersebut adalah standar Kukkiwon yang ditetapkan oleh Korea Taekwondo Association (KTA) pada tahun 1973 untuk menggabungkan berbagai aliran dalam taekwondo.Â
Melihat minat orang-orang mancanegara terhadap olahraga ini, pada tahun 1973 dibentuklah World Taekwondo Federation (dikenal sebagai WT, World Taekwondo sejak tahun 2017) dan taekwondo mulai dipertandingkan di Olimpiade sejak tahun 1980.
Standar Kukkiwon berbeda dengan standar yang dipakai di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah Geup. Taekwondo di Indonesia memiliki sabuk dengan warna antara (putih-kuning, kuning-hijau, hijau-biru, dan biru-merah) sehingga lebih sering ujian kenaikan tingkat dan lebih banyak uang yang harus dikeluarkan oleh orang tua, hehehe.
Tiga bulan setelah kami mulai les, kami mengikuti ujian kenaikan tingkat kami yang pertama (shimsa). Hati dan perut rasanya tidak karuan, saya tegang sekali karena sudah lama tidak mengikuti ujian apa pun.Â
Untuk naik tingkat kami harus bisa mendemonstrasikan Taegeuk. Ada delapan Taegeuk dan satu Koryo yang harus dikuasai sebelum mencapai level Dan. Untuk naik dari sabuk putih ke sabuk kuning kami harus bisa mendemonstrasikan Taegeuk Il-Jang (Taegeuk yang pertama dari delapan).
Selain les taekwondo, si Sulung juga les balet sehingga dia mudah sekali menghafal rangkaian, ritme, dan timing setiap gerakan. Akan tetapi, otak saya yang sudah dipenuhi banyak hal lain sulit sekali menghafal, sehingga akhirnya Sabeomnim memperkenalkan channel Miradeng di Youtube untuk membantu saya belajar Taegeuk.
Â
Setiap hari saya menonton channel ini dan meniru gerakan yang diperagakan. Suatu kali waktu sedang belajar saya melihat rekomendasi video dari channel yang bernama K-Tigers.Â
Saya kira channel ini sama dengan Miradeng, namun waktu saya klik, video pertama yang muncul adalah dance cover sebuah lagu populer dari BTS (Bangtan Sonyeondan) yang berjudul "Fire".
Wah lucu banget, saya pikir. K-Tigers ini membuat koreografi sendiri untuk lagu-lagu K-Pop yang terkenal. Koreografinya tidak seperti pada K-Pop pada umumnya; koreografi mereka adalah gabungan pemeragaan poomsae (jurus) dan gyeokpha (demonstrasi).Â
Jadi sambil bergoyang mengikuti musik, mereka juga menendang berputar (spin kick), backflip, atau menendang bergantian sambil memecahkan papan seperti pada dance cover lagu dari Momoland ini.
Terus terang saya merasa lebih aman menonton dance cover dari K-Tigers daripada video musik penyanyi aslinya. Walaupun saya dan anak-anak menggemari musik BTS, saya ngeri-ngeri sedap kalau menonton video musik lagu-lagu mereka.Â
Banyak video musik mereka yang dipenuhi dengan adegan kemarahan, kegusaran, kekerasan, dan bahkan menyuntik urat nadi dengan tinta (lagu "Danger").
Video musik dari girlband Momoland apalagi, menurut saya kurang patut ditonton oleh anak-anak. Satu-satunya video musik mereka yang menurut saya aman adalah video musik lagu "Banana Chacha" yang merupakan soundtrack serial animasi anak "Pororo". Hanya di video musik ini mereka terlihat manis dan tidak aneh-aneh.
Lagu-lagu BTS sangat upbeat, asyik dinikmati saat perjalanan jauh atau saat membersihkan rumah. Empat tahun telah berlalu sejak kami menjadi ARMY (sebutan untuk penggemar BTS) dan saya masih enggan menunjukkan video musik mereka kepada anak-anak yang belum matang tingkat pemahamannya.Â
Mungkin video-video tersebut sudah sesuai dengan konteks lirik lagu mereka yang memang ditujukan untuk remaja dan dewasa, tapi kami 'kan tidak memahami bahasa Korea.
Syukurlah ada K-Tigers yang dengan rajin mengisi channel mereka dengan dance cover lagu-lagu K-Pop. Tidak hanya lagu-lagu dari BTS, tapi juga dari EXO, Twice, Momoland, dan lain-lain.Â
Mereka yang mengisi dance cover adalah bagian dari K-Tigers Demonstration Team. Dari satu video musik ke video musik lain saya perhatikan pasti ada demonstrasi memecahkan papan dengan tendangan (gyeokpha).Â
Sungguh sebuah inspirasi bagi si Sulung yang sudah mendapatkan sabuk hitam dan baru saja bergabung dengan demonstratiom team di dojang-nya.
Pada bulan September tahun lalu K-Tigers Entertainment membentuk K-Tigers Zero, sebuah grup K-Pop yang terdiri atas tujuh orang laki-laki dan lima orang perempuan taekwondo-in.Â
Genre musik mereka adalah musik elektronik dan katanya mereka akan menggabungkan musik, dance, dan kemampuan taekwondo pada setiap performance mereka.
Waktu pertama kali membaca berita ini saya dan si Sulung hanya mengernyitkan dahi. Satu hal yang kami tidak sukai dari K-Pop adalah penampilan dan tata rias yang cenderung palsu dan seragam.Â
Kami sangat menyukai K-Tigers selain karena kemampuan menari yang digabungkan dengan taekwondo, juga karena kesederhanaan penampilan dan pembawaan mereka.Â
Setiap kali mereka mendemonstrasikan kemampuan taekwondo mereka atau membuat dance cover, darah kami berdesir karena mereka terlihat sangat keren (lihat foto pada awal tulisan ini).
Kami mengenali beberapa taekwondo-in yang sering muncul di dalam video musik penyanyi K-Pop lain yang mereka buat dance cover-nya, dan yang sekarang menjadi anggota K-Tigers Zero.Â
Lagu-lagu mereka kami dengarkan di Spotify, baik EP berjudul "HuiRoAeRak" berisi enam buah lagu yang dirilis pada tahun 2019, maupun single terbaru mereka tahun ini yang berjudul "Love". Tidak ada yang istimewa, suara mereka terlalu pasaran dan musik elektronik terlalu mendominasi setiap lagu.
Jadi apa istimewanya K-Tigers Zero? Keistimewaan mereka kata agensinya adalah kemampuan mereka sebagai taekwondo-in yang tergabung dalam salah satu demonstration team terbaik di dunia.Â
Yang namanya demonstrasi pasti untuk konsumsi mata, jadi K-Tigers yang menyanyi dan nge-rap seperti memaksakan diri untuk menjadi konsumsi telinga. Dan di sini kami kecewa.
Akan tetapi, setiap kali kami menonton video musik lagu-lagu mereka yang masih sangat sedikit itu, kami pasti tetap terkagum-kagum. Kekompakan gerakannya, kelurusan tendangannya, kesempurnaan kuda-kudanya, semuanya membuat kami terngaga.Â
Tentu saja kami lebih menyukai K-Tigers Zero saat mereka tampil mengenakan dobok (baju taekwondo) daripada baju biasa yang pamer udel; mereka kelihatan lebih anggun dan berwibawa.
Sekarang saya memegang sabuk biru, sedangkan dua orang senior saya memegang sabuk merah dan hitam. Para senior saya ini ibu-ibu yang luar biasa, walau usia sudah kepala empat dan lima namun semangat untuk terus belajar dan maju itu terus membara.
Sebagai Batak Priangan tulen (orang Batak yang lahir di Tanah Priangan, maksudnya), saya menari Jaipongan dan mendapat tepuk tangan meriah. Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H