Saya sendiri menolak semua undangan kumpul-kumpul dalam dua minggu terakhir, apalagi kalau dari orang yang saya tahu sudah kelayapan jauh sebelum PSBB dilonggarkan.
Beriman dan nekat itu memang betilafea; kelihatannya sama-sama berani menantang bahaya dan maju terus pantang mundur.
Salah, yang namanya beriman tahu pentingnya ikhtiar. Manusia yang beriman dengan benar akan mengakui kedaulatan Tuhan dan mengupayakan yang terbaik dari dirinya sendiri. Manusia yang beriman dengan benar pasti memikirkan imbas perbuatannya terhadap orang lain. Sebab beriman dengan benar bukan semata-mata tentang hubungan vertikal dengan deity yang kita sebut Tuhan, tapi juga tentang hubungan horizontal dengan manusia lain ciptaan-Nya.
Manusia yang nekat tidak memiliki pertimbangan. Ia melakukan semua atas azas apa yang bermanfaat bagi dirinya sendiri. Manusia yang nekat tidak memikirkan kepentingan orang lain. Parahnya, banyak manusia yang nekat berani mengklaim dirinya beriman. Apakah orang yang menantang mau "menghisap" virus Corona untuk membuktikan bahwa pandemi ini hanyalah konspirasi termasuk pada orang beriman atau orang nekat? Entahlah.
Kesimpulannya, new normal berarti ada kebiasaan baru yang mesti kita integrasikan dengan kehidupan kita sehari-hari. Ada kekagetan, ada pengorbanan, dan pastinya ada ketidakrelaan. Semua kita lakukan demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Sejujurnya saya pesimis kapan rantai itu akan putus kalau melihat banyak manusia egois yang sudah tidak sabar untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain. Saya tidak bicara tentang di Indonesia saja, namun di berbagai negara yang menyandang mulai dari predikat "maju", "berkembang", sampai "tidak berkembang". Jumlah orang yang terjangkiti dan meninggal sepertinya belum cukup untuk membuat orang-orang lebih eling. Sayang sekali.
Berimanlah. Dan jangan nekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H