Tempat usaha dan tempat perbelanjaan mulai dibuka kembali karena masyarakat masih memerlukan barang dan jasa. Pegawai dan karyawan tempat usaha juga perlu digaji dan ini mungkin hanya jika ada pembelanjaan dan pemasukan.Â
Orang kembali bekerja di luar karena kewajiban dan mereka bekerja dengan berbagai protokol kesehatan: selalu memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dengan orang lain, dan lain sebagainya.
Ada orang beriman yang mengabaikan semua protokol itu atas nama imannya. Dia dengan lantang berkata, "Tuhan pasti menjaga saya," atau "Kalau sudah takdir, saya pasti kena walaupun saya sudah berusaha menghindarinya." Dengan pola pikir seperti itu mereka melewati garis tipis antara beriman dan nekat. Bukan hanya mengabaikan semua himbauan pemerintah, ia pun keluar rumah dan melakukan aktivitas yang tidak perlu.
Himbauan untuk "di rumah aja" bukan soal keselamatan dan kesehatan personal, ini soal kebaikan untuk banyak orang (komunal). Dengan adanya ODP yang sering tidak mengaku karena takut mendapat stigma dan OTG yang tidak terdeteksi, beraktivitas tidak perlu di luar rumah akan meningkatkan resiko diri kita tertular atau menjadi medium penularan virus tanpa kita sadari.
Perlu diingat bahwa virus ini berukuran mikroskopik dan tidak kasat mata. Ia berada di udara dalam bentuk aerosol, ia menempel di permukaan benda-benda dan bertahan hidup selama berjam-jam atau berhari-hari, tergantung jenis bendanya.Â
Ia dibawa oleh cairan tubuh penderita yang tak sengaja kontak dengan tubuh kita. Walaupun kita sudah menjalankan berbagai protokol kesehatan, apa yang bisa menjamin kita pulang ke rumah tanpa membawa serta virus?
Para pekerja pergi keluar rumah dengan segala resiko, dengan segala kecemasan, dan doa kencang-kencang supaya tidak tertular di luar dan akhirnya menulari anggota keluarga di rumah.Â
Tujuan mereka mulia; merekalah yang patut kita doakan, apalagi kalau mereka bagian dari keluarga kita. Di sisi lain, banyak orang yang sudah lupa (atau melupakan) bahwa kita masih berada di tengah pandemi, dan seenaknya berselancar dari mal ke mal, dari kafe ke kafe, dari arisan ke arisan.
Mereka ini duduk berdempetan, berbicara tanpa mengenakan masker, ber-selfie dengan wajah saling menempel, selama bermenit-menit dan berjam-jam.Â
Mereka dengan riang gembira mem-posting aktivitas sosial selama pandemi di media sosial, dengan berani "beriman" dan menantang virus. Buat apa? Apa motivasi utamanya? Apa kabar usaha menjaga diri dan keluarga di rumah?
Gara-gara ketemu teman satu jam, sia-sia menahan diri di rumah saja selama berbulan-bulan. Apakah ketawa-ketiwi sesaat itu sepadan dengan resiko kesehatan mereka pribadi dan kesehatan orang yang kontak erat dengan mereka?Â