Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Ke Restoran Korea, yang Pertama dan Utama Cek Rasa Kimchi-nya!

20 Juni 2020   20:48 Diperbarui: 21 Juni 2020   20:01 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-Ibu Orang Korea Sedang Membuat Kimchi. Dokpri. 

Saya penggemar masakan Korea. Kegemaran saya akan masakan dari Negeri Ginseng ini berawal 16 tahun lalu waktu saya backpacking ke sana atas undangan seorang gadis Korea yang apartemennya bersebelahan dengan apartemen saya di Yokohama.

Yu Yu Jin namanya.

Berbeda dengan mahasiswa lain di dalam program yang mendapat beasiswa untuk penelitian selama setahun, dia hanya mendapat visa pelajar selama 6 bulan. Tak apa-apa, katanya, dia jadi bisa pulang bertepatan dengan waktu kekasihnya selesai menunaikan Wajib Militer.

Sebelum dia meninggalkan Jepang, dia memberikan saya alamat rumahnya di Daegu. Daegu adalah kota terbesar kedua di Korea Selatan. 

Letaknya yang berada di antara Seoul di utara dan Busan di selatan membuat saya merencanakan perjalanan begitu rupa supaya saya bisa tetap traveling ke dua kota tersebut dan mengunjungi teman saya ini.

Pada hari keempat setelah saya tiba di Incheon, saya menginjakkan kaki di Daegu. Yu Jin tinggal bersama orang tua dan kakek nenek dari pihak ibunya. 

Adik laki-lakinya sedang menjalankan Wamil. Kakek nenek Yu Jin fasih berbahasa Jepang karena mereka sempat merasakan penjajahan Jepang sampai akhir Perang Dunia ke-2. Kedua orang tua Yu Jin fasih berbahasa Inggris, jadi tidak ada masalah di situ.

Saya lega karena sejujurnya saya canggung tinggal di rumah orang yang bahasanya tidak saya kuasai. Namun saya juga tidak bisa tinggal di hotel karena Yu Jin dan keluarganya tidak mengijinkan.

Sejak Yu Jin dan ibunya menjemput saya di stasiun kereta, mereka sudah memperlakukan saya dengan sangat baik. Perasaan saya seperti mengunjungi kerabat jauh saja.

Selama tinggal di Daegu saya makan kimchi pagi, siang, dan malam karena disuruh oleh nenek Yu Jin. Waktu Yu Jin masih tinggal di Yokohama, apartemennya memang memiliki aroma khas: aroma kimchi. Akan tetapi, ia tidak pernah menawari saya untuk mencicipi. Ternyata ia berasumsi saya pasti menolak memakan kimchi karena saya tidak familiar dengan aromanya.

Bagaimana mungkin saya menolak nenek baik hati yang menaruh potongan daging di atas nasi saya dan sepiring kimchi di sebelah mangkuk nasi saya, setiap pagi dan malam selama 4 hari berturut-turut? Apalagi dengan senyum manis dan suara lembut ia berkata, "Tabete kudasai," atau, "Mani mogo." (Makan yang banyak ya.)

Mau tak mau saya makan semua jenis kimchi yang ia sajikan, tidak hanya yang berbahan dasar sawi, tapi juga lobak putih dan bawang daun, pokoknya semua. 

Semakin banyak saya makan, semakin berkembang senyum di wajah keriputnya. Selain menyuruh saya makan kimchi di rumah pagi dan malam, sang nenek juga memberi saya bekal makan siang lengkap dengan kimchi waktu saya melakukan daytrip dari Daegu ke Pantai Haeundae di kota Busan.

Sewaktu di kereta saya sempat ragu ketika hendak membuka kotak bekal. Saya khawatir aroma kimchi akan terlalu menusuk, tapi saya sudah kelaparan sekali. 

Saya tengok ke kanan dan ke kiri, eh ternyata semua penumpang satu gerbong membawa kimchi dan aroma semerbak memenuhi udara yang kami hirup, hahaha.

Saya tidak makan kimchi atau masakan Korea lainnya sampai pada tahun 2010 waktu saya kembali mengunjungi Seoul dan Busan bersama suami dan anak saya.

Pada perjalanan kali itu saya puas makan masakan Korea baik fast food maupun full course dengan banchan (side dish) yang berlimpah. Malah kadang saya sudah lebih dulu kenyang dengan banchan sebelum daging selesai dibakar.

Komunikasi saya dengan Yu Jin terputus pada tahun 2006 waktu ia ditugaskan untuk bekerja di Malaysia. Surat-surat yang saya kirimkan ke Daegu sepertinya tidak pernah sampai. 

Pada tahun 2016 saya minta seorang teman di kelas Taekwondo yang berasal dari Daegu untuk mengecek alamat Yu Jin, dan ternyata di lokasi rumahnya sudah berdiri sebuah kompleks apartemen baru.

Saya sempat cek di Naver, SNS, dan Facebook, dan ada 1100 orang (pria dan wanita) bernama Yu Yu Jin. Pupus harapan saya untuk menemukannya kembali.

Saya mengenal teman-teman Korea di sini sejak tahun 2016 lewat kelas Taekwondo untuk ibu-ibu. Mereka sering sekali mengajak saya makan di restoran Korea. Setiap bulan kami memang ada jadwal makan siang bersama Sabeomnim (guru Taekwondo). 

Namun di luar itu ada saja event yang harus dirayakan seperti hari guru, hari orang tua, hari olahraga, dan lain sebagainya, yang membuat kami berkumpul minimal 2 kali dalam sebulan.

Tidak hanya makan masakan Korea, saya juga diajari membuat masakan Korea, yaitu kimchi, bossam, kimmari, dan japchae.

Kimchi Sawi Putih. Dokpri.
Kimchi Sawi Putih. Dokpri.

Kimmari. Dokpri.
Kimmari. Dokpri.

Yang paling berkesan buat saya adalah waktu saya diajak membuat kimchi untuk dijual di bazar yang akan diselenggarakan di dojang Taekwondo. 

Bazar tersebut bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membeli peralatan berlatih. Semua eonni turun tangan memasak dan semua keuntungan dari penjualan diberikan kepada Sabeomnim untuk dikelola, sehingga orang tua murid dojang tidak terbebani dengan biaya selain biaya les.

Pada waktu membuat kimchi saya belum diijinkan untuk mencampur sawi putih dengan pastanya. Saya disuruh memotong-motong puluhan kilo sawi putih yang baru datang dari Lembang (iya, Lembang!) dan memperhatikan bagaimana para eonni (kakak perempuan) mencampur sawi putih tersebut dengan pasta.

Saya diijinkan membantu menimbang dan mengemas kimchi ke dalam plastik isi 2 kilogram dan menyusunnya dengan rapi di dalam kulkas kimchi milik tuan rumah untuk difermentasi selama 1-2 hari. Sesudah 200 kilogram kimchi selesai dipak, kami melepas lelah dengan makan kimchi, bossam, dan pajeon.

Dokpri.
Dokpri.

Hari itu sungguh melelahkan buat saya dan ternyata tidak berhenti sampai di situ! Keesokan harinya saya datang pada pukul 5 pagi ke rumah seorang teman untuk membuat japchae dan kimmari. 

Pagi-pagi buta sudah ada 4 orang Korea dan 1 orang Indonesia mengaduk-aduk japchae di wajan dan kemudian menggulungnya untuk menjadi kimmari.

Satu orang eonni yang membimbing saya membuat kimmari sangat perfeksionis. Lipatan kim (lembaran rumput laut) harus pas dan panjang kimmari harus sama semua supaya bisa masuk ke kotak cantik untuk dijual. 

Orang Korea ini memang 11-12 dengan orang Jepang yang mementingkan kerapian dan keindahan packaging dan penampilan sebuah produk.

Kalau ditanya, masakan Korea yang mana yang saya paling sukai, saya akan jawab: kimchi.

Kimchi adalah penyelamat di saat saya tidak memiliki selera makan sewaktu mengandung anak ke-3. Dari seorang eonni di Taekwondo saya pun berkenalan dengan Kim Ahjumma yang membuat kimchi untuk 90% restoran Korea di kota saya ini, apalagi untuk restoran yang juru masaknya orang Indonesia.

Kim Ahjumma sempat menolak waktu saya berkali-kali datang ke rumahnya untuk membeli kimchi. Maklum, selama susah makan saya bisa menyantap 2 kilogram kimchi sendirian dalam 2 minggu. 

Saya makan kimchi pagi, siang, dan malam untuk memberi rasa lain pada lidah saya yang selalu terasa pahit. Beliau khawatir konsumsi kimchi yang berlebihan akan membuat bayi saya "kepedasan" di dalam kandungan.

Saya tidak mau melawan orang tua, pamali. Jadi, saya kurangi frekuensi makan kimchi sehingga 2 kilogram habis dalam 1 bulan. Bulan berikutnya saya langsung membeli 3 sampai 4 kilo. Begitu seterusnya sampai si bungsu lahir, sudah tidak terhitung berapa kilogram kimchi yang saya sudah santap.

Sebab bukan hanya kimchi Kim Ahjumma yang saya makan. Selama kehamilan ke-3 setiap minggu saya bertualang mencoba berbagai restoran Korea yang ada di kota saya bersama seorang teman yang berasal dari Cianjur dan seorang lagi berasal dari Busan.

Tingkat pembukaan restoran baru di sini cukup tinggi, jadi setiap minggu ada saja tempat baru yang kami sambangi. Kalau sedang kehabisan ide mau makan apa, teman Korea saya sangat gembira kalau diajak makan masakan Padang atau Sunda. Saya selalu senang melihat wajah dia yang kepedasan saat makan rendang dan terong balado.

Dari teman saya yang satu ini saya belajar satu filosofi: yang pertama dan utama, cek dulu rasa kimchi-nya.

Kimchi adalah banchan (side dish) utama dalam masakan Korea. Kalau kimchi-nya tidak enak, menu yang lain pasti hopeless. Prinsipnya ini membuat kami berkali-kali "gagal" makan enak. 

Terkadang sebuah restoran menyajikan kimchi yang tidak segar atau terlalu asam, sehingga teman saya langsung kehilangan selera makan dan ingin cepat pulang. 

Padahal saya masih ingin makan di situ, apalagi kalau ada menu lain yang juga enak. Rasa kimchi yang tidak pas langsung membuat mood teman saya ini buyar, hahaha.

Menenggarai sifatnya, kami membiarkan dia menentukan tempat setiap kali kami janjian makan bersama. Lama-lama saya rasa dia ada benarnya juga; semua restoran favorit kami menyajikan kimchi yang sangat enak dan menu lain yang tak kalah enak. 

Setelah bertahun-tahun saya jadi bisa memetakan restoran mana yang unggul karena samgyetang-nya, naengmyeon-nya, galbi-nya, dll, dan yang pasti menyajikan kimchi yang sangat lezat.

Pandemi ini membuat saya tambah rindu pada mereka. Sejak bulan Maret lalu kelas Taekwondo untuk ibu-ibu diliburkan entah sampai kapan. Tidak ada lagi kegiatan makan dan mengobrol bersama. 

Saya rindu makan bersama mereka karena kehebohannya. Makanannya banyak, semua orang bisa mencicipi semua menu, dan ekspresi setiap orang saat makanan yang dihidangkan sangat enak sungguh komikal.

Buat orang Korea yang saya kenal, makan adalah kegiatan komunal. Semakin ramai, semakin banyak yang dibagi, semakin afdhal. Sudah terbukti dari betapa mereka menyukai kegiatan memasak bersama. 

Teman saya yang saya ceritakan barusan malah pernah mengajak saya makan ramyeon di rumahnya waktu suaminya dan suami saya sedang dinas ke luar kota. Bagaimana dia tetap langsing setelah makan 1 mangkok besar ramyeon pada pukul 10 malam, masih menjadi misteri bagi saya.

Bagi orang Korea rasa autentik makanan mereka sangatlah penting dan semuanya dimulai dari kimchi. Selain itu, teman-teman Korea saya juga sangat rewel dengan masakan restoran fusion Korea-Indonesia yang ada di banyak mal. Mereka memprotes banyak hal, mulai dari rasa kimchi, mie, banchan, dan lain-lain.

Pernah suatu kali saya makan di restoran semacam itu bersama teman orang Indonesia, sebelum saya bertemu dengan seorang eonni untuk urusan bazar. Waktu dia menawari saya makan siang, saya cerita bahwa saya baru saja makan di Restoran M.

Saya tidak menyangka dia langsung berteriak, "Rijo, di situ bukan makanan!"

Lah, jadi gue ngapain tadi di situ? Memamah biak? Wkwkwk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun