Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seandainya Ferdian Paleka Ikut Karang Taruna

19 Mei 2020   01:34 Diperbarui: 19 Mei 2020   01:43 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: VectorStock.com

Ada yang masih ingat apa itu Karang Taruna?


Pada tahun 90-an waktu saya menginjak remaja, saya ingat ada markas Karang Taruna di dekat rumah saya. Mengapa saya bilang markas dan bukan kantor? Karena penampakannya memang seperti markas yang disambangi oleh para Anak Baru Gede (ABG), remaja tanggung, dan pemuda-pemudi saban sore.

Biasanya mereka berkumpul dan nongkrong di sana mulai pukul 4 sore sampai maghrib. Apa saja kegiatannya? Saya tidak tahu. Dulu saya kira mereka mengorganisir kegiatan masyarakat seperti gotong royong membersihkan lingkungan, siskamling menjaga keamanan, menjadi panitia acara di kampung seperti perayaan 17 Agustus dan Hari Kartini, dan lainnya. Namun ternyata tidak, yang menjadi panitia dan seksi sibuk biasanya para orang tua yang sebaya dengan orang tua saya.

Dilansir dari Wikipedia, Karang Taruna adalah sebuah organisasi kepemudaan di Indonesia yang memiliki Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan struktur kepengurusan mulai dari wilayah terkecil desa/kelurahanan sampai nasional. Yang dapat menjadi anggota adalah mereka yang berusia antara 11 sampai 45 tahun, sedangkan yang dapat menjadi pengurus adalah mereka yang berusia antara 17 sampai 35 tahun.

Yang menarik di sini adalah tujuan didirikannya organisasi Karang Taruna. Masih dilansir dari Wikipedia, ia bertujuan membina dan memberdayakan para pemuda dalam bidang keorganisasian, ekonomi, olahraga, keterampilan, keagamaan, dan kesenian. Apakah tujuan-tujuan tersebut pernah tercapai? Pembaca budiman yang pernah menjadi anggota Karang Taruna mungkin dapat memberikan pendapatnya.

Nah, sekarang kita akan membahas tentang Ferdian Paleka.

Namanya melambung dalam beberapa pekan terakhir karena prank yang dia lakukan di Kota Bandung. Berkedok memberikan bantuan sembako, Ferdian membagikan paket berisi batu dan toge busuk kepada transpuan yang ia temui di jalan. Mereka yang merasa dirugikan kemudian melaporkannya ke polisi dengan dalil perbuatan tidak menyenangkan. Ferdian sempat kabur ke Palembang sebelum akhirnya dibekuk polisi di jalan tol Jakarta-Merak. Sekarang ia mendekam di tahanan dan diancam dengan hukuman penjara maksimal 12 tahun.

Terus terang, sebelum namanya tersangkut dengan perbuatan kriminal, saya tidak tahu siapa itu Ferdian Paleka. Waktu berbagai berita menginformasikan profesinya sebagai seorang Youtuber, saya hanya bisa mengernyitkan dahi. Youtuber itu sebuah profesi ya? Iya, kalau jumlah view setiap video diasosiasikan dengan market exposure sebuah produk dan pundi-pundi pendapatan dari iklan. Jika benar demikian, tak heran konten adalah segalanya.

Saya mengandaikan Ferdian Paleka ikut Karang Taruna karena menurut hemat saya kepribadiannya memerlukan kelompok sosial untuk membentuk sikap dan perilakunya. Ciri utama orang-orang seperti Ferdian adalah mereka memiliki kelebihan energi dan waktu yang dimanifestasikan dengan cara tidak tepat.

Di tengah situasi pandemi Covid-19, alih-alih tulus membantu orang yang terdampak, Ferdian malah memberikan sampah kepada kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Konten yang dia unggah pasti mengundang klik tapi isinya menghadirkan caci maki dan hujatan belaka dari viewer-nya.

Setelah banyak orang mengkritik perbuatannya, alih-alih tulus meminta maaf, ia malah dengan mudahnya berbohong soal penyesalannya. Frase "tapi bo'ong" menjadi populer namun dengan konotasi negatif. Masyarakat berhadapan dengan seseorang yang memiliki nilai moral dan etika yang patut dipertanyakan.

Seandainya ia tergabung dalam sebuah organisasi kepemudaan, Ferdian pasti akan meng-assess dulu apakah tindak-tanduknya sesuai dengan norma-norma kelompok yang menaunginya, apakah yang ia lakukan akan mendapat persetujuan atau malah membuat ia dikucilkan oleh kelompoknya. Kelompok sosialnya juga akan memberikan panduan bagaimana harus bersikap, berperilaku, dan menghadapi masalah.

Ini adalah esensi dari manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, ia berhak atas pilihan dan pendapatnya sendiri. Sebagai makhluk sosial, kelompok sosial dimana ia tergabung akan ikut membentuk pilihan dan pendapatnya. Persetujuan dan kesesuaian dengan aturan kelompok akan menjadi sesuatu yang terus dikejar oleh makhluk individu yang menjadi makhluk sosial.

Saya akan memberikan sebuah contoh.

Satu dekade lalu saya bekerja di sebuah kantor pemasaran di area terpencil di Pulau Kalimantan. Kantor pusat di Pulau Jawa mengirim saya ke sana untuk mengurusi kegiatan pembelian dan pengadaan barang. Kantor pusat dan kantor area sama-sama menerapkan sistem absensi sidik jari untuk merekam kehadiran di tempat kerja.

Di kantor pusat orang-orang takut datang terlambat karena ada banyak bos besar dan ada banyak mata-mata yang bisa sewaktu-waktu mengadukan perilaku kita. Tidak demikian halnya dengan di kantor area yang hanya mempekerjakan 17 orang staf. Absensi tetap berjalan tapi orang-orang tidak datang tepat waktu. Tidak ada yang mengomentari dan tidak ada yang mempermasalahkan.

Saya sebagai makhluk individu memilih untuk datang ke kantor sebelum atau tepat pada waktu kantor dibuka. Ini pilihan pribadi yang "disetujui" oleh norma di kantor pusat sebagai kelompok sosial saya sebelum pindah ke area. Namun kantor area adalah kelompok sosial tersendiri dengan beberapa norma yang berbeda.

Mereka cenderung menunggu sampai semua orang berkumpul baru mulai bekerja. Saat saya datang tepat waktu, belum ada orang di kantor. Belum ada meeting yang bisa dimulai, belum ada data yang bisa diminta. Akibatnya jadwal kerja saya jadi berantakan dan saya jadi uring-uringan sendiri, padahal saya hanya perlu menyesuaikan diri dengan norma kelompok sosial yang baru untuk bisa tetap bekerja dengan bahagia.

Kembali ke Ferdian Paleka. Saya jadi mengkhayal lagi, seandainya Ferdian ikut Karang Taruna, pada usia berapakah ia sebaiknya bergabung?

Menurut saya, pada usia 11 tahun, sesuai dengan aturan keanggotaan Karang Taruna. Pada usia ini, seorang anak yang selama ini terlindungi di dalam keluarganya sebagai kelompok sosialnya yang pertama akan mulai melongok keluar. Dia akan mulai mencari kelompok sosial baru dimana dia mendapat pengakuan dan persetujuan. Rasa dimiliki sangat penting untuk seorang anak yang menginjak remaja. Mustahil mereka loyal kepada sebuah kelompok sosial jika mereka tidak merasa sebagai bagian dari kelompok itu.

Saya sendiri tidak pernah bergabung dengan Karang Taruna. Saya membuat asumsi tersebut berlandaskan harapan bahwa Karang Taruna adalah benar-benar sebuah kelompok sosial dengan norma dan nilai positif yang bisa membawa manfaat bagi anggotanya dan bagi masyarakat sekitar. Bahwa Karang Taruna benar-benar membekali para remaja dan pemuda untuk berkarya di berbagai bidang.

Ada banyak pengetahuan dan keterampilan yang bisa diajarkan di luar sekolah, namun Karang Taruna bisa memberdayakan para anggotanya di dalam 3 hal berikut:

1. Olahraga

Olahraga yang dilakukan secara individu dan berkelompok menanamkan semangat supaya seseorang terus belajar dan berusaha mencapai versi terbaik dari diri sendiri. Melalui olahraga, remaja dan pemuda tidak hanya belajar mengalahkan orang lain. Mereka juga belajar untuk tidak cepat puas dan terus berupaya melampaui rekor pribadi mereka.

Bayangkan jika Karang Taruna memfasilitasi pembelajaran olahraga yang bisa dinikmati secara individu ataupun secara beregu. Tak perlu olahraga yang memerlukan peralatan mahal, cukup olahraga yang bisa mengumpulkan banyak orang untuk belajar bersama, seperti: sepak bola, futsal, basket, voli, badminton, tenis meja, dan lain sebagainya.

Keterampilan dalam berolahraga diraih dengan pembelajaran berjenjang. Orang-orang yang berkecimpung di dalam olahraga sejak usia muda akan mengerti arti kerja keras, pengorbanan, pantang menyerah, dan sportivitas. Alangkah baiknya jika Karang Taruna memfasilitasi pembentukan nilai-nilai positif yang sepatutnya dimiliki oleh remaja/pemuda yang sedang bergulat dengan jati diri dan rasa diterima oleh orang lain.

2. Musik

Manusia bisa saja tidak mengerti bahasa dan aksen yang berbeda, namun mereka bisa saling mengerti lewat musik yang sama. Musik adalah sebuah bahasa universal yang melampaui lirik lagu. Musik adalah ekspresi jiwa manusia dengan segala jenis emosinya. Manusia muda yang mempelajari musik sedang belajar mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan cara yang elegan.

Alangkah baiknya jika Karang Taruna bisa mengakomodasi pembelajaran musik. Panggil guru musik, sediakan alat musik yang bisa dipakai beramai-ramai, selenggarakan kursus musik berjenjang untuk mereka yang berminat. Sama seperti olahraga, waktu dan kesabaran adalah dua hal yang bisa membuat seseorang menguasai musik. Sama seperti olahraga, belajar musik membuat seseorang mengerti arti kerja keras dan pantang menyerah.

3. Menulis

Keterampilan di dalam bidang literasi (menulis dan membaca) perlu dikembangkan tidak hanya di rumah dan di sekolah, tapi juga di organisasi informal. Saya mengkhayalkan Karang Taruna yang markasnya merangkap sebagai perpustakaan umum. Anggota Karang Taruna dan masyarakat sekitar bisa bahu-membahu membeli koleksi buku dan mengelola proses pinjam-meminjam.

Tidak hanya kegiatan membaca, Karang Taruna juga aktif mengadakan pelatihan menulis. Mengapa remaja/pemuda perlu diperkenalkan pada dunia tulis-menulis sejak usia muda? Supaya ketika mereka mengalami kebingungan/kegalauan/keresahan akibat gejolak hormon dan emosi, mereka memiliki alat yang tepat untuk menjelaskan diri dan maksud mereka.

Melatih mereka menulis berarti melatih mereka berpikir terstruktur, berpikir di dalam kerangka, dan menjabarkan pikiran mereka ke dalam poin-poin. Kegiatan ini tentu jauh lebih baik dan bermanfaat daripada membuat video prank yang bisa berakibat kecelakaan atau ketidaksenangan dari pihak lain. Karang Taruna perlu mendidik remaja/pemuda bahwa viral bukanlah segalanya.

Melatih mereka menulis berarti melatih mereka bersikap jujur terhadap diri mereka sendiri. Melatih mereka menulis juga berarti melatih mereka berhati-hati dengan cara pikir dan sudut pandang mereka karena sebuah tulisan bersifat abadi dan bisa dirujuk pada waktu yang berbeda oleh orang lain.

Saya berkhayal seorang Ferdian Paleka pernah ikut dan ditatar di dalam Karang Taruna yang sangat ideal seperti deskripsi saya di atas. Jika ya, mungkin kita tidak akan pernah mendengar berita tentang kejahilannya yang tidak wajar dan permintaan maafnya yang palsu. Kelebihan energi dan waktu Ferdian akan dimanifestasikan dalam bentuk positif, seperti, misalnya, penggalangan dana bagi mereka yang ekonominya terdampak pandemi.

Saya menduga Ferdian tidak pernah bergabung dengan organisasi semacam Karang Taruna yang membina perilakunya, sehingga sekarang ia tampil sebagai seseorang yang nyeleneh. Walaupun demikian, belum terlambat bukan untuk meningkatkan fungsi Karang Taruna supaya bermanfaat bagi masyarakat kita dewasa ini?

Mungkin ini saat yang tepat bagi saya untuk menulis surat kepada Menteri Pemuda dan Olahraga dan Mas Menteri Pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun