Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengatasi Rasa Tidak Dipercayai

1 Mei 2020   23:51 Diperbarui: 2 Mei 2020   01:42 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah legenda tentang Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu pijar, yang sampai saat ini belum diketahui kebenarannya. 

Alkisah Thomas Edison adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara yang hanya bersekolah formal beberapa bulan saja. Suatu hari dia pulang membawa surat dari kepala sekolah untuk ibunya yang berbunyi berikut, "Anakmu idiot. Dia tidak perlu lagi datang ke sekolah; dia dikeluarkan."

Ibu dari Thomas Edison tidak membaca apa yang tersurat, melainkan ia mengubah isi suratnya menjadi seperti ini, "Anakmu seorang jenius. Sekolah tidak mampu lagi mengajarinya. Kami mengembalikannya padamu."

Tidak ada yang tahu apakah surat itu benar-benar ada. Tidak ada yang tahu apakah Thomas Edison benar-benar dikeluarkan atau mengundurkan diri dari sekolah. Tidak ada yang tahu apakah sang ibu memang telah berbohong pada Thomas kecil supaya hati anaknya tidak terluka. 

Yang jelas sepenggal kisah tersebut banyak dipakai untuk menekankan gagalnya sekolah (lembaga pendidikan formal) dalam mendidik seseorang yang sampai akhir hayatnya terbukti sebagai seorang jenius yang menemukan banyak hal. Thomas Alva Edison bahkan digadang-gadang sebagai penemu terbesar pada abad ke-21.

Yang banyak dilupakan dari kisah tersebut adalah sebuah jenis emosi yang bisa mengubah hidup seseorang begitu drastis seperti hidup Thomas Edison.

Rasa percaya.

Ibu dari Thomas Edison memercayai  kemampuan anaknya. Ia juga memercayai kemampuannya sendiri yang memang pernah mendapat pendidikan guru. Ia tidak pasrah akan keadaan Thomas yang dikeluarkan dari sekolah. Ia turun tangan dan tidak menyerah mengajari anaknya sendiri.

Rasa percaya yang diberikan oleh seseorang akan membangkitkan rasa percaya diri di dalam diri orang lain. Dipercayai berarti dituntut untuk bertanggung jawab dan membuktikan diri. Manusia mana yang tidak ingin unjuk gigi?

Memercayai berarti dengan sadar mengabaikan kemungkinan kalau orang yang dipercayai akan mengkhianati atau melukai kita. Memercayai berarti siap menanggung konsekuensi dari kepercayaan kita yang digunakan dengan baik atau disalahgunakan.

Apa yang terjadi jika misalnya waktu itu ibu dari Thomas Edison tidak memercayai anaknya?

Thomas Edison mungkin tidak akan menggali kemampuan terbaiknya dan tidak akan menjadi seorang penemu. Toh sekolahnya sudah mencap dia sebagai anak idiot, ya sudah wujudkan saja cap itu. Tidak usah belajar di sekolah, tidak usah belajar di rumah, sebaiknya dia menyerah saja dengan hidupnya.

Dunia psikologi sudah berkali-kali mewanti-wanti: hati-hati dengan ucapanmu karena ia bisa menjadi kenyataan. 

Jangan katai anakmu nakal, nanti dia benar-benar akan menjadi nakal walaupun mungkin hanya untuk menantangmu. Jangan katai anakmu bodoh, nanti dia tidak akan percaya diri mempelajari hal baru dan selalu merasa dirinya tidak mampu.

Rasa percaya yang diberikan oleh orang tua kepada anak, atau antara orang terdekat, adalah motivasi, dorongan, dan semangat yang tidak boleh diremehkan kekuatannya. Lihatlah Thomas Edison sebagai contoh.

Sepanjang hidup saya berusaha untuk memercayai dan dipercayai oleh orang lain. Hari ini menyedihkan hati saya karena hari ini saya tidak dipercaya untuk melakukan sesuatu.

Jauh sebelum pandemi Covid-19, saya sudah berniat belajar memotong rambut karena ilmunya terlihat menarik. Saya bahkan sudah menyusun rencana, saat anak saya yang terakhir berusia sekian saya akan mengambil kursus di kota lain yang berjarak 30 km dari kota saya.

Rencana tinggal rencana, anak yang terakhir baru lahir 1 tahun lalu dan pandemi ini terjadi. Di saat pandemi salon-salon di sekitar rumah tutup padahal rambut seluruh anggota keluarga sudah gondrong, sehingga hanya ada satu solusi: beli alat potong rambut (clipper) dan belajar cara potong rambut dari Youtube.

Tadi sore saya berhasil merangkai mesin dan guiding comb tanpa membaca instruksi karena tidak ada instruksi dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Saya minta suami untuk mengenakan celemek dan saya pun siap beraksi.

Awalnya suami merasa geli ketika clipper menyentuh rambutnya. Pernah juga clipper terlalu dekat ke kulit kepalanya sehingga dia kesakitan. Rasa percaya diri saya lama-lama terkikis. Saya sedang belajar dan ingin mempraktekkan yang saya pelajari, tapi suami saya meragukan saya terus.

Akhirnya saya hilang kesabaran. Saya bereskan clipper dan barang-barang lain padahal rambut yang terpotong baru sedikit sekali. Saya marah dan kecewa karena tidak dipercayai. Tentu saja saya akan memotong rambut suami saya dengan hati-hati; saya tidak akan bekerja serampangan dan membuat dia pitak sebelah.

Rasa tidak percaya suami membuat rasa percaya diri saya kandas. Lenyap   begitu saja tak berbekas. Seandainya ia memberikan saya kesempatan memotong rambutnya mungkin saya menjadi pintar memotong rambut orang lain, mungkin saya menjadi hair stylist, mungkin saya membuka salon. Atau mungkin saja tidak.

Saya bukan Thomas Alva Edison yang menghadapi krisis kepercayaan pada usia muda, dan suami saya bukan ibu dari Thomas yang tetap memercayai anaknya. Yang saya bisa lakukan sekarang adalah berjuang mendapatkan rasa percaya diri itu kembali, bahkan dalam kondisi dipercayai atau tidak oleh orang lain.

Besok saya akan menonton ulang semua video tutorial potong rambut di Youtube dan mencari kelinci percobaan baru. Mungkin memotong sapu ijuk bekas? Atau memotong serumpun daun pandan yang saya pilin seperti rambut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun