Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Masakan Paling Enak di Dunia adalah yang Dimasak Orang Lain

14 April 2020   22:01 Diperbarui: 14 April 2020   22:48 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dokpri


Itu quote ciptaan saya hari ini.

Setelah 4.5 minggu anak-anak belajar di rumah, hari ini saya mengibarkan bendera putih untuk urusan masak-memasak.

Bukannya saya tidak bisa memasak, bukannya saya tidak mau. Saya hanya bosan dan berat sekali melangkah ke dapur hari ini. Rasa malasnya sudah di ubun-ubun. Parah sekali ya?

Saya rindu makan di luar, saya rindu Gr*bfood, saya rindu take away. Apa daya kebanyakan restoran favorit di sekitar rumah sudah tutup gara-gara Covid-19. Yang masih buka hanya jaringan makanan cepat saji yang melarang konsumennya untuk makan di tempat.

Yah, tidak ada lagi sambil makan sambil main di playground untuk anak-anak. Lumayan lho, Mama bisa browsing Instagram sejenak untuk membaca gosip-gosip seputar artis Korea.

Mungkin frekuensi memasak yang terlalu sering yang membuat saya bosan. Bangun pagi pukul 7 harus menyiapkan sarapan. Pukul 8 anak-anak mulai online; saya mondar-mandir antara dua komputer untuk mendampingi mereka belajar.

Eh tiba-tiba sudah pukul 11, waktu untuk memasak makan siang. Selesai makan dan sebagainya sudah pukul 1 lewat. Anak-anak online lagi sampai pukul 3. Di akhir pelajaran muncul pertanyaan, "Mama, apa snack sore ini?" Saya pun tergopoh-gopoh membuka kulkas dan lemari makan.

Setelah istirahat dan makan sebentar mereka lanjut les musik online. Tahu-tahu sudah pukul 6, waktunya memasak makan malam. Makan dan cuci piring selesai sekitar pukul 8, terkadang lebih malam dari itu karena anak-anak minta dikupaskan buah.

Dalam kondisi bosan saya jadi mudah mengeluh dan berandai-andai. Andai pandemi berhenti besok. Semua bisa kembali ke kehidupan normal. Bekerja ya di kantor, bersekolah ya di sekolah. Kita tidak menghindar lagi kalau bertemu orang lain. Jabat tangan dan sapa hangat akan dijalani kembali.

Ini harapan, doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan ke hadirat Yang Maha Kuasa. Sementara ini, saya harus beradaptasi dengan apa yang ada.

Rice cooker yang besar dikeluarkan supaya tidak usah memasak nasi dua kali dalam sehari. Biasanya cukup memasak nasi satu kali karena suami makan siang di kantor dan anak-anak di sekolah. Sekarang semua berkumpul di rumah.

Perbanyak cemilan berupa roti dan buah. Mbak kasir di Ind***ret langganan tadi sampai terbelalak melihat jumlah roti, biskuit, dan susu yang saya beli.

"Ibu, ini stok seminggu atau Ibu nimbun?"

Saya tersenyum kecut. "Enggak, Mbak, orang rumah memang makannya banyak."

Si mbak kasir tertawa. "Iya ya, apalagi si adek (merujuk pada anak saya yang bungsu). Gendut dan gemesin. Pasti makannya banyak."

Dalam hati: untung bukan saya yang dibilang gendut dan menggemaskan. Hehe.

Si kecil memang paling sering saya ajak ke toko itu waktu kakak abangnya sedang di sekolah. Para pegawai toko semua kenal dan senang padanya, apalagi waktu dia mengambil sendiri popoknya dan menyeret kantong besar itu ke kasir. Imut sekali.

Syukurlah semasa pandemi ini ada kehangatan yang tak terlupakan. Walau sekarang pembicaraan kami dibatasi jarak, masker, dan sehelai tirai plastik di antara tempat saya mengantri membayar dan si mbak kasir.

Para pegawai toko itu termasuk orang-orang yang masih bertahan di kota kecil kami. Orang-orang lain yang bekerja di rumah makan, salon, jasa pengiriman paket, dan lain-lain, yang kami kenal karena kami sudah tinggal lama di sini, sudah pulang kampung sejak awal pandemi karena tempat usaha ditutup dan karyawan dikurangi.

Kembali ke soal masak dan makan. Pukul 4 sore tadi saya memutuskan untuk rehat sejenak dan menonton serial televisi. Anak-anak sudah selesai SFH, sudah mengerjakan PR, dan sudah mandi. Bisalah bersantai sekejap sebelum harus turun ke dapur lagi untuk memasak makan malam.

Niat menonton yang hanya 1 jam bablas jadi 2.5 jam. Ju Ji Hoon dalam serial "Kingdom" memang keren sekali. Suami yang baru selesai WFH datang ke kamar dan bertanya,  "Mau makan apa malam ini?"

Wah saya girang sekali mendengar pertanyaan begitu. Artinya dia mau memasak, Saudara-saudara! Saya senang sekali kalau bisa bebas tugas malam ini, apalagi dia lebih pintar memasak dari saya.

Eh tapi, ada udang di kulkas yang sudah saya balur dengan tepung dari tadi pagi. Sambil tersenyum sumringah saya menjawab, "Tolong keluarkan udang dari kulkas ya."

"Ok."

Tiga puluh menit kemudian saya keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Alangkah kagetnya saya ketika melihat satu kotak tupperware berisi udang yang masih beku. Saya tertawa stres; saya kira suami sudah memasak, makan malam sudah siap, ternyata dia cuma mengeluarkan udang dari freezer. Saya juga lupa apa saya tadi sudah memberikan instruksi yang spesifik: tolong keluarkan udang yang sudah dibalur tepung dari kulkas dan tolong masak ya.

Waktu dia melihat muka saya yang masam, dia malah bertanya, "Mau aku aja yang masak?"

"Ya, udang ga bisa tiba-tiba jadi makanan kali. Harus ada yang masak." Saya melengos sambil mengambil celemek.

Ih, galak sekali ya, menyebalkan sekali ya saya ini? Saya yang salah, sudah seenaknya berasumsi, eh sekarang malah marah-marah pada suami.

Tanpa banyak omong suami saya langsung mengeluarkan udang yang seharusnya sudah dikeluarkan dari tadi, menggorengnya, memasak sayur bayam, dan membuat bakwan jagung. Semuanya beres dalam 30 menit saja.

Kenapa saya membutuhkan waktu lebih lama dari dia untuk memasak sebanyak itu ya? Mungkin karena saya memasak sambil mendengarkan lagu-lagu BTS. Hmm ....

Waktu makan malam muncul sebuah pikiran yang menjadi judul tulisan ini: masakan paling enak di dunia adalah yang dimasak orang lain, karena saya tidak lelah berdiri, memotong, mengupas, merajang, membumbui, mengaduk, dan lain sebagainya. Entah itu masakan suami atau McD, semuanya lebih enak dari masakan saya karena saya tidak berjerih payah terlebih dahulu.

Walau rasa masakan suami kali ini tidak seenak biasanya (pasti karena dia memasak sambil mendongkol), tetap saja rasanya enak untuk disantap. Dan yang lebih penting, malam ini saya bisa menyimpan tenaga untuk memasak lagi dan lagi keesokan hari.

Oya, mengapa ada foto bumbu dapur yang saya pajang di atas? Karena bumbu dapur beraneka warna kelihatan bagus saat difoto dua minggu lalu, dan semoga foto ini memberi saya inspirasi untuk memasak besok.

Terus terang, saya kehabisan ide.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun