Menulis itu seperti berolahraga; perlu membiasakan otot, perlu latihan yang rutin, dan terutama perlu komitmen jangka panjang.
Setelah vakum menulis selama hampir 2 tahun, saya kembali menulis dengan bantuan KLIP sebagai support group saya. Sejak awal Januari tahun ini saya sudah menulis enam puluh dua catatan kehidupan atau artikel opini, namun di antara tulisan-tulisan itu saya baru dua kali menulis fiksi berupa cerita pendek.
Core saya tetap sebagai penulis fiksi. Saya menyukai fiksi karena saya suka berkhayal, berandai-andai saya orang yang berbeda dengan kehidupan yang berbeda pula.
Menulis fiksi itu susah-susah-gampang. Susah, karena harus menciptakan semesta yang baru tempat karakter utama dan karakter pendukung cerita bernaung.Â
Gampang, karena saya bisa menarik cerita dari kehidupan saya sendiri, atau kehidupan orang lain yang bersinggungan dengan kehidupan saya, menjadi ide untuk awal, alur, dan akhir cerita.
Tantangan menulis fiksi sejatinya ada dua saja, yaitu:
1. Tidak membuatnya menjadi personal.
Fiksi yang saya tulis bukan tentang saya. Memang benar ada sebagian karakter dan jalan kehidupan saya yang tertuang di situ, tapi fiksi ini bukan biografi.
Saya pantang membuat karakter yang ketika dibaca membuat orang yang mengenal saya berkomentar, "Ini kamu banget deh." Jika ini terjadi orang tersebut bisa memberikan komentar berikut saat membaca alur ceritanya, "Masak sih kamu mengalami ini/itu?"
Padahal yang saya tulis itu rekaan semata. Daripada sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu, aturan nomor 1 selalu saya ingat waktu mulai menulis fiksi.
2. Tidak membuatnya tentang orang yang saya kenal atau mengenal saya ...
tanpa seijin yang bersangkutan.
Menarik inspirasi dari kisah kehidupan orang lain menurut saya sah-sah saja, asalkan diramu dengan kisah orang lain sehingga membentuk sebuah kisah baru. Film "True Story" yang dibintangi oleh Jonah Hill memberi contoh yang ciamik untuk melakukan hal ini.
Pantang bagi saya menceritakan ulang secara mendetail kisah kehidupan orang lain tanpa permintaan atau ijin yang bersangkutan. Bagaimanapun juga ada cerita yang sebaiknya tidak pernah diungkapkan ke khalayak ramai, apalagi kalau saya dipercayakan rahasia itu.
Malam ini saya ingin menulis fiksi. Ide-ide sudah banyak di kepala, mampet seperti bendungan yang sebentar lagi jebol. Akan tetapi jari-jari saya tidak mau bekerja sama. Sedari tadi saya hanya menatap nanar layar handphone sampai akhirnya saya memutuskan untuk menulis catatan ini dulu.
Kata pertama sudah tersangkut di kepala: sapu.
Karakter utama pun sudah terbayang di benak: seorang pria muda dengan badan kurus dan punggung melengkung. Di telinga kirinya ada bekas tindikan. Kamu akan segera mengalihkan pandangan jika matamu bertemu dengan matanya. Mengapa demikian?
Setting-nya sudah bisa saya lihat. Pelataran sebuah diskotik pada pagi hari pukul tujuh. Ketika mobil dan motor lalu-lalang di depan bangunan kumuh itu, pria itu hanya menatap jalanan dengan pandangan bosan. Tangan kanannya memegang sapu.
Bagaimana kelanjutan fiksi di atas? Sepertinya saya harus pamit sekarang untuk berdiri di samping pria itu: melihat apa yang dia lihat, mendengar apa yang dia dengar, dan pada akhirnya nanti menceritakan kisahnya padamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H