Mendengar hal ini saya spontan tertawa dan berkata, "Pasti gara-gara rumor kalau minum air hangat bisa mematikan virus. Orang jadi tidak mau lagi makan es krim."
"Betul sekali!" kata tetangga saya.
"Padahal dulu kami menjual es krim sebagai produk substitusi dari susu. Kalau konsumen tidak bisa membeli susu dengan harga sekian untuk kemasan besar, dia tetap bisa mendapatkan protein yang dikandung susu dari es krim. Mindset seperti ini sangat ampuh untuk konsumen dengan medium-low buying power."
Saya manggut-manggut. "Jadi bagaimana dengan kelebihan karyawan di lini produksi es krim?"
"Kami alihkan ke lini produksi susu. Syukurlah cara produksinya masih ada kemiripan jadi tidak butuh training dari nol. Oya, permintaan untuk kemasan es krim dari pabrik kami ke pabrik tempat suamimu bekerja juga terpengaruh."
Saya mengiyakan dan saya mulai bercerita bagaimana pandemi Covid-19 dan social distancing yang kita terapkan sekarang mengubah konsumsi dari produk yang kemasannya dibuat oleh kantor suami saya.
Mulai akhir Februari direksi di kantornya sudah memperkirakan lonjakan permintaan akan produk pembersih. Akibatnya permintaan akan kemasan botol untuk cairan pembersih kamar mandi, pouch untuk deterjen, dan pouch untuk sabun cuci tangan melonjak drastis.
Namun tak hanya itu, setelah sekolah-sekolah di berbagai wilayah di Indonesia resmi diliburkan sampai waktu tak terbatas, ada tiga produk yang penjualannya juga meningkat sangat tajam, yaitu:
1. minyak goreng
2. bumbu masak instan
3. cemilan
Waktu suami saya pertama kali cerita tentang hal ini, saya tergelak. Sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak yang harus belajar di rumah padahal sehari-harinya bersekolah, saya sudah bisa membayangkan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi selain kebutuhan untuk belajar.
Makan, makan, dan makan.